Saat Penggerak Lokal Mengantisipasi Krisis Iklim

Ancaman perubahan iklim sudah di depan mata. Meski begitu, masih banyak pihak yang tidak paham tentang ancaman tersebut.

Para petani di Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur tak pernah tahu bahwa serangan hama penggerak buah dan helopelstis yang merusak tanaman kakao mereka meningkat karena faktor perubahan iklim. Para petani tak paham tentang dampak perubahan iklim yang berpengaruh terhadap produksi biji kakao.

Petani kakao seperti Yustinus Kia (44), Robertus Bala (29), Paulina Mongan (67), Yasinta Udo (58) hanya bisa pasrah dengan keadaan yang terjadi sekarang.

Direktur Ayu Tani Mandiri, Thomas Uran menjelaskan, kesadaran dan pemahaman tentang masalah pada tanaman karena faktor perubahan iklim memang belum diketahui secara baik.

“Di Flotim dan NTT saya kira semua tanaman kakao warga kena helopelthis dan penggerek buah,” beber Thomas kepada Ekora NTT pada November 2022 lalu.

iklan

Menurutnya, kapasitas petani harus ditingkatkan, terutama pada aspek influencing dan advokasi. Dengan begitu, petani mampu beradaptasi dengan perubahan iklim secara baik.

“Komunikasi informasi perubahan iklim masih sangat terbatas dibagikan kepada petani. Pemerintah sejauh ini masih terfokus pada aspek teknis budidaya dalam upaya penguatan kapasitas petani,” bebernya.

Thomas dan jejaring pegiat NGO yang fokus bekerja pada isu lingkungan hidup dan pangan pun mengajak banyak pihak untuk peduli pada isu perubahan iklim. Pada tahun 2021, anak muda digandeng untuk melakukan kampanye bersama mendorong aksi untuk perubahan iklim.

“Kami berpikir mesti ada satu langkah bersama yang melibatkan anak muda dari tiap desa. Mereka akan aktif mulai dari level paling bawah RT, dusun, desa bahkan sampai level kabupaten untuk omong soal perubahan iklim,” kata Thomas.

Sudah ada 20 anak muda di Kecamatan Wulanggitang yang bergabung untuk aksi bersama tersebut. Mereka menyebut kelompoknya sebagai penggerak lokal/local champions (LC). Profesi dari para LC ini pun bervariasi. Ada yang guru honorer, kader posyandu, dan petani.

Para penggerak lokal terlibat aktif dengan mendorong pemerintah agar memasukkan isu perubahan iklim dalam rencana pembangunan daerah. Hal itu dilakukan mulai dari tingkat RT, RW, desa dan tingkat kabupaten.

Shidy Soge (30), penggerak lokal dari Desa Hewa, Kecamatan Wulanggitang, sangat khawatir dengan nasib petani di desanya. Para petani tidak berdaya akibat hama yang menyerang tanaman mereka.

“Tidak hanya kakao seperti yang kita lihat di kebun tapi juga jambu mete juga rusak bijinya,” ujarnya

Shindy dan kawan-kawannya pun menginisiasi dan menelurkan beberapa ide untuk menyelesaikan persoalan ini. Mereka juga melakukan observasi lapangan yang dimulai dari level desa hingga kabupaten selama kurang lebih enam bulan.

“Kalau untuk kami local champion sudah banyak aksi yang kami buat,” ujarnya.

Para penggerak lokal mengajak masyararat untuk menanam pangan lokal, melakukan konservasi mata air, mengampanyekan gerakan peduli sampah sampai pada level advokasi kebijakan di tingkat desa dan kabupaten untuk menyelamatkan tanaman komoditi warga.

Selain melakukan kerja nyata untuk mengatasi perubahan iklim, Shindy dan kawan-kawannya juga belajar jurnalisme warga untuk mengkampanyekan isu perubahan iklim. Mereka belajar membuat narasi dan video dokumenter.

Dalam kampanye itu, mereka tidak hanya menonjolkan dampak buruk perubahan iklim, tetapi juga mengangkat cerita-cerita tentang individu atau komunitas masyarakat yang punya ‘praktik baik’ untuk mengatasi perubahan iklim. Tujuannya ialah menarik minat banyak orang untuk peduli dan bekerja nyata menyelamatkan bumi dan kehidupan manusia.

Kiki, Program Officer Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mengatakan Koalisi Pangan BAIK memfasilitasi orang-orang muda tersebut agar mereka bisa menjadi agen di desa untuk kampanye dan advokasi kebijakan yang berkaitan dengan isu perubahan iklim, baik di tingkat desa, kabupaten, maupun nasional.

“Hasil riset Koalisi Pangan BAIK, NTT menjadi salah satu provinsi yang rentan terhadap perubahan iklim di Indonesia,” katanya.

Oleh karena itu, lanjutnya, konsorsium NGO tersebut mendorong masyarakat melalui penggerak lokal untuk mengembangkan model ‘praktik baik’ untuk pengelolaan pertanian dan pangan di tengah perubahan iklim.

“Harapannya, kampanye tentang ‘praktik baik’ untuk mengatasi perubahan iklim yang dilakukan oleh teman-teman local champion ini bisa menular dan dipraktikkan oleh banyak masyarakat di NTT,” ujarnya, sembari menambahkan bahwa hingga saat ini, total ada 13 desa dampingan NGO anggota Koalisi Pangan BAIK  di Flores-Lembata yang memiliki local champion.

Penggerak lokal lainnya, Rosalia Onan (36) dan Wilson Corebima (30) mengatakan bahwa satu advokasi bersama yang telah dikerjakan adalah pemanfaatan program pekarangan pangan lestari. Hasilnya sangat memuaskan.

Program Pekarangan Pangan Lestari sendiri adalah langkah demi meningkatkan ketersediaan, aksesbilitas, dan pangan rumah tangga. Hal ini dilakukan agar sesuai dengan kebutuhan pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman. Di sisi lain program ini berorientasi mendongkrak pendapatan rumah tangga.

Atasi masalah pangan dan stunting

Kerja para penggerak lokal ini mendapat respons positif dari sejumlah desa. Pemerintah Desa Hokeng Jaya, misalnya, memiliki program bernama Hati PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Sejalan dengan Program pekaragan pangan lestari, kata Kepala Desa Hokeng Jaya, Gabriel Bala Namang, Hati PKK merupakan upaya pemenuhan ketersediaan pangan berupa sayuran segar dan buah organik yang wajib ada di pekarangan dan kebun warga.

Pihak desa membagi bibit sayur dan polybag secara gratis kepada 360 kepala keluarga yang ada di desa itu. Gabriel pun berharap masyarakat di desanya sadar dan terus memanfaatkan pekarangan yang ada.

Di Desa Klatanlo, (sebelumnya adalah bagian dari salah satu dusun dari Desa Hokeng Jaya, mulai berdiri sebagai desa sendiri pada tahun 2010) satu praktik baik yang diinisiasi adalah gerakan wajib makan sorgum.

Petrus Muda Kurang, sang kepala desa mewajibkan warga untuk membeli sereal sorgum. Sorgum ini adalah hasil panenan dari kebun desa yang luasnya mencapai 1 ha pada Juni 2022 lalu.

“Berhadapan dengan ancaman perubahan iklim yang berdampak pada menurunnya hasil komoditi kakao sebagai sumber utama pendapatan untuk membeli beras, kami lihat ada peluang untuk tanam sorgum di kebun desa,” ujar kades Petrus.

Kades Petrus bersyukur karena dari tepung sorgum yang telah diolah pihak desa dan dijual kepada warga desa, “selain memenuhi kebutuhan pangan, juga mampu menurunkan angka stunting”.

Dari data yang ada di desanya diketahui bahwa sampai dengan Oktober 2022 angka stunting tersisa tujuh anak.

Masni Bedanaen Plt Kepala Puskesmas Wulanggitang mengatakan, pada evaluasi November 2022, dari tujuh yang stunting turun tersisa enam anak. Angka ini menurut data rujukan Puskesmas Wulanggitang mengalami progres yang baik karena pada tahun 2021 ada 12 anak yang masuk kategori stunting dari jumlah balita 65 orang di Desa Klatanlo.

Masni Bedanaen menuturkan, program wajib makan sorgum yang diinisiasi oleh Pemerintah Desa Klatanlo mesti menjadi contoh bagi desa-desa lainya di Wulanggitang dan Flotim umumnya. Makan sorgum diakui mampu memperbaiki kualitas gizi pada anak.

Untuk itu, Masni menegaskan bahwa pihaknya terus memberikan intervensi untuk memberikan makanan tambahan termasuk makan sorgum dan kelor.

Sampai dengan Desember 2022, kata Masni, data tiap desa belum direkap kembali. Namun untuk tingkat Puskesmas Wulanggitang dari total 11 desa yang ada, angka stunting cenderung turun naik untuk desa-desa lainnya, sementara untuk Desa Klatanlo terus menurun jumlahnya.

Dari hasil rekapannya Masni bilang, pada tahun 2020 dari total 1042 balita ada 238 yang mengalami stunting. Tahun 2021 dari total 1011 balita ada 276 kasus stunting dan pada tahun 2022 ini ada 206 kasus stunting dari 1008 balita.

Kebijakan Anggaran

Para penggerak dan sejumlah LSM di Flotim terus bekerja agar rencana pembangunan daerah wajib memperhatikan soal pangan dan dampak dari perubahan iklim. Mereka terus melakukan kampanye dan advokasi pada level desa terkait dampak perubahan iklim dan antisipasi yang mesti dilakukan.

Berkat dorongan LSM dan anak-anak muda penggerak komunitas lokal, Pemerintah Kabupaten Flores Timur menjadikan isu perubahan iklim sebagai salah satu fokus perhatian. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2022, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp303.618.000 untuk menyelamatkan tanaman rakyat Flotim.

Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Pada Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Flotim, Laurensius Boro Kereta kepada Ekora NTT mengatakan, anggaran tersebut dipakai untuk penanganan hama tanaman pertanian maupun perkebunan.

“Pada aspek penganggaran dapat kami sampaikan bahwa selalu ada dukungan anggaran terhadap urusan pangan dan perubahan iklim meskipun dalam jumlah yang masih terbatas karena disesuaikan dengan kondisi kemampuan keuangan daerah,” ujarnya.

Yuliana, Bapak Nyo, Karolus, dan beberapa petani kakao berharap program pemkab Flotim terutama pada misi selamatkan tanaman rakyat Flotim seperti kakao harus terus jadi perhatian.

“Penanganannya mesti wajib dilakukan setiap bulan atau tiga bulanan dengan menggandeng banyak pihak yang berkompeten,” jelas Bapak Nyo.

Melkior Koli Baran dari Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS), LSM lokal yang fokus pada isu pangan dan perubahan iklim di Flotim mengemukakan, target nasional perubahan iklim mesti dicek sejauh mana terbawa ke dalam target daerah sehingga bisa dimasukkan di level perencanaan.

Menurut Melky, konsep aksi adaptasi dan mitigasi juga masih perlu dipertajam. Tidak hanya bergeraka ketika masalah muncul.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA