Kisah Para Petani yang Keluhkan Turunnya Harga Kopra

Kebun kelapa menjadi satu-satunya harapan Yosef Jogo, 70 tahun, untuk menafkai ekonomi keluarganya. Sesaknya kebutuhan hidup tidak membuatnya berpaling dari kerjanya sebagai petani kelapa.

Mungkin karena usianya yang sudah tidak muda lagi, bapak Yosef tidak punya pilihan lain lagi. Ya, mau tidak mau urus kelapa saja.

Bapak Yosef menetap di dusun Sikka, desa Sikka, kecamatan Lela, Kabupaten Sikka. Saban pagi, ia bergegas ke kebun dan pulang sore hari.

Membersihkan rumput-rumput liar di kebun dan memungut kelapa yang jatuh, begitu yang ia lakukan setiap hari. Pekerjaan ini dilakukan dengan semangat meski usianya sudah uzur.

Saat musim panen tiba, ia dibantu anaknya untuk memetik kelapa. Ia hanya sibuk mengumpulkan dan mengakut kelapa ke rumah.

Pekerjaannya berlanjut di rumah yakni membelah kelapa.  Satu per satu kepala dibelah, kemudian dijemur dan dikeringkan.

Setelah setengah kering, daging kelapa dicungkil dari tempurung secara manual, untuk selanjutnya dijadikan kopra.

Kopra yang sudah jadi dijual ke papalele. Uang didapatkan dari hasil jualan kopra, digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Besarnya penghasilan bapak Yosef sangat bergantung banyaknya panenan dan harga yang dipatok. Kadang besar, tapi tak jarang penghasilannya kecil bila dibandingkan dengan tenaga yang dikuras dalam pekerjaan ini.

Hari-hari ini, ia begitu sedih. Alasannya, harga kopra tidak stabil, bahkan melorot drastis. Beberapa minggu lalu ia jual ke papalele dengan harga Rp4.500 per kilogram.

Sekarang, harganya sudah turun lagi dan dijual dengan harga Rp4.000 per kilogramnya.

Bapak Yosef tidak berdaya. Ia terpaksa menjualnya karena didesak bejibun kebutuhan. Dalam kekalutan demikian, ia berharap agar harga kopra bisa membaik sehingga hidupnya baik. Itu saja permintaannya.

Nasib sama juga dialami para petani kelapa lainnya. Stefanus Frengky, 30 tahun, misalnya, meringis kecewa dengan harga kopra yang tidak menentu.

Padahal ia menaruh harap dari hasil kopranya tersebut. Tapi kopra yang ‘tidak punya harga’ berulangkali menindih perjuangannya.

Stefanus tinggal di dusun Bidara-Sikka dan punya lahan kelapa yang cukup luas. Tidak heran kalau ia cukup optimis mengelola ladangnya itu. Menurut perhitungannya, hasil yang ia peroleh dari kopra lebih dari cukup.

Tapi beberapa waktu belakangan, semangatnya kendur dengan alasan harga kopra yang tidak ramah dengan petani.

Karena saking kecewanya, Stefanus tak lagi mengurus kopra. Ia memilih untuk mengumpulkan dan menjual tempurung kelapa yang harganya masih cukup baik.

Belakangan, ia memilih untuk beralih matapencaharian. Daripada dipusingkan dengan kopra mending bekerja sebagai buruh bangunan di kota Maumere.

Silvinus, 52 tahun, petani Magepanda-Sikka juga punya pengalaman miris. Bulan November 2018 lalu, ia menjual kopranya sebanyak satu ton dengan harga yang Rp3.000 per kilogram.

Tentu ini menyayat hati. Tapi mau bilang apa, terpaksa kopranya dijual takut kalau-kalau harganya turun lagi.

“Saya memang kecewa. Padahal kopra saya banyak tapi harganya kecil. Mau bilang apa. Kita harap supaya nasib kami petani diperhatikan. Ini sumber hidup kami,” kata Silvinus kepada Ekora NTT, 18 Desember 2019. 

Petani Magepanda lain, Oktavianus Risto, 37 tahun, kaget ketika mendengar kabar bahwa harga kopra jatuh. Ia cukup syok. Pikirannya tidak tenang.

Ia membayangkan perjuangan selama ini, banting tulang dan menguras seluruh tenaganya untuk mengolah kopra. Tapi yang terjadi, di luar perkiraannya.

Sia-sialah apa yang telah ia kerjakannya selama ini. Sampai-sampai ia mengadu kepada Tuhan, “Saya tidak puas Tuhan. Ini tidak adil. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” demikian ia menggerutu penuh sesal.

Irenius J A Sagur & Hengky Ola Sura

spot_img
TERKINI
BACA JUGA