Lawan Koruptor di Sikka!

Oleh: Emilianus Yakob Sese Tolo*

Kisruh politik lokal di Maumere memanas ketika Bupati Idong “membenturkan” dirinya dengan 35 anggota DPRD Sikka perihal dugaan penggelembungan dana tunjangan kerja.

Disinyalir penggelembungan ini –yang saya sebut sebagai “praktik legalisasi korupsi”– merugikan negara  dan massa rakyat sebesar Rp3,04 Miliar.

Keberanian Bupati Idong melawan praktik korupsi anggota DPRD seorang diri ini patut diacungi jempol. Namun, Bupati Idong harus tetap belajar dari sejarah agar perlawanannya terhadap kekuasaan oligarkis dalam tubuh politik dan birokrasi di Sikka tidak hanya berumur jagung.

Namun, pertanyaannya, mengapa korupsi begitu runyam di Sikka? Apakah upaya Bupati Idong melawan koruptor di DPRD berhasil? Apa yang perlu dimanfaatkan oleh Bupati Idong di momentumPemilu 2019?

Hari ini pemerintah Jokowi sudah berupaya sekuat tenaga untuk melawan korupsi di Indonesia. Korupsi yang dilawan ini tidak saja di lembaga politik, tetapi juga di lembaga birokrasi.

Namun, walau demikian, karena kekuasaan yang lebih besar di lembaga politik, kerap kali korupsi, terutama dalam jumlah yang besar, lebih sering menyasar lembaga politik, yang kadang-kadang menyeret lembaga birokrasi yang turut menceburkan diri dalam permainan politik kotor para politisi.

Keseriusan Jokowi menangani persoalan korupsi terbukti dengan semakin meningkatnya kasus korupsi yang ditangani oleh KPK hari ini. Di tahun 2004, kasus korupsi yang berhasil ditangani oleh KPK hanya 27 kasus, lalu meningkat menjadi 196 pada tahun 2010.

Namun, pada masa pemerintah Jokowi, tahun 2018, kasusnya meningkat menjadi 733 kasus.

Jika dibandingkan dengan pemerintahan SBY dalam kaitan dengan pemberantasan korupsi di tanah air, Jokowi jauh lebih baik performanya.

Dalam kaitan dengan penanganan kasus korupsi dalam 10 tahun pemerintahan SBY, KPK hanya mencapai setengah dari prestasi 4 tahun pemerintahan Jokowi.

Yakni, pada tahun 2004-2013, di era SBY, KPK hanya menangani 1.696 kasus. Di era Jokowi (2014-2018), KPK berhasil menangani 2,226 kasus.

Lalu, bagaimana di Sikka?

Sebagaimana halnya di NTT pada umumnya, korupsi, terutama berkaitan dengan penggelembungan dana tunjangan kerja adalah hal yang lumrah, termasuk dalam pemerintahan Jokowi itu sendiri.

Belum lama ini dilaporkan, DPRD NTT menghabiskan anggaran Rp36,5 Miliar, yakni 19,9%, dari total anggaran propinsi hanya untuk perjalanan dinas saja.

Baik perjalanan dinas maupun penggelembungan anggaran seperti yang dilakukan oleh DPRD Sikka, saya sebut sebagai “praktik legalisasi korupsi.”

Pasalnya, pemerintah daerah sengaja membuat dan merevisi peraturan pemerintah daerah seenak perut untuk kepentingan ekonomi politiknya semata tanpa memperhatikan kondisi objektif, baik itu kondisi hidup masyarakat maupun ketentuan harga pasar di daerah.

Dalam konteks Kabupaten Sikka, penggelembungan dana tunjangan kerja perorangan yang naik secara tiba-tiba dalam setahun dari Rp13,5 juta berdasarkan Perbup Nomor 35 Tahun 2017 Tentang Standar Harga Satuan Barang dan Biaya TA 2018 menjadi Rp22,5 juta berdasarkan Perbup Nomor 45 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Perbup Nomor 35 tahun 2017 tentang  Standar  Harga Satuan Barang dan Biaya TA 2018.

Kenaikan ini dalam setahun dengan selisih sebesar Rp9 juta patut dicurigai. Apalagi, hal itu terjadi dalam situasi di mana perekonomian masyarakat Sikka yang tidak berubah secara signifikan dalam rentang waktu setahun.

Karena itu, ketika Bupati Idong menurunkan anggaran biaya tunjangan kerja DPRD Sikka menjadi Rp15,25 juta melalui Perbup Nomor 33 Tahun 2018 tentang Standar Harga Satuan Barang dan Biaya TA 2019 harusnya menjadi kebijakan politik yang logis dan patut mendapat dukungan masyarakat Sikka.

Sebab, daripada uang rakyat digunakan untuk kepentingan ekonomi politik DPRD, lebih baik penghematan yang mencapai Rp3,4 miliar setiap tahun itu dapat digunakan untuk membiayai 18 program strategis daerah Sikka di bawah pemerintahan Bupati Idong, yang berkaitan dengan penggelontoran dana untuk pendidikan, kesehatan dan usaha kecil menengah masyarakat miskin di Sikka.

Pertanyaannya, mengapa Sikka menjadi kabupaten dengan sejarah korupsi yang menyedihkan?

Pada tahun 2007, Maumere pernah menjadi kota terkorup di Indonesia.

Menurut saya, korupsi di Sikka disebabkan karena melemahnya kontrol masyarakat Sikka terhadap kinerja pemerintah.

Dalam sejarah Sikka, pemerintah daerah Sikka sejauh ini memimpin hampir tanpa mendapat oposisi yang berarti baik di lembaga politik dan birokrasi maupun dalam dalam masyarakat itu sendiri.

Apalagi pasca pembantaian PKI 1966 di Sikka, kekuasan ekonomi, politik, dan birokrasi di Sikka dikuasai oleh suku Sikka dengan aliansi politiknya dengan suku-suku lainnya di Kabupaten Sikka.

Apalagi, sudah sejak lama suku Sikka mendapat dukungan ekonomi politik dari pemerintah kolonial, Gereja Katolik dan bahkan pemerintah nasional Indonesia hingga kini.

Pembantaian PKI di Sikka, menurut Klinken (2015a,b), dilakukan lebih berdasarkan pada pertimbangan perbedaan suku daripada aliran politik.

Karena itu, pada saat pembantaian PKI di Sikka tahun 1966 yang memakan korban sekitar 2000 orang menyasar orang-orang dari suku Kangae yang merupakan golongan oposisi suku Sikka, yang sejak jaman kolonial mendapat keuntungan ekonomi politik berkat aliansinya dengan pemerintahan kolonial, Gereja Katolik dan bahkan dengan pemerintahan nasional.

Dengan pembasmian suku Kangae sebagai pihak oposisi baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan, praksisnya, pemerintahan birokrasi dan politik di Sikka yang didominasi oleh suku Sikka berjalan tanpa kontrol.

Dengan rendahnya kontrol, maka bukan tidak mungkin para pemegang kekuasaan di dalam lembaga birokrasi dan politik akan melakukan tindakan seenak perutnya sendiri.

Padahal, demokrasi hanya bisa menjadi sehat jika ada pihak oposisi yang lantang, yang bisa menjegal tindakan sewenang-wenang dan koruptif pemerintah.

Pertanyaannya, apakah Bupati Idong bisa berhasil melawan koruptor di Sikka?

Keberhasilan Bupati Idong, menurut saya, sangat ditentukan oleh kamampuannya membangun oposisi melawan status quo kekuasaan yang sudah berurat akar di Sikka pasca 1966 seperti yang sudah saya jelaskan di muka.

Berdasarkan laporan media lokal seperti Flores Pos dan Pos Kupang, saya melihat seolah Bupati Idong bertarung seorang diri di lembaga politik dan birokrasi pemerintahan hari ini.

Dengan kondisi demikian, oposisi yang dibangun Robby Idong tidak bisa dilakukan dalam lembaga yang sama, yakni dalam lembaga birokrasi dan politik di Sikka.

Satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh Bupati Idong adalah dengan melakukan aliansi dengan masyarakat Sikka, terutama masyarakat Sikka yang paling dirugikan oleh kebijakan-kebijakan politik sejak pasca pembantaian PKI 1966.

Kaum miskin Sikka yang ingin diselamatkan oleh Bupati Sikka melalui 18 program strategis pro rakyatnya harus menjadi aliansiBupati Idong hari ini (Flores Pos, 13 Feburari 2019).

Dalam politik elektoral hari ini, aliansi ini, apalagi menjelang Pemilu 2019, sangat membantu Bupati Idong untuk membangun oposisi melawan kekuasaan oligarki lama dalam tubuh birokrasi dan politik di Sikka yang sudah berkuasa sejak lama, bahkan sejak masa kolonial.

Tanpa melakukan ini, oposisi yang dilakukan oleh Bupati Idong seorang diri tentu tidak akan bertahan lama.

Oposisi itu akan berumur jagung dan runtuh di tengah jalan oleh kekuasaan oligarkis yang sudah berurat akar dalam lembaga birokrasi dan politik di Kabupaten Sikka hari ini.

Dengan demikian, Pemilu 2019, menurut saya, menjadi momentum yang tepat untuk Bupati Idong membangun oposisi strategisnya, baik di level akar rumput maupun di level birokrasi dan politik Sikka.

Karena itu, yang perlu dilakukan oleh Robby Idong adalah bagaimana caranya agar para anggota DPRD inkumben dan kroninya yang kini sedang berkuasa dalam tubuh politik di Sikka tersingkir melalui Pemilu 2019.

Paling tidak, Bupati Idong mampu membangun kekuatan politik mayoritas melalui Pemilu 2019 agar sekutu penentang kekuasaan oligarkis hari ini di kabupaten Sikka bisa duduk di parlemen lokal.

Tentu dengan menjadi bupati dari calon independen, dan hanya didukung oleh dua partai, yakni PKB dan Hanura, jalan yang harus ditempuh oleh Bupati Idong melalui jalan parlemen tidaklah mudah.

Karena itu, Bupati Idong perlu mempersiapkan aliansi lain, yakni dengan masyarakat Sikka sendiri, terutama mereka yang miskin, yang tersingkir oleh kebijakan pemerintahan Sikka sejak masa kolonial dan terutama pasca pembantaian PKI tahun 1966.

Namun, aliansi di luar parlemen ini hanya mungkin berhasil bila Bupati Idong mampu merangkul elemen masyarakat sipil di NTT umumnya dan Sikka khususnya. Masyarakat sipil yang penting yang perlu dirangkul oleh Bupati Idong adalah lembaga pers.

Di NTT, walau pers kadang mudah dibeli, namun, saya percaya, masih ada lembaga pers yang bersih, terutama pers online yang belum direcoki oleh modal dan kekuasaan, yang ingin bekerja untuk kemaslahatan masyarakat banyak, terutama bagi mereka yang miskin dan menderita.

Selain itu, Bupati Idong perlu juga mendekatkan diri dengan masyarakat sipil (civil society) yang lain, yakni Gereja Katolik.

Hari ini, watak Gereja Katolik makin condong kepada yang lemah dan miskin, terutama di bawah pemerintahan Paus Fransiskus hari ini.

Apalagi, hari ini, saya melihat mulai muncul beberapa pastor dan imam Katolik di Flores –walau jumlah mereka masih minoritas– yang tidak segan-segan bersikap kritis terhadap kekuasaan yang menindas masyarakat kecil dan miskin.

Namun, walaupun aliansi dengan masyarakat sipil ini penting, menurut saya, jika Bupati Idong ingin belajar dari sejarah masa lalu Sikka, maka aliansi dengan masyarakat kecil Sikka tetap jauh lebih penting dan mendesak.

Apalagi, di momentum menjelang Pileg 2019. Sebab, bagi saya, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Apalagi, menurut saya, tidak ada kekuatan lain yang bisa menghalang, jika massa rakyat sudah berdiri di depan membela pemimpin yang sungguh berjuang untuk kepentingan nasibnya.

* New Mandala Indonesia Fellow, ANU College of Asia and the Pacific, Australia

 

spot_img
TERKINI
BACA JUGA