Pengantar
Beberapa tahun silam, vanili menjadi komoditas primadona di kalangan petani di Flores mengingat harga jualnya tinggi. Tren kenaikannya cukup signifikan.
Harga vanili mentah mencapai harga ratusan ribu rupiah perkilo gramnya, sedangkan yang kering dapat dijual dengan harga jutaan rupiah perkilogramnya.
Para petani pun ramai-ramai membudidayakan vanili. Perkebunan rakyat penuh dengan hijaunya vanili.
Tapi belakangan, para petani membasminya dan pelan-pelan meninggalkan budidaya vanili. Sebabnya adalah harga vanili anjlok. Tidak stabil, bahkan turun drastis.
Selain harga yang tidak menentu, pemeliharaan dan pengelolaan pasca panennya terlalu rumit. Ada anggapan bahwa vanili terlalu “rewel”.
Tapi di balik rewelnya itu, vanili tetaplah komoditas yang tetap diakui di pasar internasional hingga sekarang. Harganya mahal.
Bahkan vanili disebut sebagai ‘emas hijau’.
Stefanus, petani sederhana dari Borong, Manggarai Timur punya cerita tersendiri tentang vanili. Bulan-bulan awal tahun 2002 silam, tingkat kesibukannya tinggi.
Jadwal hariannya cukup padat. Bangun pagi-pagi, ia harus bergegas memberi makan ternak di kebun. Sekembalinya ke rumah, ia harus bersiap diri ke sawah setelah sarapan pagi.
Maklum pengairan sawahnya mengandalkan air hujan. Dan pada bulan-bulan ini merupakan musim hujan. Ia pulang ke rumah sore harinya.
Ada pekerjaan tambahan di malam hari. Setelah mencicipi makan malam bersama istrinya, Yustina, ia harus kembali ke kebunnya yang lain. Dibantu penerangan senter kecil, ia merayap dalam kegelapan.
Di kebun yang berjarak tiga kilometer dari perkampungan ini tumbuh vanili yang melilit di pohon-pohon gamal.
Vanili di kebunnya itu sudah mulai matang. Tinggal beberapa bulan lagi siap dipanen.
Setiap malam ia harus berjaga-jaga di kebunnya itu seperti petani lainnya. Hal ini terpaksa dilakukan karena kasus pencurian vanili marak terjadi. Para pencuri berkeliaran di mana-mana untuk mengincar tanaman tersebut.
Sialah-sialah perjuangan Stefanus apabila vanili ludes dicuri. Apalagi kalau menoleh ke belakang, memelihara vanili tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Proses pemeliharaannya rumit kalau dibandingkan dengan tanaman lainnya. Butuh usaha ekstra. Kontrol harus rutin dilakukan.
Khususnya pada musim kawin, seorang petani harus pintar-pintar memperhatikan bunga vanili yang mekar. Kalau lengah , bunganya akan layu dan gugur dengan sendirinya.
Dua tahun setelahnya, budidaya vanili ditinggalkan Stefanus. Selain kerumitan dalam budidayanya, harga vanili juga kurang bersahabat dengan para petani.
Rupanya, hal yang sama dialami juga oleh petani-petani lain di beberapa daerah di Flores.
Banyak petani meninggalkan pertanian vanili ini. Kepopulerannya memudar seiring dengan minimnya antusiasme petani.
“Pas vanili belum panen harganya tinggi. Giliran kita panen, tiba-tiba harga vanilinya turun. Tidak jelas. Ini yang buat kami jenuh juga. Padahal peliharanya tidak gampang,” demikian ujar Stefanus dalam kegusaran.
Risalah tentang Vanili
Di balik surutnya semangat petani membudidayanya, vanili tetaplah vanili. Vanili merupakan ‘emas hijau’ yang harumnya telah mendunia.
Bila berbicara tentang vanili, rujukan dalam kepala kita adalah bahan pengharum dan pelezat makanan, terutama kue. Benar, vanili baik dalam bentuk kering alami maupun sintesis menjadi produk tak terbantahkan dalam melengkapi cita rasa sebuah makanan.
Tentu saja hal ini sebetulnya telah berlangsung sejak dahulu kala yang mana vanili dijadikan penyegar minuman dari kakao atau cokelat oleh penduduk asli Meksiko. Beberapa literatur sejarah mencatat bahwa vanili pertama kali ditemukan bangsa Aztec sekitar abad ke-16 di hutan Meksiko.
Konon, salah seorang pemimpinnya bernama Montezuma pernah menyuguhkan minuman cokelat berbaur vanili tadi kepada penakluk dari Spanyol Hernan Cortez, yang kemudian memperkenalkan itu ke Eropa.
Namun, vanili tak hanya sekadar dilihat sebagai urusan makanan yang dikonsumsi saja.
Di balik itu, ia merupakan komoditas bernilai jual tinggi dan punya seabrek manfaat lain.
Di Indonesia, tanaman yang punya batang sebesar jari, berwarna hijau dan panjangnya rata-rata 15 cm itu bertumbuhkembang di beberapa daerah dan memberikan penghasilan yang lumayan kepada para petani.
Meskipun tak dapat dimungkiri, ada juga petani yang masih memiliki keterbatasan pengetahuan soal produksi dan distribusi tanaman berumur pendek ini.
Pemanfaatan vanili pun telah merambah industri lain, seperti kosmetik dan obat-obatan. Daun vanili, misalnya, dapat diolah dan diekstraksi sebagai bahan pewangi ruangan atau parfum kendaraan. Juga sebagai bahan aromaterapi yang menyuguhkan efek relaksasi bagi tubuh.
Sementara itu, jika diolah dan dikonsumsi sendiri, ramuan vanili terbukti ampuh mencegah peradangan, seperti radang tenggorok, usus, lambung, dan lain sebagainya.
Manfaat spesifik lainnya ialah kandungan vitamin B di dalam ekstrak vanili yang membantu mengontrol metabolisme tubuh agar tetap stabil dan menyeimbangkan kadar gula darah.
Makanya, aroma harum dan manis vanili secara tak langsung dapat mengurangi kecanduan pengonsumsinya terhadap gula. Toh konsumsi vanili tidak berpengaruh sama sekali terhadap risiko diabetes.
Daun vanili juga dapat menurunkan berat badan bila dikonsumsi setelah dicampur dan diolah langsung ke dalam makanan.
Ia juga memperbaiki sistem syaraf serta otot yang kaku dan tegang, serta mampu meningkatkan fungsi kognitif yang berpengaruh positif terhadap konsentrasi dan daya ingat.
Bubuk vanili secara alami pun bisa menjadi pembersih wajah dan penghalus kulit. Sebabnya, vanili sendiri mengandung antioksidan yang berguna melindungi kulit dari racun.
Aroma vanili juga memungkinkan terusirnya serangga-serangga yang berkeliaran di sekitaran rumah. Tinggal campur saja dua ons ekstrak vanili dengan dua ons air dan semprotkanlah di penjuru-penjuru ruangan.
Tentu, ini merupakan suatu opsi tepat ketimbang harus membeli penyemprot serangga buatan.
Vanili ini tergolong dalam kerabat anggrek (orchidaceae) dan menariknya, dari 20.000 lebih varietas anggrek, hanya vanili yang menghasilkan sesuatu yang bisa dimakan.
Ia tumbuh merambat dan hidup secara semiepifit atau tak hanya menggantungkan diri pada tanaman inang. Di alam liar, vanili menjalar di pepohonan hutan-hutan basah tropis.
Namun, bila ingin dibudidayakan, tanaman ini membutuhkan penyangga juga sedikit naungan serta perawatan yang ekstra dan rutin. Ini karena vanili, sebagaimana jenis rempah lainnya seperti cengkeh dan pala, sangatlah “sensitif” terhadap matahari juga air yang terlalu berlebihan.
Belum lagi kehadiran flora-flora parasit lainnya yang dapat menggagalkan pertumbuhkembangannya. Selain itu, tanaman vanili juga menghendaki struktur tanah yang baik, dalam artian bersifat porous (mudah menyerap air) dan gembur.
Sementara jenis tanaman yang baik dipakai sebagai pohon pelindung serentak penyangga adalah lamtoro (leucaena glauca), pohon gamal (glericidia), jarak pagar (jathropa curcas), dan dadap (erythrina variegeta).
Vanili masuk ke Indonesia sekitar tahun 1819 dan dibawa oleh bangsa Belanda untuk memperkaya koleksi taman botani di Kebun Raya Bogor asuhan Prof. Caspar George Carl Reinwardt. Baru sekitar tahun 1864, tanaman ini menyeberang ke Temanggung Jawa Tengah dan selanjutnya tersebar luas ke daerah-daerah lainnya.
Saat ini, beberapa daerah di Indonesia yang tergolong produktif menghasilkan vanili (vanilla planifolia) antara lain, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Papua. Vanili juga mulai berkembang di Banyuwangi, Jember, Bondowosa, Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.
Harga di masing-masing daerah pun terkesan variatif. Namun, secara umum, vanili dalam bentuk polong kering dapat dibandrol sampai jutaan rupiah per kilogram, sementara vanili basah berkisar dari puluhan hingga ratusan ribu rupiah.
Di Eropa, menurut laporan pasar Eurovanille pada Juli 2017, harga vanili asli mencapai 600 dolar AS per kilogram atau setara dengan Rp 8 juta rupiah.
Tentunya, ini akan semakin mahal beriringan dengan tingginya tingkat konsumsi vanili. Pertambahan jumlah penduduk menjadi salah satu faktornya sementara persediaan vanili semakin menipis.
Tantangan
Para petani sebetulnya sedang dilanda tantangan besar. Musababnya, banyak perusahaan berlomba-lomba membuat vanili sintesis guna memenuhi permintaan pasar dengan segala tetek-bengek produknya.
Bila vanili asli nan berkualitas semakin jarang diproduksi, para petani tentu akan terdesak dan harga vanili bisa saja anjlok.
Pada lain sisi, ketakutan-ketakutan seperti ini dapat tertepiskan, sebab sebagian dari vanili sintesis tersebut dibuat dari bahan kimia turunan minyak bumi yang tak ramah lingkungan dan dapat memberikan efek berbahaya bagi tubuh, seperti iritasi, alergi hingga kanker.
Sehingga komoditas vanili alamiah memang akan tetap saja dibutuhkan. Dengan demikian, kualitas vanili merupakan poin yang mau tidak mau mesti diusahakan dan dijaga terus-menerus oleh para petani.
Pada peringatan Hari Perkebunan ke-26 di Yogyakarta, 12 Desember 2017 lalu, Ketua Perkumpulan Petani Vanili Indonesia Rudi Ginting mengatakan, salah satu faktor harga vanili turun dan ditolak eksportir adalah rendahnya kualitas vanili petani.
Menurut Rudi, pascapanen vanili, proses pengeringannya malah disamakan dengan tanaman padi dan jagung, yakni dijemur langsung di bawah sinar matahari.
Padahal, komoditas vanili berkualitas mestilah melalui proses fermentasi dengan kadar air minimal 12-15 %. Dan itulah yang diterima di pasar-pasar Eropa.
Pengembangan kualitas hasil ini haruslah jadi prioritas bagi petani-petani vanili. Mereka pun sebaiknya tidak perlu terburu-buru mengusahakan perluasan lahan.
Sebab, terlalu larut dalam perluasan lahan bisa saja membuat mereka abai terhadap faktor kualitas itu sendiri. Dengan begitu, kecakapan dalam memilih varietas bibit unggul menjadi penting pada tataran ini.
Hal ini juga berlanjut pada keterampilan dan kesabaran juga teknik dan strategi dalam melakukan perawatan.
Masalah lain yang melingkupi para petani entah secara internal ataupun eksternal ialah adanya permainan eksportir dan naik turunnya harga vanili itu sendiri.
Ada petani yang sangat bergantung pada pihak pengepul sehingga dapat mudah sekali ditipu daya.
Ada juga petani “nakal” yang membanderol harga seenaknya dengan kualitas vanili yang buruk. Sehingga para petani membutuhkan edukasi yang matang dari berbagai pihak juga pengawasan agar kerja mereka tidak sia-sia ataupun jadi bumerang bagi diri sendiri.
Apalagi dalam lima tahun terakhir, vanili Indonesia telah menjadi salah satu primadona dunia.
Bahkan, pertumbuhkembangan vanili Indonesia melewati negara Meksiko, daerah pengasal tanaman tersebut. Sebuah kebanggaan sekaligus jadi tantangan bagi para petani kita, tentu saja.
Tanda-Tanda Baik?
Hari-hari ini, Yeremias Germi, petani asal Kampung Wolomotong, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka menemukan kembali semangat untuk membudidayakan vanili.
Vanili yang ia rawat telah berbunga dan menurut perkiraannya, akan dipanen bulan April atau Mei mendatang.
Menurut Germi, sejauh ini harga vanili sedang naik daun. Untuk vanili mentah atau basah, harga pasarnya dipatok sebesar 300 ribu rupiah per kilogram.
Sedangkan vanili kering dibanderol 3 sampai 4 jutaan rupiah per kilogram. Harga ini berubah dari waktu ke waktu.
Diakuinya, para petani tidak seantusias dulu. Hanya segelintir petani “berjudi” dalam kondisi seperti ini, termasuk Germi. Ia tetap semangat.
Yang ia usahakan sekarang adalah bagaimana menghasilkan vanili yang berkualitas sehingga laku di pasaran. Karena disadari bahwa kualitas menjadi tolok ukur dalam penentuan harga pasar vanili.
Tentu saja, Germi berharap harga vanili tetap stabil hingga musim panen nanti. Demikian pula untuk waktu yang akan datang.
Ini akan memberikan semangat baru bagi para petani untuk membudidayakan tanaman perdagangan yang satu ini dengan tetap memperhatikan mutunya.
“Kami petani akan semangat kalau harga vanili stabil untuk jangka waktu yang panjang. Ya, kita bisa hidup baik to. Mudah-mudahan ke depan harganya baik,” tuturnya kepada Ekora NTT, 18 Februari 2019.