Jalan Sunyi Pejuang Literasi

Mulai tergelitik sejak akhir tahun 2013, Maksi Masan Kian, punya imajinasi untuk menjadikan Flores Timur sebagai ikon literasi.

Kala itu, Maksi, begitu sapaan akrabnya, menjadi guru di SMP Negeri Satu Atap Riangpuho, Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores timur. Jaraknya 57 kilomoter dari pusat kota Larantuka, Ibu Kota Kabupaten Flores Timur

Di sana, Maksi menemukan potensi dalam diri anak-anak di pelosok desa. Mereka punya segalanya yang masih terpendam dalam diri.

Hanya saja, itu belum dilihat sebagai potensi yang berharga. Padahal cukup dengan sentuhan dan motivasi, mereka bisa berkembang dan menghasilkan beragam tulisan yang berkualitas.

Menyaksikan hal ini, Maksi bersama beberapa teman guru yakni Amber Kabelen, Tobias Ruron, Jemmy Paun dan Wilem Kopong,  mulai bergerak. Langkah awalnya adalah menggiatkan diskusi bersama.

Banyak hal yang didiskusikan, termasuk ide untuk memulai gerakan literasi. Setelah berdiskusi, kegiatan literasi sekolah langsung dimulai.

“Melalui media sosial Facebook, kami membuat informasi kepada siapa saja untuk menyumbangkan buku. Buku yang disumbangkan, akan kami bagikan kepada anak-anak di sekolah. Kami hidupkan majalah dinding sekolah,” cerita Maksi kepada Ekora NTT.

“Anak-anak sekolah dilatih menulis dan membaca. Anak-anak nampak antusias. Bagi mereka itu hal baru,” tambah maksi.

Rupanya aktivitas mereka di ujung paling timur pulai Flores menyita perhatian banyak pihak, termasuk Ketua Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) Wilayah NTT, Thomas Akaraya Sogen.

Dengan bantuannya, Maksi bersama teman-teman yang lain membentuk Agupena cabang Flores Timur (Flotim) pada 1 maret 2015 dan ia terpilih sebagai ketuanya.

Indahnya Berbagi

“Indahnya berbagi”. Demikianlah semboyan Agupena Flotim yang sangat mencerminkan akitvitasnya dalam gerakan literasi. Berbagi ide, berbagi cerita, berbagi buku, dan segala aktivitas berbagi dalam satu gerakan bersama.

“Dalam gerakan, ada sekian banyak kepala yang selalu menyumbangkan ide, pikiran dan segala kemampuan untuk bisa bersama melakukan sesuatu.  Gerakan ini, sudah menjadi gerakan bersama,” tutur Maksi.

Guru-guru Flotim mulai rajin menulis di Media online dan cetak, di majalah pendidikan, juga di jurnal-jurnal ilmiah. Kesulitan naik pangkat karena kendala pada sulitnya menulis, perlahan mulai berkurang.

Semangat menulis dari siswa mulai nampak dan mengeliat. Terlihat dari hidupnya majalah dinding sekolah yang diisi dengan karya tulis dari siswa.

Selain Mading, lahir juga buletin-buletin sekolah. Siswa Flores Timur juga sudah menulis di media online dan cetak.

Dalam senyap, gerakan literasi rupanya membuat banyak  orang mulai “terganggu”.  Ada kesadaran bahwa “aktivitas membaca dan menulis, pendampingan penulisan karya ilmiah, kegiatan workshop, seminar, panel diskusi, lomba- lomba menulis dan mencipta karya, simposium itu penting dalam meningkatkan profesionalisme guru dan peningkatan kapasitas, keterampilan, kompetensi, kreasi dan inovasi siswa.”

Gerakan Katakan dengan Buku

Adalah tidak afdol kalau berbicara gerakan literasi tanpa menyebutkan nama John Lobo, seorang guru SMA Negeri 2 Kota Mojokerto Jawa Timur yang cukup intens dalam gerakan literasi.

Gerakan literasi yang ia lakukan diberi nama Gerakan Katakan dengan Buku (GKdB). Gerakan ini dimulai sekitar bulan November 2013.

Melalui gerakannya ini , Lobo telah membantu untuk menyediakan bacaan-bacaan berkualitas kepada sesama pegiat literasi di NTT.

Hal ini terhubung dalam jejaring yang kuat. Ia juga mempelopori gerakan literasi di lingkungan budaya, gereja, sekolah dan simpul-simpul literasi lainnya.

Khusus di lingkungan budaya, Lobo menginisiasi taman baca bernama sa’o pustaka di beberapa kampung. Ia ingin menggairahkan literasi yang bernyawa kearifan lokal.

“Bahwa sa’o atau rumah adat bukan hanya sekadar menjadi tempat tinggal, tempat berkumpul. Refleksi mendalam dari itu adalah sa’o atau rumah adat adalah tempat transformasi berbagai tradisi dan adat istiadat. Target saya dari sa’o pustaka itulah lahir banyak cerita-cerita rakyat atau atraksi budaya yang diwariskan secara tertulis,” cerita Lobo.

Terkait minat baca, Lobo menjelaskan, minat baca orang Indonesia sebenarnya tinggi bahkan sejajar dengan bangsa-bangsa lain.  Yang menjadikannya rendah adalah sulitnya akses terhadap bacaan-bacaan yang berkualitas.

Ia menggambarkannya dengan penyataan bahwa “minat baca tinggi ini dibikin rendah oleh akses yang buruk, oleh jumlah dan mutu bacaan yang tidak memadai.”

Dengan pendasaran demikian, gerakan katakan dengan buku membantu anak-anak untuk mendapatkan akses bacaan yang bermutu.

Buku-buku ini akan diperoleh secara cuma-cuma sesuai dengan usia dan perkembangan anak. Hal ini akan membantu perkembangan kognitif , emosional dan spiritual anak-anak.

Yang lebih penting juga, jelas Lobo, gerakan katakan dengan buku merupakan usaha untuk melahirkan budaya baru atau budaya tandingan.

Budaya itu adalah budaya literasi yang nilainya berbeda budaya dominan. Budaya dominan itu tak lain adalah  “gencarnya kepungan media sosial yang meliputi banyak situs jejaring sosial yang membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak secara utuh”.

Baginya, secanggih apapun sebuah media komunikasi, buku tetap menjadi media informasi yang tak terkalahkan. Membaca buku dapat membangkitkan imajinasi yang menggugah kreativitas yang tidak didapatkan ketika menonton dan mendengarkan.

“Sebagai sebuah gerakan literasi, katakan dengan buku tidak  sekadar menyediakan buku, tetapi membangun pemikiran, perilaku dan budaya dari generasi yang tidak suka membaca menjadi generasi yang gemar membaca,” kata Lobo.

Keteladanan

Boy Zanda, seorang guru di SMA Regina Pacis Bajawa juga ikut tertular virus literasi. Virus literasi inilah yang membawanya untuk berkenalan dengan pegiat literasi lainnya.

Ia berjumpa dengan John Lobo, bergerak bersama Rumah Literasi cermat yang digagas Eman Djomba, mendapatkan inspirasi dari Hengky Ola Sura dan memperoleh dukungan besar dari civitas academia SMA Regina Pacis.

Bagi Zanda, gerakan literasi tidak hanya sampai dimulut. Praktek dan keteladanan menjadi roh utama dalam gerakan literasi. Sebagai guru, dirinya membuat gebrakan untuk menghidupkan literasi di sekolahnya. Dan hal ini sukses.

Memang dalam prosesnya, ada banyak tantangan yang menghadang. Misalnya rendahnya minat baca, kebiasaan plagiat yang akut,  sertifikasi guru hanya untuk kepentingan perut ketimbang peningkatan kemampuan otak. Tapi bukan berarti tantangan demikian membuat semangat jadi kendur.

“Saya terus menampilkan keteladanan dalam semua hal, sembari terus belajar, rendah hati, dan berkolaborasi dengan siapa saja dan pihak mana saja,” tuturnya.

Keteladanan yang sama menjadi nada dasar Eman Djomba dalam menggiatkan literasi di pelosok-pelosok kabupaten Ngada. Bersama Rumah Literasi Cermat, ia memulai kegiatan literasi sejak tahun 2014 lalu.

Ia turun ke kampung-kampung, ke desa-desa untuk mengembangkan rumah baca. Lembaga pendidikan ia sambangi dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

“Gerekan literasi ini diwarnai kegiatan pelatihan seperti jurnalistik, Latiahan Kepemimpinan Tingkat Dasar,  kampanye minat baca dengan berbagi buku, pengembangan rumah baca ke desa kampung, safari literasi ke desa-desa. Dan mengggelar berbagai lomba menulis dan melukis,” ungkap Djomba.

Bupati Flotim, Antonius Gege Hadjon (tengah) bersama ketua Agupena Flotim, Maksimus Masan Kian (kiri) dan ketua panitia Harlah Agupena ke-12 Asy’ari Hidayah Hanafi. (Foto: Hengky Ola)

Kabupaten Literasi

Jalan sunyi para pegiat literasi bukan menjadi alasan untuk berhenti bergerak. Dengan terus bergerak, literasi kian dikenal publik. Tidak hanya itu, sunyi senyap gerakan literasi kini menjadi cahaya yang membuka mata publik tentang manfaatnya.

Yang menarik, dua kabupaten di Flores telah mendeklarasikan kabupatennya sebagai kabupaten Literasi yakni Lembata dan Flores Timur. Deklarasi Lembata sebagai Kabupaten Literasi terjadi pada 12 Agusutus 2017 di Lewoleba.

Sementara deklarasi Flotim sebagai kabupaten Literasi dilakukan oleh Bupati Flores Timur, Antonius Hubertus Gege Hadjon pada tanggal 28 November 2018 bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Agupena yang diselenggarakan secara nasional di Kabupaten Flores Timur.

“Teruslah menulis dan berkarya melalui gerakan literasi. Hari ini saya sekaligus mendeklarasikan kabupaten Flores Timur sebagai kabupaten literasi,” tegas Bupati Anton.

John Lobo menyambut positif hal ini. Bahkan ia terharu, bangga, dan ikut mengapresiasinya.

Baginya, gerakan literasi (pencerdasan) bukanlah milik perorangan atau individu tertentu. Ini sudah menjadi gerakan bersama. Hal ini berarti semua orang harus terlibat dengan visi yang sama.

“Soal mendeklarasikan itu boleh-boleh saja. Yang terpenting adalah konsekuensinya itu adalah literasi di daerah tersebut harus hidup dan menjangkau semua lapisan,” tegas Lobo.

“Tidak hanya milik elitis tertentu namun semua masyarakat menjadi literat. Terutama sampai ke desa-desa dan kampung-kampung di berbagai pelosok. Harapannya, suatu saat pena (menulis) itu bukan hanya milik elitis perkotaan tetapi juga milik orang-orang kampung,” demikian pesan Lobo.

Hal yang sama disampaikan Maksi Masan Kian. Ia juga membandingkan geliat literasi sekarang yang semakin seksi diperbincangkan. Berbeda dengan dulu, tidak banyak yang bergerak di jalan literasi.

“Semoga tetap eksis dan tidak terjebak dalam kepentingan politik dan komersial. Gerakan literasi mesti dijalankan secara murni, sukarela dan mengutamakan pelayanan untuk kecerdasan anak bangsa,” tutup Maksi.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA