Maumere, Ekorantt.com – Pada Minggu (3/3) siang , di saat penduduk lain asyik bersantai ria di rumah, puluhan warga Nirang Kliung, mulai dari anak-anak, pemuda, orang dewasa, hingga kakek-nenek, sibuk menyegel dua (2) buah molen proyek Pokir milik CV Sider di Kampung Detuara.
Mereka ramai-ramai mengumpulkan kayu gamal dan bambu untuk membuat pagar keliling menyegel dua (2) buah molen milik CV Sider yang tergeletak mubazir di sana.
Mereka datang secara spontan ke lokasi proyek ketika mendengar kabar, Kontraktor CV Sider bernama Loly datang ke Detuara untuk mengambil kembali dua buah molen yang sudah karatan itu.
Aksi spontan warga Nirang Kliung di atas adalah akumulasi kekesalan warga terhadap mangkraknya dua proyek pokok pikiran (Pokir) para anggota DPRD Sikka, yaitu proyek rabat jalan senilai Rp400 Juta di Desa Nirang Kliung, Kecamatan Nita atas nama dua Anggota DPRD Sikka, Donatus David dan Beatus Wilfridus Jogo yang dikerjakan oleh CV Sider.
Selain itu ada juga proyek pokir dengan item pekerjaan proyek perumahan rakyat sebesar Rp100 Juta di Desa Dobo, Kecamatan Mego atas nama Anggota DPRD Sikka, Markus Melo yang dikerjakan oleh CV Jaya Tama.
Suara masyarakat sipil untuk menghapus sistem dan proyek Pokir tersebut pun bergema dari segala penjuru.
Kelompok masyarakat sipil ini berargumentasi, Pokir adalah modus korupsi yang menjadi ladang duit bagi para anggota DPRD, tidak terkecuali anggota DPRD Sikka, untuk mengakumulasi kekayaan dan membayar ongkos politik elektoral yang semakin mahal.
Ladang Duit Anggota DPRD
Dosen Filsafat Politik pada STFK Ledalero, Pater Otto Gusti Madung kepada Ekora NTT, Minggu (24/2) mengatakan, praktik Pokir selama ini telah berujung pada sejumlah penyimpangan.
Pertama, Pokir tak lebih dari “penitipan proyek” para anggota DPRD. Pembahasan anggaran antara anggota komisi DPRD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sudah menjadi rahasia umum telah berujung pada usulan proyek tertentu dengan mengatasnamakan Pokir DPRD.
Kedua, jika orang bicara Pokir, aspek pokok pikiran tidak tampak. Yang tampak adalah dimensi anggaran atau duit.
Sekali lagi Pokir menjadi uang proyek yang dikelola oleh anggota DPRD.
Ketiga, Pokir tidak lebih dari istilah sandi rahasia bagi anggota DPRD untuk memainkan APBD.
“Jadi, singkatnya, Pokir adalah ladang duit bagi para anggota DPRD untuk mendapatkan anggaran negara guna membiayai cost politik elektoral yang semakin mahal,” katanya.
Menurut Pater Otto, berdasarkan penjelasan tentang praktik Pokir di atas, maka sudah seharusnya Pokir ini dihentikan.
Alasannya adalah pertama, ia merusakkan demokrasi.
Praktik Pokir hanyalah cara bagi anggota DPRD untuk mengumpulkan duit guna membiayai kontestasi politik.
Dengan demikian, praktik politik uang pun tidak terhindarkan.
Akibatnya, rakyat pun tidak lagi memilih wakilnya karena alasan integritas dan kompetensi, tetapi karena pernah mendapatkan uang dari kandidat.
“Dan setelah terpilih pun anggota DPRD bersangkutan tidak akan memperjuangkan nasib konstituennya, tetapi mengumpulkan uang guna mengembalikan modal yang pernah dikeluarkan dan membiayai kontestasi berikutnya. Ini tentu patologi bagi demokrasi,” katanya.
Kedua, lanjut Pater Otto, praktik Pokir meniadakan prinsip kontrol dalam penyelenggaraan kekuasaan dan bertentangan dengan prinsip trias politica.
Mekanisme kontrol itu esensial dalam demokrasi. Kekuasaan politik tanpa kontrol sudah pasti korup dan fatal.
“Ketika DPRD juga lewat mekanisme Pokir mengelola anggaran negara, pertanyaannya, siapa yang mengontrol? Prinsip trias politica adalah sebuah metodologi pengontrolan kekuasaan,” katanya
“Artinya, eksekutif, legislatif dan yudikatif harus terpisah agar mekanisme kontrol dapat berjalan. Tapi, ketika DPRD urus Pokir, maka absolutisme kekuasaan sedang bersemi, sebag tak ada lagi lembaga yang secara legitim mengontrol penyelenggaraan kekuasaan,” imbuhnya.
Modus Korupsi
Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus kepada Ekora NTT, Minggu (24/2) mengungkapkan, sebetulnya, Pokir adalah pola atau modus korupsi yang dibungkus dengan kebijakan Pokir.
Gagasan Pokir muncul seiring dengan korupsi dana bantuan sosial (Bansos) yang masif di mana-mana dan melibatkan pelaku dari kalangan eksekutif.
“Sementara itu, DPRD tidak berdaya mencegah perilaku korup kalangan eksekutif, lalu lama-lama DPRD juga ingin punya proyek yang dikerjakan sebagai wujud keberpihakan anggota Dewan yang bersangkutan kepada warga masyarakat di daerah pemilihannya,” katanya.
Dengan demikian, menurut Petrus Selestinus, Pokir adalah sebuah kebijakan yang memberikan kompensasi kepada anggota DPRD untuk ikut dalam proyek-proyek sehingga fungsi kontrolnya tergadaikan untuk menikmati dana-dana APBD secara berjamaah.
Proyek Pokir adalah pekerjaan pemburu rente saling menyandera untuk saling melindungi untuk memperbesar pundi-pundi anggota DPRD.
“Karena itu, harus ada keberanian berupa langkah politik dari para bupati di seluruh Indonesia untuk mengakhiri pola atau modus korupsi dana Pokir. Sikka harus menjadi daerah pertama yang mendorong dihentikannya proyek Pokir ini dan ini tidak bertentangan dengan hukum,” tegasnya.
“Harus ada langkah penindakan, karena kerugian daerah akibat Pokir ini sangat besar selain memperlemah kontrol dewan, juga praktik korupsi berjamaah semakin merajalela,” katanya.
Hentikan Saja
Ketua Lembaga Advokasi dan Pendidikan Kritis (BaPikir), John Bala merekomendasikan, proyek-proyek Pokir dihentikan saja.
Proyek Pokir mesti dihentikan untuk meningkatkan efisiensi dan mencegah kebocoran dana rakyat.
John berpendapat, Pokir adalah salah satu bentuk aplikasi fungsi representatif DPRD.
Oleh karena itu, ia mestinya menjadi bagian inheren dari DPRD dan tidak perlu diimprovisasi oleh kekuasaan untuk mengajukan program melalui pendekatan politis.
“Mengapa? Kalau setiap anggota DPRD aktif terlibat dalam setiap tahapan perencanaan dengan masyarakat, maka tidak perlu ada slot khusus untuk mereka. Sebab, sejak awal perencanaan hingga penetapan program dan anggaran, mereka telah terlibat,” paparnya.
“Apalagi semua pendapat mereka harus dipahami sebagai pokok-pokok pikiran dari rakyat. jadi, Pokir sebagai pendekatan politis menjadi tidak relevan untuk dipertahankan,” katanya.
Tambahan pula, lanjut John, Pokir menimbulkan salah tafsir bahwa DPRD memiliki jatah program dan anggaran setiap tahun untuk daerah pemilihan (Dapil) masing-masing.
Pemerintah seolah-olah diwajibkan untuk mengakomodasinya. Akibatnya, alih-alih merespons kebutuhan nyata masyarakat, banyak anggota DPRD memanfaatkan program dan anggaran Pokir untuk mempertahankan, memperkuat, dan meningkatkan elektabilitas.
“Perluas tafsiran peraturan yang menguntungkan sungguh terjadi untuk memenuhi kepentingan mereka. Apalagi kalau kepala daerahnya lemah dan bersedia berkompromi,” ungkapnya.
John melanjutkan, Pokir mesti dihentikan karena ia melemahkan kontrol DPRD terhadap pemerintah.
Banyak anggota DPRD terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam melaksanakan proyek yang bersumber dari dana Pokir tersebut.
Gugat ke MK
Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang, Dr John Tuba Helan kepada EKORA NTT, Minggu (24/2) berpendapat, secara hukum, sebagai pejabat publik, anggota DPRD tidak boleh ikut kerja proyek.
Jika sebelum menjadi anggota, mereka berprofesi sebagai kontraktor, maka mereka harus melepaskan jabatan itu.
“Proyek harus beri kesempatan kepada kontraktor untuk kerja sehingga anggota DPRD fokus menjalankan fungsi pembentukan Perda, pengawasan, dan anggaran,” katanya.
Menurut John, kalau Pokir sudah diatur dalam undang-undang, maka undang-undang bersangkutan salah.
Sebab, DPRD bukan eksekutor kebijakan, melainkan pengawas.
Masyarakat bisa menggugat undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Undang-undang itu dibuat oleh pejabat politik yang cenderung menguntungkan mereka. Seperti undang-undang tentang Pilkada, mantan napi koruptor boleh jadi calon kepala daerah, sedangkan PNS korupsi dipecat. Ini kan tidak adil,” katanya.
Ia sepakat jika proyek Pokir dihentikan.
Alasan utamanya adalah mengerjakan proyek bukanlah tugas DPRD.
Secara demokratis, rakyat punya hak untuk memberikan tekanan politik untuk menghapus Pokir.
Sementara itu, secara yuridis, masyarakat bisa menggugat undang-undang yang atur tentangnya ke MK.