Oleh: Emilianus Yakob Sese Tolo*
Bagaimana korupsi dalam proyek infrastruktur Jokowi dilakukan?
Sudah banyak jawaban atas pertanyaan ini sejauh ini. Namun, masih sedikit jawaban dari kaca mata daerah pinggiran seperti Flores.
Korupsi dalam proyek infrastruktur marak terjadi di Flores.
Belum lama ini, Petrus Kanisius, Mantan Kepala Desa Runut di Kabupaten Sikka dipenjara selama 3 tahun karena melakukan korupsi dana desa untuk pembangunan infrastruktur desa pada tahun 2017 sebesar Rp379.295.376.
Selain korupsi dana desa, korupsi – seperti memberi dan menerima suap – juga jamak terjadi dalam proyek infrastruktur lainnya.
Salah seorang bupati di Flores, yakni Marianus Sae, Mantan Bupati Ngada, yang terlibat kasus penerimaan suap Rp5,783 miliar dan gratifikasi Rp875 juta, sudah dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun dan pencabutan hak politiknya selama 4 tahun.
Menurut seorang wartawan lokal di Flores, “kasus korupsi di Flores – seperti korupsi dana desa dan menerima suap – yang sudah diproses di pengadilan ini hanyalah sebuah fenomena gunung es.”
Korupsi dalam proyek infrastruktur ini biasanya telah terjadi sejak sebelum proyek infrastruktur dikerjakan.
Di Flores, bupati, anggota DPRD, kepala desa dan kepala dinas tidak jarang meminta kontraktor proyek membayar 10% dari total nilai proyek sebelum mengerjakan proyeknya.
Tanpa membayar 10% dari total nilai proyek, seorang kontraktor tidak dapat memulai pengerjaan proyeknya.
Namun, untuk mendapatkan satu proyek, kadang-kadang seorang kontraktor harus membayar beberapa orang yang berbeda mulai dari bupati, anggota parlemen lokal dan kepala dinas, yang membuat pembayaran gelap ini bisa melebihi 10% dari total nilai proyek.
Karena kontraktor harus membayar begitu banyak orang yang terkait dengan proyek, para kontraktor di Flores tidak dapat membangun infrastruktur yang berkualitas.
Di Boawae, misalnya, gedung kantor kecamatan yang baru selesai dibangun dua tahun lalu belum digunakan sampai hari ini karena para pegawai takut menggunakan bangunan yang berkualitas rendah ini.
Di Borong, jalan yang menghubungkan Desa Lehong-Peot yang telah dibangun beberapa waktu lalu dengan anggaran Rp9 Miliar sudah rusak parah setelah melewati musim hujan di tahun 2017.
Sementara itu, jalan yang menghubungkan Desa Bugis-Cambir-Sola di Manggarai Timur yang baru saja selesai pada November 2018 juga dalam kondisi buruk saat ini.
Di Flores, banyak proyek pembangunan infrastruktur, termasuk di bawah pemerintahan Jokowi, seperti jalan dan jembatan, didirikan baik selama atau dekat dengan musim hujan sehingga pemerintah dan para kontraktor dapat menyalahkan hujan, bukan kualitas dari jalan atau bangunan yang sudah dikerjakan, jika terjadi kerusakan dalam waktu yang singkat.
Pemerintah daerah kemudian meminta proyek pendanaan baru untuk merekonstruksi proyek gagal yang biasanya lebih tinggi dari anggaran sebelumnya.
Misalnya, pemerintah daerah Lembata baru saja membangun jembatan Waima dengan anggaran Rp1,6 Miliar.
Tetapi ketika jembatan itu rusak karena banjir baru-baru ini, Pemerintah Lembata sudah berencana meminta anggaran Rp30 Miliar kepada pemerintah pusat untuk merekonstruksi jembatan itu.
Dengan demikian, proyek pembangunan infrastruktur di Flores di bawah pemerintah Jokowi kadang-kadang digunakan oleh para birokrat dan politisi di daerah untuk meminta uang dari Jakarta, yang akan dikorupsi nantinya.
Mengapa Korupsi?
Korupsi dalam proyek infrastruktur Jokowi merajalela di Flores karena beberapa hal, seperti pers yang tidak kritis, media sosial digital yang kurang berkembang, dan meningkatnya budaya permisif.
Pers di Flores mudah dibeli.
Selama masa kampanye pemilihan umum 2019, surat kabar lokal di Flores – baik cetak maupun online – meliput berita dari para politisi lokal dan nasional yang menjual pandangan, impian, dan kritik mereka pada pemerintah untuk sekedar mendapatkan dukungan elektoral.
Salah satu responden mengatakan kepada saya bahwa “liputan koran lokal tentang dan dari para politisi itu tidak gratis. Wartawan dan pihak pengelola surat kabar lokal mungkin telah dibayar puluhan juta untuk publikasi-publikasi itu.”
Pers lokal juga cenderung tidak bersikap kritis terhadap pemerintah. Apalagi, pers lokal yang berpengaruh di Flores, seperti Pos Kupang, tidak sepenuhnya independen karena merupakan bagian dari Kompas, salah satu dari oligarki media besar di Jakarta.
Sayangnya, dalam kondisi seperti ini, media nasional cenderung mengabaikan masalah lokal di Flores.
Sebab, mereka – seperti yang Ross Tapsell katakan – hanya memberikan ruang 10-20% untuk persoalan lokal dalam peliputannya. Sisanya adalah tentang apa yang terjadi di Jakarta.
Alhasil, masalah seperti korupsi di tingkat lokal, terutama di Flores, cenderung tidak didengar oleh lembaga negara seperti BPK dan KPK di Jakarta walau mereka memiliki kantor perwakilan di daerah di Kupang.
Media digital juga tidak berkembang dengan baik di Flores.
Meskipun Ross Tapsell melaporkan bahwa orang Indonesia menghabiskan 5 jam sehari di internet, hal itu tak terjadi dalam konteks Flores.
Apalagi, di Indonesia Timur umumnya, penetrasi internet hanya 25% jika dibandingkan dengan Indonesia Barat.
Di Flores, satu-satunya koneksi internet yang dapat diandalkan disediakan oleh Telkomsel, yang sangat mahal dibandingkan penyedia lain di Jawa yang membuat tidak semua orang bisa dengan muda mengaksesnya.
Sebagian besar pekerja di Flores, terutama yang tidak berijasah sarjana dibayar di bawah upah minimum provinsi provinsi (Rp1.666.000) sekitar Rp700.000 – Rp800.000 per/bulan.
Seorang berijasah SMA, yang pernah bekerja sebagai Satpam di sebuah sekolah seminari menengah di Flores, yang bekerja hampir 24 jam, hanya dibayar sebesar Rp800.000 saja.
Namun, dalam banyak kasus juga, yang berijasah sarjana pun dibayar murah, bahkan di bawah upah minimum propinsi, seperti yang saya temukan di SMA St. Fransiskus, Boawae, Flores, yang dikelola oleh Gereja Katolik, yang mana dari 19 guru swasta, hanya satu orang saja yang sudah berkarya selama 26 tahun dibayar di atas upah minimum propinsi, yakni Rp 2.099.760.
Karena banyaknya sekolah yang dikelola oleh Gereja Katolik di Flores, maka pemberian upah murah seperti ini merupakan hal yang lumrah di Flores.
Karena itu, untuk mendapatkan akses internet selama satu bulan, banyak pekerja berpenghasilan rendah di Flores perlu mengeluarkan sekitar Rp100.000 yang merupakan 12,4-14,3% dari penghasilan bulanannya.
Selain itu, di Flores, seperti halnya Papua, seperti yang dilaporkan oleh Ross Tapsell, tidak semua orang dewasa yang memiliki ponsel dibandingkan dengan Jakarta yang mencapai sekitar 97%.
Situasi ini mempersulit massa rakyat untuk menyuarakan kepentingannya melalui media digital untuk mengontrol dan mengendalikan pemerintah daerah di Flores.
Apalagi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah membuat orang yang menggunakan media digital untuk mengkritik pemerintah, lembaga agama dan pers rentan mendapat sanksi hukum.
Di Flores, misalnya, akun Facebook bernama Serfasius Ndoa Dhele dan Che Johanes Lendes pernah dilaporkan ke polisi oleh jurnalis Flores Pos, Petrus Dua, karena dua orang ini mengkritik berita Flores Pos pada 17 Oktober 2017.
Sebab, alih-alih memasang foto mahasiswa yang diwisuda, Flores Pos malah memasang foto-foto bupati Nagekeo dan ketua DPRD yang sedang bersaing dalam pilkada Nagekeo 2018, yang menghadiri upacara wisuda kelulusan mahasiswa STKIP Nusa Bunga Floresta, Aeramo, Mbay, Flores.
Selain itu, dalam masyarakat Flores, budaya permisif bagi mereka yang terlibat korupsi dalam masyarakat masih kuat.
Wim de Rozari, seorang jurnalis untuk Flores Pos, mengatakan kepada Genewati Wuryandari bahwa beberapa kasus korupsi di Flores tidak dibawa ke pengadilan meskipun surat kabar telah melaporkannya.
Sebab, di Flores, orang masih memikirkan konsekuensi lebih lanjut terhadap keluarga koruptor jika seseorang dipenjara karena masalah hukum.
Seorang staf Komite Pengawas Pemilu (Banwaslu) di Flores mengatakan kepada saya bahwa lembaganya sangat memahami politik uang dalam masyarakat Flores.
Namun, meskipun mereka memiliki orang-orang di desa-desa untuk mengawasi pelaksanaan pemilihan lokal dan biasanya menemukan pelanggaran yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum atau pilkada, lembaganya hanya akan membawa seseorang yang melakukan politik uang dan segala pelanggaran lainnya ke pengadilan hanya jika pihak pers atau media terus mendesak mereka untuk melakukan itu.
Secara umum, meskipun harus diakui bahwa Jokowi belum terlalu banyak mengalokasikan proyek infrastruktur besar di Flores, kecuali bendungan Napung Gete di Maumere, proyek-proyek infrastruktur dalam skala kecil di Flores, yang saya teliti ini, tampaknya kurang berhasil karena korupsi.
Jika Jokowi memenangkan pemilihan presiden 2019, ia harus menaruh lebih banyak perhatian untuk memberantas korupsi dalam proyek infrastrukturnya baik dalam skala besar maupun kecil di Flores di masa depan.
Namun, berdasarkan penyebabnya, korupsi di Flores tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengirim KPK dan BPK.
Sebaliknya, Jokowi harus melibatkan massa rakyat dan masyarakat sipil di Flores, seperti LSM, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan di Flores.
Dengan melakukan itu, Jokowi seharusnya tidak hanya fokus terlalu banyak pada pengembangan infrastruktur publik tanpa berinvestasi pada sumber daya manusia di Flores.
*New Mandala Indonesia Fellow, Australian National University’s College of Asia and the Pacific, Canberra, Australia