Maumere, Ekorantt.com – Mantan Bupati Sikka, Yoseph Ansar Rera dan anggota DPRD Sikka periode 2014-2019 diduga melakukan konspirasi kejahatan korupsi tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi anggota DPRD Sikka tahun anggaran 2018.
Hal ini disampaikan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Marianus Gaharpung kepada Ekora NTT di Kantor Redaksi Ekora NTT, Sabtu (11/5).
Saat itu, Surat Kabar Harian Ekora NTT menggelar diskusi publik membahas pendapat hukum dan aksi mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Sikka dan Polres Sikka untuk mengusut tuntas berbagai kasus dugaan korupsi di Kabupaten Sikka, termasuk kasus dugaan korupsi tunjangan kerja anggota DPRD Sikka.
Hadir dalam diskusi tersebut berbagai elemen masyarakat sipil seperti Lembaga Bantuan Hukum Nusa Tenggara (LBH Nusra), Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Lembaga Konsultan Pemberdayaan NTT, Yayasan Bina Bantuan Hukum (YBBH) Veritas Indonesia, dan LBH Komisi Nasional (Komnas) Penegakan Hukum Demokrasi (PHD) Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia.
Marianus mengatakan, kasus dugaan korupsi tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi anggota DPRD Sikka sudah memenuhi unsur pidana.
Unsur pidananya adalah kejahatan atau konspirasi jahat yang diduga dilakukan oleh Bupati Ansar dan DPRD Sikka melalui sebuah produk peraturan perundang-undangan dalam bentuk peraturan bupati (Perbup).
Dugaan kejahatan korupsi itu terindikasi menyebabkan kerugian negara sebesar Rp3,393 Miliar.
Marianus mengatakan demikian karena di dalam tindak pidana korupsi, ada dua hal yang diukur, yaitu perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang.
“Dari dua alat ukur ini, kita lihat mana yang salah? Yaitu penyalahgunaan wewenang oleh 35 anggota DPRD Sikka. Kenapa? Mereka menggunakan kewenangan di luar kewenangan yang diberikan kepada mereka,” ungkapnya.
Menurut Marianus, dalam kasus dugaan korupsi ini, perlu dicermati beberapa norma peraturan perundang-undangan yang mengatur soal keuangan negara.
Pertama, Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi wewenang kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan terhadap keuangan negara.
Dalam pemeriksaannya, BPK menemukan kerugian negara dalam hal tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi anggota DPRD Sikka.
Kerugian negara terjadi karena penyalahgunaan Perbup yang dikerjakan tanpa melalui evaluasi dan penelitian yang benar.
“Kalau kita baca peraturan perundang-undangan, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan , ada menetap, mengingat, dan menimbang. Saya melihat sepintas, kata mengingat tidak boleh tanpa norma. Harus ada norma. Itu wajib hukumnya,” tegasnya.
“Pertanyaan saya, kenapa mereka memasukkan risalah rapat? Berarti ada dugaan penggunaan wewenang yang salah sehingga mengakibatkan kerugian negara,” katanya.
Kedua, di samping Undang-Undang tentang BPK, ada Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun 2004 untuk mengukur kerugian negara.
Menurut Undang-Undang ini, ada kerugian-kerugian riil. Dari hasil kajian BPK, potensi kerugian riil mencapai Rp3,393 Miliar.
Selanjutnya, ketiga, menurut Pasal 32 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kerugian nyata atau riil dapat dihitung dari temuan-temuan indikasi penyimpangan.
Indikasi penyimpangan dapat dilihat dari penetapan Perbup waktu yang relatif sangat singkat.
“Bagi kita, itu sangat tidak rasional,” katanya.
Keempat, akhirnya, lex specialis derogat lex generale. Artinya, undang-undang khusus mengalahkan undang-undang umum.
Undang-Undang tentang Tipikor adalah undang-undang khusus, sedangkan Undang-Undang tentang BPK dan Perbendaharaan Negara di atas adalah undang-undang umum.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang tentang Tipikor, pengembalian keuangan negara tidak menghapus tindak kejahatan korupsi.
“Bagi saya, walaupun anggota DPRD Sikka mengembalikan keuangan negara, proses hukum harus tetap berjalan agar ada efek jera,” pungkasnya.