Maumere, Ekora NTT- Kasus dugaan korupsi tunjangan kerja anggota DPRD Sikka yang lagi hangat-hangatnya diperbincangkan memantik pula reaksi dari kalangan generasi muda di Sikka.
Mereka meminta kasus ini segera diungkap secara terang benderang ke publik, dan lebih daripada itu, diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Lin Lazar, seorang pemudi yang tinggal di Waioti, kepada Ekora NTT, Kamis (6/6), mengatakan, kalau memang para anggota DPRD Sikka itu terbukti korupsi, sebaiknya hal tersebut disampaikan ke masyarakat. Sehingga masyarakat pun tahu bahwa ada wakilnya di dewan yang curang.
“Itu bisa menjadi efek jera bagi koruptor dan menjadi pendidikan publik bagi masyarakat itu sendiri agar lebih kritis kepada wakil rakyat,” kata dia.
Selain itu, dia juga meminta agar Kabupaten Sikka menerapkan sistem elektronik untuk konteks keterbukaan informasi publik.
“Penerapan sistem ini untuk mengontrol dan memantau pergerakan anggota DPRD. Misalnya, untuk semua transaksi atau pengadaan barang begitu, pakai aplikasi yang dibuat khusus untuk bisa dilihat oleh seluruh komponen masyarakat. Kalau tertutup ‘kan potensi untuk korupsinya besar,” tambah Lin.
Tak hanya Lin, gagasan lain datang dari Fian N., mahasiswa STFK Ledalero. Fian sangat menyayangkan adanya desas-desus soal kasus dugaan korupsi yang mengerubungi marwah Gedung Kula Babong.
“Menyoal kasus korupsi yang akhir-akhir ini makin banal dan tak teratasi di kabupaten ini, sebagai masyarakat, saya sangat menyayangkan tindakan korupsi ini. Apalagi itu kalau tidak bisa diatasi dan diselesaikan. Seruan untuk mengusut tuntas hanya menjadi wacana belaka,” paparnya.
Serupa dengan Lin, dia lagi-lagi menekankan keterbukaan informasi publik. Hal itu menjadi penting sebab publik bisa bersama-sama mengawasi proses kerja pihak yang berwenang dalam mengusut tuntas kasus termaksud.
“Jika rakyat tidak diizinkan untuk mengetahui, maka sia-sialah kepercayaan dari rakyat yang sudah diberikan kepada penguasa,” demikian pungkas Fian.
Ekora NTT juga meminta pendapat dari kalangan anak muda lain yang berdomisili di luar kota Maumere.
Dari kecamatan Doreng, Arnold Buko bilang, jikalau kasus ini sudah benar-benar terbukti, pihak aparat hukum terkait sebaiknya segera melakukan proses hukum.
“Kami masyarakat kecil ini tidak akan tahu apa-apa kalau penegak hukum diam belaka dan tidak mau beri penjelasan terbuka. Bila perlu diupayakan secepatnya kalau sudah ada kejelasan,” ujar Arnold.
Sementara itu, dari arah barat Maumere, Dian Nale yang tinggal di Magepanda, mewedarkan pendapat bernada miris. Dian katakan, korupsi itu sudah jadi budaya dan ada di mana-mana. Meskipun sudah disumpahi, para pejabat publik atau siapa pun itu tetap saja terjebak di dalamnya.
“Ini yang rumit. Sumpah atau janji juga orang akan langgar. Ancaman hukum, masuk penjara, juga orang tidak kapok-kapok.”
Makanya, dia pun lagi-lagi meminta aparat penegak hukum untuk berani menunjukkan keadilan dan kebenaran ke masyarakat.
“Kalau ada hal yang tidak beres, harus berani bersuara. Sampaikan informasi ke masyarakat,” tutupnya.
Sekadar informasi, sebagaimana pemberitaan-pemberitaan sebelumnya, terhadap dugaan kasus korupsi yang melibatkan 30-an anggota DPRD Sikka ini, Ekora NTT mencatat dua hal pokok.
Pertama, pemberian tunjangan perumahan dan transportasi bagi anggota DPRD Sikka pertama tidak berdasarkan hasil survei.
Kedua, kelebihan pembayaran tunjangan tersebut di atas terjadi bukan karena kesalahan administrasi semata, melainkan karena “kesepakatan” yang dibuat secara sadar oleh pemerintah dan Banggar DPRD Sikka.
Hal ini tertuang jelas dalam Risalah Rapat Sinkronisasi APBD Kabupaten Sikka tahun 2018, Kamis (21/12/2017).
Salah satu rekomendasi Banggar DPRD Sikka dalam rapat yang berlangsung tertutup tersebut adalah persetujuan DPRD Sikka terhadap Penetapan RAPBD TA 2018 dengan catatan:
“sebelum sidang penetapan dimulai, pemerintah diharapkan menunjukkan dua Peraturan Bupati tentang Tunjangan Perumahan dan Transportasi bagi anggota DPRD Sikka dan satu Keputusan Bupati tentang Pemberian Uang Makan Minum Rumah Jabatan Pimpinan DPRD Sikka.”