Maumere, Ekorantt.com– Pada tahun 2017, di Inggris, buku berjudul Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution diterbitkan oleh Rowman & Littfield International, London. Buku yang sama ini – dengan judul Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital – kemudian diterbitkan kembali di bumi Indonesia oleh Marjin Kiri pada tahun 2018 dalam bahasa Indonesia atas terjemahan Wisnu Prasetya Utomo. Penulisnya, Ross Tapsell, seorang pengajar senior di College of Asia and the Pasific, The Australian National University (ANU), mengajukan tesis, teknologi digital yang baru membawa Indonesia ke dua arah.
Di satu sisi, digitalisasi membuat kaum oligark mengontrol ranah media arus-utama dan mendorong struktur kekuasaan elite terpusat di sektor politik dan media. Pada saat yang sama, berbagai platform media digital juga digunakan oleh warga untuk tujuan-tujuan aktivisme dan pembebasan, dan warga biasa dapat menantang struktur kekuasaan elite melalui penggunaan media digital yang efektif.
Apakah tesis Tapsell bisa menjelaskan kuasa media di NTT? Bagaimana digitalisasi media di NTT mendorong aktivisme warga, terutama kelas pekerja yang tertindas, menantang struktur kekuasaan elite?
Berikut adalah petikan wawancara Ekora NTT dengan Emilianus Yakob Sese Tolo, New Mandala Indonesia Fellow, Australian National University’s College of Asia and the Pacific, Canberra, Australia, pada Jumat, 5 April 2019.
Bagaimana Anda melihat peran media di NTT dalam menantang kekuasaan elite?
Sebelum menjelaskan peran media dalam konteks NTT, saya pikir kita perlu melacak keberadaan media di Indonesia sejak kelahiran pertamanya di Indonesia – terutama di masa perjuangan melawan kolonialisme. Pada saat itu, media di tangan Tirto Adhi Soerjo dimanfaatkan untuk meningkatkan perjuangan masyarakat Indonesia melawan kolonialisme Belanda dengan menggunakan medium bahasa Melayu, yang kemudian berkembang menjadi Bahasa Indonesia.
Dengan adanya media, semangat nasionalisme dan juga perlawanan terhadap kolonialisme mulai tumbuh. Karena itu, Benedict Anderson melihat bahwa semangat kebangsaan atau kesadaran kebangsaan muncul di Indonesia disebabkan oleh hadirnya media cetak atau kapitalisme cetak.
Jadi, kapitalisme cetak bukan saja berperan sebagai senjata melawan penindasan kolonial, tetapi juga bermanfaat untuk menciptakan kesadaran kebangsaan yang dibayangkan oleh semua masyarakat Indonesia yang hidup di sebuah negara kepulauan yang sangat luas. Jadi, media cetak inilah yang berfungsi menyatukan bayangan mereka tentang sebuah bangsa, yakni bangsa Indonesia.
Ketika Indonesia merdeka, peran media tetap penting dalam kaitannya dengan menyatukan semua elemen di dalam masyarakat untuk membangun Indonesia merdeka. Sejak tahun 1940an hingga1960an awal, media-media di Indonesia saat itu memang tumbuh dari berbagai elemen sosial yang memang kadang-kadang saling berseberangan secara ideologis.
Sebab, ada berbagai macam golongan –seperti golongan nasionalis, agama dan komunis– yang masing-masing menggunakan media untuk mengungkapkan kepentingan ekonomi politiknya di Indonesia. Namun, di bawah pengaruh Sukarno, media saat itu memang dianjurkan dan didorong untuk berjuang melawan feodalisme dan kolonialisme –terutama neo-kolonialisme.
Pada masa Orde Baru (Orba), media berada di dalam tangan kekuasaan. Media digunakan sebagai alat perpanjangan tangan dari kekuasaan. Kalau kita lihat pada masa Orba, beberapa media yang dimiliki oleh pemerintah, seperti TVRI, digunakan oleh kekuasaan untuk kepentingan ekonomi dan politiknya.
Jadi, media menjadi saluran pemikiran dari kekuasaan. Selain itu, ada pula media-media swasta, yang menurut saya, bekerja selain untuk mendapatkan keuntungan ekonomi politik diri sendiri, tetapi juga melanggengkan kekuasaan Suharto. Jadi, saat itu, media dan kekuasaan tak bisa dipisahkan.
Media, pada satu sisi, memanfaatkan kekuasaan agar bisa bertahan dan, pada sisi yang lain, kekuasaan mendapatkan keuntungan ekonomi politiknya karena beraliansi dengan media. Akibatnya, media yang mengkritik negara dan, karena itu, menolak beraliansi dengan negara akan dibredel oleh negara.
Pada masa Reformasi, media memang tidak lagi melayani kekuasaan seperti pada masa Orba. Kerja media menjadi lebih bebas dan lebih independen, tetapi dalam keadaan tertentu media tetap juga melayani kekuasaan.
Namun, kekuasaan tidak dalam arti seperti di masa Orba di mana kekuasaan bersifat satu dan tunggal. Hal ini berarti bahwa setiap media memiliki tujuan ekonomi politik masing-masing yang diatur atau diorganisasasi oleh para oligark media yang memiliki kepentingan ekonomi dan politiknya sendiri, baik kepentingan yang disediakan oleh pasar maupun negara.
Jadi, pada masa Reformasi, kalau kita baca buku Tapsell, misalnya, Tapsell menjelaskan cukup detail bagaimana oligark media di Indonesia menggunakan media untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sangat besar.
Tetapi, dalam waktu bersamaan, para oligark ini menggunakan media untuk kepentingannya bertarung di medan politik yang alih-alih untuk memenuhi kepentingan ekonominya. Karena di Indonesia dan di mana pun, sumber ekonomi berpusat pada negara. Jadi, pihak swasta –yang ingin meraup keuntungan ekonomi dan politik– harus beraliansi dengan negara agar bisa mendapatkan keuntungan ekonomi politiik itu.
Apa perbedaan media di masa pra-kemerdekaan dan masa setelah kemerdekaan, terutama pada masa Orba dan Reformasi?
Perbedaan, terutama dalam hal kiblat perjuangan, saya pikir hanya terdapat pada masa sebelum dan setelah kemerdekaan. Pada masa pra-kemerdekaan, media benar-benar digunakan untuk menghantam dan melawan kolonialisme. Namun, setelah kemerdekaan, perbedaan kiblat perjuangan itu semakin tipis.
Media cenderung berjuang demi kepentingan ekonomi politiknya sendiri, yang seringkali dimanfaatkan oleh kekuasaan negara, seperti yang sudah saya jelaskan di muka. Saya tidak ingin menjelaskannya lebih jauh. Karena itu, pada kesempatan ini, saya lebih ingin menyoroti media dalam kaitannya dengan bentuk media itu sendiri.
Perbedaan paling utama adalah soal perubahan dari bentuk media itu sendiri. Pada masa sebelum Reformasi, media yang berkembang lebih merupakan media cetak dan media visual. Namun, di era Reformasi dan hari ini, media tidak lagi sekadar media cetak dan visual, tetapi juga telah bertransformasi menjadi media digital.
Sebagai media digital, banyak media di Indonesia hari ini, terutama media-media besar, mengkonvergensikan pelbagai macam patform dalam satu tampilan. Karena itu, jika Anda mengakses media digital seperti Kompas, misalnya, Anda akan dengan mudah mengakses semua platform media yang ditawarkan oleh Kompas, seperti Kompas TV.
Jadi, berita tertulis dan berita visual ditampilkan di satu halaman digital Kompas. Bagi para oligark media ini, seperti Kompas, melalui konvergensi media ini, adalah agar mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik yang lebih besar. Namun, pada era hari ini, media digital juga dapat membantu kelas bawah –yang adalah oposisi dari para oligark media dan aliansi ekonomi politiknya– untuk mengemukakan kepentingan ekonomi dan politiknya. Karena itu, media digital ini memungkinkan setiap orang berpartisipasi.
Demokrasi dalam media lebih dimungkinkan pada masa era media digital. Oleh karena itu, Tapsell dalam bukunya Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital secara tepat menggambarkan hal ini. Media digital menjadi platform yang bisa sama-sama diakses dan digunakan oleh kaum bermodal atau kaum oligark dan masyarakat biasa.
Media digital hari ini menyediakan berbagai macam platform digital –seperti Facebook, Jurnalisme Warga seperti Kompasiana, Blog, Youtube, Twitter, dan WhatsApp. Semua platform ini memungkinkan berbagai macam kalangan terlibat di dalamnya – baik kalangan oligark maupun masyarakat biasa demi menyalurkan aspirasi mereka.
Nah, dalam konteks seperti ini, media yang hidup dalam era digital, jika dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat, maka dia bisa menjadi sebuah kekuatan yang besar untuk melawan kekuasaan oligark atau kekuasaan dan kepentingan kaum bermodal. Akan tetapi, walaupun demikian, Tapsell mengakui bahwa media digital justru memberi keuntungan besar pada kaum oligark karena mereka dapat mendapatkan keuntungan ekonomi yang besar melalui iklan dan juga dapat memiliki pengaruh politik yang kuat. Sebab, media yang mereka punyai bisa menjangkau lebih banyak orang melalui berbagai platform digitalnya.
Apakah kekuatan melawan kekuasaan oligark itu muncul begitu saja?
Saya pribadi berpikir bahwa hal seperti ini tidak bisa terjadi begitu saja tanpa ada upaya yang terorganisir dari masyarakat, terutama kelas pekerja, untuk mengupayakan kepentingan-kepentingan mereka bisa direalisasi melalui pelbagai macam platform media digital yang ada hari ini.
Oleh karena itu, media tetap hanya menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan kelas pekerja atau masyarakat kecil. Oleh karena itu, untuk menggunakan media atau platform ini, tetap diperlukan kerja-kerja pengorganisasian, kerja penyebaran ideologi atau kerja-kerja ideologis, dan kerja-kerja intelektual agar apa yang disuarakan melalui berbagai platform media digital adalah sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan kelas pekerja untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Insipirasi dan kerja-kerja politik pengorganisasian ini mesti diorganisasi sedemikan rupa agar menjadi hegemonik di dalam masyarakat. Tanpa menjadi hegemonik, beragam pemikiran yang berkaitan dengan kadilan sosial bagi kehidupan banyak orang, terutama kelas pekerja dan masyarakat kecil, sulit diwujudkan. Namun, pekerjaan ini harus menjadi pekerjaan sekaligus tanggung jawab kolektif yang bisa dilakukan oleh semua pihak, baik kelas pekerja itu sendiri maupun individu atau kelompok yang memiliki simpati, dalam hal ini kaum intelektual, dengan kelompok kelas pekerja.
Bagaimana dengan konteks NTT?
Dalam konteks NTT, media memiliki sejarah dan pengaruh yang kurang lebih sama dengan konteks nasional. Memang terdapat sedikit perbedaan dengan konteks nasional. Karena media di NTT lahir pertama-tama dari kerja karya Misi Gereja, baik Misi Gereja Katolik maupun Gereja Protestan.
Jadi, media pertama di NTT adalah media yang lahir dari karya Misi Gereja. Maka, saya berpikir, media sejak awal sudah dikooptasi oleh kekuasaan, yakni kekuasaan Gereja, baik Gereja Protestan maupun Gereja Katolik di NTT.
Pada masa pra-kemerdekaan, media di NTT, khususnya media agama, baik Katolik maupun Protestan, digunakan oleh para misionaris untuk menceritakan atau menyebarluaskan informasi mengenai karya Misinya di NTT. Namun, tujuannya tidak hanya sebatas itu.
Tentu ada tujuan ekonomi dan politik di balik penerbitan media di tangan misionaris. Karena pada masa itu, media para misionaris diterbitkan agar karya-karya misionaris didanai oleh Negara, khususnya untuk misionaris Belanda. Jadi, dengan menceritakan kisah dan misi karya misionernya, para misionaris di Indonesia pada umumnya dan NTT pada khususnya mendapatkan bantuan dari pemerintah kolonial, baik secara ekonomi maupun politik, untuk karya misionernya, khususnya karya misioner misionaris Protestan dan Katolik di NTT.
Pada masa kemerdekaan, media juga tetap digunakan oleh Gereja untuk kepentingan Misinya.Namun, pada waktu yang bersamaan, media di NTT juga digunakan oleh Negara untuk kepentingannya.
Kalau kita membaca, misalnya, buku Gerry van Klinklen yang berjudul The Making of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota Kupang 1930an-1980an, dia menyinggung sedikit soal bagaimana media di NTT kala itu, khususnya media yang berada di dalam kekuasaan Gereja. Sebab, pada saat itu, media berada di dalam kekuasaan Gereja, khususnya Gereja Katolik di Flores, berpihak selain untuk kepentingan dirinya, juga kepentingan Negara Indonesia yang sedang berjuang melawan pengaruh komunis di Indonesia, yang juga dilihat sebagai musuh bagi Gereja Katolik itu sendiri. Jadi, menurut Klinken, dalam satu edisi DIAN di Flores, misalnya, secara terang-terangan mengutuk komunisme.
Nah, sampai hari ini, media di NTT juga berada di bawah pengaruh Gereja yang sangat kuat. Misalnya, di Flores, media cetak lokal seperti Flores Pos dikelola oleh Gereja Katolik, yang dalam banyak kasus seperti yang saya lihat akhir-akhir ini menjadi alat di tangan Gereja Katolik untuk menyuarakan kepentingan ekonomi dan politiknya.
Kalau kita lihat media non-agama seperti Pos Kupang, misalnya, mereka juga tidak terlepas dari pengaruh Gereja. Sebab, media terbesar di NTT ini, Pos Kupang, merupakan bagian dari Kompas. Kompas, bagi saya, adalah media Katolik terbesar nasional yang merupakan salah satu dari oligark media di Indonesia. Kompas dikelola oleh (dan juga mendapat pengaruh besar dari) orang-orang Katolik.
Jadi, Kompas, menurut saya, sangat identik dengan Gereja Katolik. Nah, kalau dilihat dari sisi ini, saya berpikir, media di NTT memang selalu dan senantiasa berada di dalam kekuasaan pengaruh Gereja Katolik yang digunakan untuk kepentingan Gereja, baik dalam tataran lokal maupun nasional. Jadi, menurut saya, media, terutama media cetak, tidak bebas nilai di NTT. Kalau media visual, seperti televisi (TV), di NTT masih sangat dipengaruhi oleh media-media besar nasional. Sebab, tidak ada TV lokal yang cukup berpengaruh di NTT.
Namun, dalam era media digital hari ini, saya melihat bahwa dominasi media di NTT yang berada di bawah kekuasaan Gereja secara langsung –seperti Flores Pos atau kekuasaan orang Katolik, seperti Pos Kupang– hari ini mendapat saingan sekaligus tantangan dari media-media online yang sedang berkembang. Jumlah media online cukup banyak di NTT.
Namun, sayangnya, menurut saya, belum ada media online di NTT yang benar-benar memiliki pembaca dan pengaruh yang besar di NTT. Meskipun demikian, seperti Tapsell, saya tetap optimis melihat proses digitalisasi media di NTT sama seperti pada konteks nasional, yang mana hal itu membuka ruang bagi masyarakat NTT untuk terbebas dari hegemonisasi oligark media di NTT yang berada di bawah kekuasaan Gereja Katolik.
Dengan demikian, digitalisasi media di NTT, menurut saya, adalah sebuah peluang. Sebab, kalau saya membaca berita-berita online di NTT, walau mereka pada umumnya belum dikelola secara profesional, mereka cenderung lebih kritis, terbuka, dan jujur dalam pemberitaannya. Sebab, memang media-media online yang independen ini tidak terikat pada kepentingan kekuasaan ekonomi politik negara dan institusi masyarakat tertentu, seperti Gereja Katolik misalnya.
Oleh karena itu, media-media online ini, menurut saya, memang ke depan akan menjadi platform media alternatif bagi masyarakat NTT untuk menyuarakan kepentingannya demi melawan dominasi berbagai macam kepentingan elite –terutama elite yang dekat dengan Gereja, seperti elit negara, atau yang berada di dalam Gereja itu sendiri.
Berkembangnya media digital di NTT merupakan peluang yang baik bagi masyarakat kecil dan tertindas di NTT. Namun, lagi-lagi seperti pada level nasional, media digital yang berkembang di NTT tidak bisa digunakan untuk kepentingan kelas pekerja atau masyarakat kecil jika masyarakat yang tertindas ini tidak diorganisir dengan baik. Kesadaran berorganisasi harus ditumbuhkan agar bisa menyuarakan kepentingan-kepentingan mereka melalui media cetak atau online yang independen dan terlepas dari kepentingan kekuasaan.
Jadi, dalam hal ini, kerja politik, kerja ideologis, dan kerja intelektual tetap penting dan, karena itu, tugas dan kerja para intelektual –terutama scholar-activists, yakni mereka senantiasa ada bersama masyarakat yang ditindas untuk membaca realitas, mengorganisir dan melawan kekuasaan yang menindas– sangatlah penting dalam konteks pembebasan masyarakat NTT dari berbagai macam bentuk penindasan hari ini.
Tujuan kerja intelektual para scholar activists ini adalah agar perjuangan melawan kekuasaan yang menindas guna menghadirkan keadilan sosial bagi semua menjadi hegemonik dan dipercayai banyak orang dalam masyarakat. Karena itu, media, terutama media digital, sebagai salah satu pilar demokrasi, dalam konteks NTT, lebih mungkin berkembang dan memainkan fungsi di era media digital dan digitalisasi media hari ini untuk kepentingan terealisirnya keadilan sosial bagi semua orang.
Hari ini merupakan momentum yang baik untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi kelas tertindas atau kelas pekerja melalui berbagai macam platform media, terutama media digital. Momentum ini tidak boleh disia-siakan oleh kelas pekerja dan para intelektual, terutama scholar activists, yang bersimpati pada kelas pekerja di NTT hari ini.