Sikka, Ekorantt.com– Warga Dusun Bidara, Desa Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka mendesak Bupati Sikka Roby Idong agar proaktif menyelesaikan persehatian batas wilayah antara Kecamatan Lela dan Kecamatan Bola di Iling Bekor, sebelah utara Desa Sikka.
Menurut Seperinus Sepering (49), Ketua RW 04 Dusun Bidara, Kamis pagi (13/6/19), Iling Bekor itu sendiri merupakan kawasan hutan lindung dalam lingkup Desa Sikka, Kecamatan Lela. Namun, selama ini kawasan itu dihuni oleh warga Desa Hokor dari Kecamatan Bola. Sehingga agar tidak terjadi prasangka yang salah kaprah, pihak Pemda Sikka mesti turun langsung ke lapangan untuk menjalin komunikasi dengan warga setempat.
“Mereka sudah sekian tahun. Populasinya ada 25 rumah tangga, tetapi jumlah kepala keluarga bisa sampai 125, karena setiap rumah tangga ada 2 sampai 5 KK. Jumlah jiwanya bisa mencapai 250-300 jiwa,” demikian ungkap Sepering.
Sepe, demikian dia disapa, memohon agar Ekora NTT mempublikasikan hal termaksud agar diperhatikan Bupati Sikka Roby Idong dan jajarannya, sebab dia sudah bosan “mengemis” kepada pihak pemerintahan setempat.
“Saya sudah kesal karena aspirasi kami ini tidak digubris oleh pemerintah desa dan kecamatan. Sudah tidak bisa hitung. Setiap ada rapat baik musdus, musdes maupun kunjungan Camat atau DPRD ke desa Sikka, saya selalu minta agar diperhatikan serius dan perlu duduk bersama dengan Camat Bola dan Kepala Desa Hokor. Kita bicarakan status kewilayahan dan warga di Iling Bekor itu. Tetapi usulan saya diabaikan saja. Jadi, saya minta Pak wartawan tulis supaya bupati Roby baca. Kalau dia tidak tanggapi kami turun,”desaknya lebih lanjut.
Menurut Sepe, apabila kondisi ini dibiarkan, risiko kerusakan hutan lindung akan sangat tinggi karena pertambahan jumlah penduduk. Musababnya, perambahan hutan lindung untuk buka kebun dan area tinggal berpotensi terjadi sehingga dapat berakibat pada keringnya mata air Wair Mea.
“Warga sudah punya rumah permanen dan areal perluasan kampung dan kebun makin meluas dari lereng gunung Iling Bekor terus melebar ke lembah mata air Wair Mea. Kebiasaan mereka, di mana lahan mereka garap, di situ langsung bangun rumah,” aku Sepe.
Kondisi lain yang digambarkan Sepe ialah warga Iling Bekor sendiri sulit mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan anak yang layak. Banyak yang masih buta huruf dan jarak kelahiran sangat rentan.
“Ada satu ibu punya 14 anak .Mereka buta huruf semua. Rata-rata mereka kawin di bawah umur dan hanya seputar itu. Jarang ada yang datang dari luar karena mereka masih terisolir,” deskripsinya.
Menurut Sepe, yang setiap hari ke Iling Bekor karena lahannya berbatasan langsung dengan pemukiman warga, akses pelayanan kesehatan dan pendidikan di situ harus memakan jarak sekitar 3- 5 km. Warga harus beranjak ke dusun Todang di desa Hokor. Mereka melintasi Iling Bekor, turun ke Iling Pigang Bitak, berbatasan dengan dusun Wukur desa Sikka, kemudian turun ke dusun Todang, desa Hokor, untuk ikut posyandu, bersekolah ataupun ikut misa hari minggu di Kapela Todang.
Pada akhir perbincangan, Sepe katakan bahwa orang-orang yang dia maksudkan tadi, yang menetap di Iling Bekor memiliki KTP sah sebagai warga Dusun Todang, Desa Hokor, Kecamatan Bola. Sehingga tampak ironis bila mereka tinggal di wilayah geografis Kecamatan Lela.
“Jadi, jelas melanggar kedaulatan wilayah kami dan perlu dicari jalan keluarnya.”