Membicarakan Pacakan Identitas Manusia Lewat Ruang Kesenian

Larantuka, Ekorantt.com – Ombak sedikit berkecamuk, menghantam jejer karang dan deret pasir di pinggiran pantai Selat Gonsalu.

Di kejauhan para nelayan sibuk menangkap ikan dan angin sepoi-sepoi berembus masuk ke pelataran belakang Hotel Asa, Kota Larantuka, Flores Timur.

Sementara itu, Micari Fukui dan Venuri Perera datang mengisi tempat duduk yang kosong. Lalu disusul Takao Kawaguchi.

Mereka bertiga merupakan seniman Asia –Micari dan Takao dari Jepang, Venuri dari Sri Lanka- yang datang untuk melakukan aktivitas kolaborasi kesenian bersama seniman-seniman lokal di Flores Timur.

Sudah seminggu lebih mereka menetap di daerah itu dan juntrungnya bakal tersaji dalam panggung pertunjukan pada Sabtu, 6 Juli 2019 di Taman Kota Larantuka.

iklan

“Apakah kalian merasa nyaman berada di sini,” tim Ekora NTT memulai perbincangan dalam omong-omong ringan, Minggu sore, 30 Juni 2019 itu.

“Ya, tentu saja,” Micari Fukui yang menjawab. Singkat.

Tentu saja juga, pertanyaan terlontarkan tadi hanyalah adab biasa atau perkara basa-basi dalam risalah bertemu orang baru atau bertanya ke orang asing. Apalagi ketiganya adalah “Para Pengelana dari Asia” yang membaurkan diri di Lewotana, Flores Timur.

Poinnya memang bukan pada hal remeh-temeh tadi, tapi jawaban pendek tersebut kemudian menghantar perbincangan pada ikhtiar yang lain.

Tentang hal-hal yang ditemukan, peristiwa yang dirasakan, gagasan yang dicerna,  juga pengalaman yang barangkali tersangkutpautkan.

Latihan persiapan pentas teater “Peer Gynts di Larantuka (Kisah Para Pengelana dari Asia).

Kira-kira tiga detik setelah menjawab, Micari bercerita  soal aktivitas berkesenian dia selama ini.

Sebagai seorang aktris utama dari kelompok teater kenamaan Jepang Na’uka Theater Company, tentu tak mengherankan dia katakan bahwa di negaranya kesenian merupakan bagian dari laku profesionalitas.

Dan tuntutannya: Kedisplinan yang serius, kata dia.

“Bagaimana pandangan subjektif Anda soal kesenian itu?” kami kembali bertanya.

Dia bilang, kesenian merupakan takrif dari keseharian hidup masyarakat. Persoalan-persoalan yang dibicarakan adalah persoalan umat manusia juga semesta yang melingkupinya. Ia ada di dekat kita, tak jauh-jauh dari kita.

Dan jika seni memang berbicara tentang manusia dan anggitan persoalannya, maka Venuri Perera yang duduk di samping Micari punya tandasan cerita yang lain.

Di negerinya, Sri Lanka, Venuri bergelut hebat dengan isu-isu seputar nasionalisme berbalut kekerasan, decak hegemoni patriarki, ketimpangan kelas dan persoalan neokolonialisme.

Lintang pukang wacana itulah yang kemudian memengaruhinya dalam dunia koreografi dan seni pertunjukan.

“Bagi saya, kesenian adalah juga bagian dari penyembuhan luka batin masyarakat itu sendiri. Di dalamnya ada kekuatan, peneguhan dan kemampuan untuk mengolah emosi meski kadang menyakitkan,” tutur dia.

Tentu, apa yang disampaikan Venuri punya konteks tragedinya tersendiri. Sri Lanka sejak tahun-tahun awal pascakemerdekaan telah dikerubungi segumpal konflik internal yang kemudian merambah dalam pelbagai ceruk kehidupan berbangsa dan bernegara mereka.

Yang paling santer, misalnya, kisruh penuh darah antara pemerintahan setempat dan kelompok separatis Macan Tamil. Berlangsung sejak 1983 dan baru berakhir pada tahun 2009 silam. Tumbalnya; masyarakat sipil.

Setelah itu, beberapa tahun belakangan, perpecahan di sana kembali bergejolak dengan labur konflik atas nama SARA. Fundamentalisme agama menjadi yang paling menonjol dan timbulkan kesemrawutan di mana-mana. Sentimen mayoritas-minoritas tampak seperti bara yang tak kunjung padam.

“Ini bukan soal siapa yang paling besar, paling benar, atau paling hebat. Ini tentang kemanusiaan. Keseniaan adalah tentang kemanusiaan,” kata sosok yang juga berprofesi sebagai akademisi ini.

Adapun Takao Kawaguchi memandang kesenian sebagai bagian dari agenda sodor gagasan dalam mempertanyakan, mungkin juga melawan, sistem-sistem berpikir yang telah mapan.

“Di Jepang, saya banyak terlibat dalam kerja-kerja sosial. Saya menggandrungi problem-problem sosial dan politik, dan menurut saya wacana-wacana itu mesti dibicarakan,” jelasnya.

“Menurut Anda, apakah seni harus untuk seni, dalam konteks estetika, model, bentuk dan lain sebagainya, atau seni mesti mengabdi untuk masyarakat?” kami memancing pertanyaan. Merespons dia.

“Saya pikir, harus ada kestabilan antara bentuk atau estetika dan gagasan yang mau diusung. Tapi, jika yang Anda maksudkan adalah seni untuk entertainment, itu memang tak boleh. Seni harus memengaruhi cara orang berpikir. Membuka wawasan masyarakat atas sesuatu yang baru. Meninjau kembali hal-hal yang telah mapan, seperti dominasi negara atau institusi sosial lainnya. Seni bukanlah sekadar hiburan yang membikin senang semua orang,” jawab Takao.

Sudah barang tentu, dalam kaitannya dengan proyek kolaborasi kesenian di Flores Timur, “Para Pengelana dari Asia” itu memang telah melewati beragam proses kreatif bersama seniman lokal guna menemukan idiom-idiom juga template-template untuk diolah dan disuguhkan dalam pementasan nantinya.

Temuan-temuan itu berupa riset menyusuri kehidupan masyarakat lokal, dulangan cerita dari orang-orang Flores Timur, dan yang terutama, penajaman isu yang jadi kegelisahan kolektif.

“Konteks lokal adalah konteks global. Ketika saya mendengar cerita teman-teman di sini, saya merasa bahwa saya adalah mereka. Aku adalah kamu, kamu adalah aku. Meskipun saya sendiri tidak bisa menjadi bagian dari kamu,” demikian tutur Micari.

Barangkali konteks lokal yang dia maksudkan tertangkupkan dalam wedaran narasi historis yang mana di beberapa tempat di Flores Timur, masyarakat adat sempat mendapatkan represi dari lembaga politik, bahkan agama.

Misalnya, di Lewotala, Kecamatan Lewolema, pada tahun 1970, terjadi pemusnahan besar-besaran atas rumah adat (korke) yang sebetulnya merupakan denyut nadi tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

Lebih luas lagi, dalam situasi sekarang, kehidupan masyarakat Flores Timur memang tak bisa terlepaspisahkan dari apa yang dikenal sebagai langgam “Tiga Tungku”; Negara, Adat dan Agama. Yang saling berkelindan satu sama lain dan pengaruhnya bisa saja pada mobilitas sosial masyarakat atau menerabasi tatanan ekonomi-politik setempat.

“Kemajuan-kemajuan adalah masalah semua orang. Kita tak  bisa luput dari itu. Tapi, itu akan membuat kita bingung dan bisa salah langkah menentukan arah. Persoalan yang sama kami alami juga di Jepang,” Micari lebih reflektif.

Sementara itu, Venturi tambahkan bahwa  isu-isu seputar identitas memang ada di mana-mana dan masing orang-orang atau komunitas masyarakat senantiasa melakukan dialektika atasnya.

“Perumusan identitas itu bisa macam-macam. Orang-orang di sini mungkin bergelut dengan Kristianitas atau juga adatnya. Sama seperti saya di daerah asal saya yang juga menghadapi ragam persoalan yang kompleks tentang nasionalisme juga agama.”

Takao kemudian bilang bahwa pada titik itulah kesenian hadir untuk membawa “sesuatu yang lain.” Menunjukkan hal-hal yang mungkin selama ini sekadar dipercakapkan di kehidupan sehari-hari. Boleh jadi dalam ruang terbatas atau tertutup atau hanya dipertengkarkan di kepala-kepala.

“Kesadaran itu mesti dirangsang lewat beragam cara. Saya paham, perubahan sosial tak datang lewat kesenian. Tapi, seni bisa mengubah isi kepala orang-orang dan orang-orang itulah yang mengubah situasi sosialnya,” bebernya.

Perbincangan bersama tim Ekora NTT itu lalu berlanjut pada seputar persiapan-persiapan dalam pertunjukkan nanti.

Ketiganya menyatakan siap untuk mengeksplorasi diri dalam kolaborasi tersebut dan memberikan sajian terbaik kepada publik Flores Timur secara khusus dan Nusa Tenggara Timur umumnya.

Kedatangan mereka kali ini mungkin saja kelak dicatat sejarah. Tak hanya soal sematan “Para Pengelana dari Asia”, tapi lebih daripada itu: Memacak ulang identitas-identitas manusia di tengah laju dunia yang kian tak terbendung.

Hari makin sore, ombak senantiasa meliuk-liuk dan omong-omong ringan itu akhirnya berakhir.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA