Meneroka Perspektif Sebuah Pertemuan

Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk yang dapat melihat beragam fenomena. Manusia akan memiliki beragam perspektif pula dalam membaca fenomena-fenomena tersebut.

Dan tentu saja keberagaman dalam memandang ataupun membaca itu berasal dari akal budinya.

Akal budi adalah anugerah besar dari Tuhan.

Ia ada di dalam diri manusia, untuk difungsikan sebaik-baiknya. Baik di dirinya, maupun di luar dirinya.

Tanpa akal budi, manusia tak akan punya arti dalam kehidupan yang fana ini.

Namun, tidak semua akal budi sama. Satu orang berbeda dengan satu orang lainnya. Satu kelompok berbeda cerapan akal budinya dengan kelompok lainnya.

Sehingga perbedaan tersebut memunculkan banyak fenomena lainnya. Tapi, salah satu yang berbahaya ialah saling klaim kebenaran. Bahkan, hingga berujung perpecahan ataupun peperangan.

AA. Reza Wattimena dalam buku Perspektif: Dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan Antar Bangsa menyebut, hasil pikir akal budi yang berujung cekcok dan peperangan tersebut sebagai “Aku berpikir, maka aku….menderita”.

Berpikir tapi menderita. Sebab, hasil pikir itu membuat kondisi diri manusia jadi tidak ideal.

Memang semua manusia harus ideal. Dalam bahasa sederhana, manusia harus sesuai dengan jati dirinya. Jati diri yang paling sejati.

Dan salah satu juntrung dari jati diri itu, manusia diharapkan saling bekerja sama memajukan kehidupan di bumi ini.

Pertemuan antarmanusia yang terjadi merupakan salah satu fenomena kehidupan.

Entah yang bertemu selama ini saling bersaudara. Entah juga yang saling jumpa itu sebenarnya berkompetisi.

Namun yang jelas, sebagaimana dikatakan sedari tadi, pertemuan yang terjadi antarmanusia adalah fenomena atau peristiwa hidup yang bisa dilihat dengan mata.

Juga dimaknai dengan akal budi. Untuk membaca apa sebenarnya maksud pertemuan itu. Atau pesan-pesan yang ingin diembuskannya.

Apa makna sebenarnya dari pertemuan antara Jokowi dan Prabowo?

Tentu, semua ada di kepala kita masing-masing. Lantas diwujudkan dengan respons yang beragam.

Kita bisa membaca pikiran kita sendiri. Kita juga bisa membaca pikiran orang lain melalui respons yang dituangkan di media sosial pascapertemuan di Stasiun MRT itu.

Respons kita tentu saja berasal dari akal budi.

Yang membuatnya beragam adalah perbedaan perspektif yang kita gunakan. Antara perspektif politik dan perspektif ekonomi, pandangan yang muncul jelas akan berbeda.

Begitu juga antara perspektif kompetisi dengan perspektif persaudaraan, output responsnya akan berbeda pula.

Manusia sekarang, meskipun telah terinstal oleh akal budi atau rasio yang mencerahkan, tetap tidak bebas akan mitos juga ideologi.

Mitos atau ideologi sendiri itu muncul, yang menurut Adorno dan Horkheimer seperti dikutip F. Budi Hardiman dalam buku Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, diawali dari akal budi juga.

Tetapi akal budi atau rasio itu telah membeku. Atau dibekukan. Sehingga mitos atau ideologi tadi membuatnya tunduk dan patuh.

Ia tak bisa bergerak dalam kekuasaan jeruji mitos atau ideologi itu. Maka yang terjadi, apa pun yang ia baca, tak bisa lepas dari perspektif itu.

Anda tahu, jeruji mitos dan ideologi itu berhasil menguasai rasionya, sebab sifatnya yang sangat tertutup.

Tertutup untuk saling berdialektika dengan cara pandang atau perspektif lainnya. Bahkan tertutup untuk menilai tepat atau tidak terhadap perspektif yang ia pakai itu.

Pada akhirnya, semua respons kita sepatutnya kembali ke jati diri kita sebagai manusia.

Bahwa manusia itu khalifah, bersaudara, baik, dan berketuhanan.

Jadi, ketika mereka saling jumpa, bertemu, dalam suasana ngopi bareng misalnya, tak syak lagi itu merupakan manifestasi dari ungkapan jati diri kemanusiaan.

Sebab, pada aslinya tidak ada manusia yang ingin saling terpisah. Apalagi terpisah dalam situasi saling berseteru. Hatinya bakalan gundah. Pikirannya akan tidak tenang. Ketakutan dan kebencian akan selalu menemaninya.

Yang paling pamungkas, dalam konteks agama samawi, semua manusia berasal dari satu orang: Bapak Adam.

Maka, ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya, saling sapa, saling bertukar pikiran. Berembuk tentang masalah hidupnya. Saling menolong. Saling mendukung. Adalah sebuah sikap yang sewajarnya dan mesti terus-menerus dilakukan.

Rahmat Hidayat Zein, pernah belajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya. Tinggal di Mojokerto, Jawa Timur.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA