Megu Moong Nian Tana, Memurahmeriahkan Hiburan Berwisata (2/3)

Di tengah gempuran modal atau kapitalisme ke seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, segala sesuatu dijadikan komoditas atau dikomodifikasi dengan tujuan tunggal: meraup laba seoptimal mungkin dengan pengorbanan seminimal mungkin.

Tidak terkecuali pariwisata. Akibatnya, berwisata menjadi kemewahan orang-orang berduit. Orang miskin atau masyarakat kelas bawah susah berwisata.

Bagaimana Komunitas Megu Moong Nian Tana menyiasati fenomena ini?

Saudaraku, Minggu, 7 Juli 2019, saya berkesempatan alami langsung persaudaraan yang tercipta di Komunitas Megu Moong Nian Tana.

Kecuali Mbak Cucun Suryana dan Kakak Betty, semua orang di komunitas itu adalah orang asing bagi saya. Namun, dari sinilah, cerita itu bermula.

Pagi itu, udara Maumere dingin sekali.

Tiupan angin Munson dari Australia sungguh beri suasana berbeda sejak dua bulan terakhir.

Namun, udara yang dingin sama sekali tidak surutkan semangat para wisatawan lokal untuk melakukan trip ke Pulau Harapan atau Hopping Island di Perairan Teluk Maumere.

Seperti sudah ditulis sebelumnya, trip 1 day Hopping Island adalah satu dari tiga (3) program unggulan komunitas di samping 1 Day Ikat Weaving Excursion + Arak Distiling dan 1 Day Mount Egon Trail/Trekking.

Para turis lokal itu sudah lama tunggu di Markas Komunitas Megu Moong Nian Tana di Kedai Kopi Kampung Asli Maumere “Mokblek”, di Jalan Don Thomas, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka.

Ada banyak jalan ke sini. Saudara bisa susuri Jalan Don Thomas melewati LPPL Suara Sikka FM dan Hotel Go ke arah utara bawah.

Atau lewat Jalur Monumen Tsunami di Area Pertokoan Maumere melewati SDK Maumere 1.

Di belokan berbentuk huruf L, mata Saudara akan terpaku pada satu pohon beringin yang rindang. Di bawah pohon beringin itulah markas Komunitas Megu Moong Nian Tana bertakhta.

Jika sempat, Saudara bisa nikmati jua Kopi Kampung Asli Maumere “Mokblek” asuhan Elisia Digma Dari dan berbagai suvenir “Art Shop Floressa Etnik” besutan Du’a Sonya da Gama. 

Di bawah pohon beringin, Elisia Digma Dari tampak piawai mengkoordinasi 36 wisatawan lokal. 10 dari tim organizer dan pers plus 26 wisatawan lokal.

Kertas putih berisi manifes atau daftar hadir wisatawan dan ringkasan cerita tentang pulau destinasi wisata berkibar-kibar tertiup angin Munson di tangannya.

Judulnya, Explore The Best Maumere: One Day Hopping Islands. Para wisatawan terlebih dahulu berkumpul di Tourist Information Corner (TIC) di markas komunitas pada pukul 06.00 WITA, lalu berangkat ke Pelabuhan Nanghale.

Dalam perencanaannya, para wisatawan akan mengunjungi Pulau Pangabatang dan Pulau Babi.

Pulau Pangabatang adalah pulau mungil berpasir putih di Timur Teluk Maumere dengan spot snorkeling yang aduhai.

Sementara itu, Pulau Babi adalah salah satu pulau di Teluk Maumere yang kena hantaman gempa-tsunami paling parah pada 1992.

Namun, blessing in disguisse. Berkat selalu ada dalam bencana. Para wisatawan dapat menikmati snorkeling di retakan tsunami.

Yups! Saudara benar. Ada jejak retakan bumi di bawah taman laut di Pulau Babi akibat tsunami 27 tahun lampau.

Tak diragukan lagi, Pulau Babi merupakan salah satu destinasi menyelam terpopuler di Teluk Maumere.

Bersama gugus pulau lainnya, ia sumbang kredit poin sehingga Teluk Maumere bisa gondol Piala Anugerah Pesona Indonesia (API) pada Desember 2017 lalu. 

Akan tetapi, sungguh di luar dugaan Elis, seluruh peserta trip perdana komunitas ke Pulau Harapan di Teluk Maumere adalah wisatawan lokal.

Mereka datang dari berbagai profesi: ASN, jurnalis, perawat, guru, siswa praktik, mahasiswa, seniwati, guide, pegiat LSM, karyawati koperasi, dan lain-lain.

Dari Kabag Humas Setda Sikka Even Edomeko sampai Siswa Praktik dari Sekolah Kejuruan Pariwisata Larantuka Yulia, antusias jadi turis lokal.

Selama ini, dia berpikir, trip wisata merupakan kemewahan para turis mancanegara.

Oleh karena itu, target awal komunitas adalah mengumpulkan dan mengorganisasi para turis mancanegara yang tercecer di setiap sudut Nian Tana.

Tak dinanya, ternyata, rakyat Flores pada umumnya dan Sikka pada khususnya butuh hiburan wisata. Fakta ini membuat perempuan kelahiran Nagekeo ini terharu bukan kepalang.

“Dalam waktu 3 hari, saya sudah harus tutup pendaftaran peserta trip di media sosial. Ternyata, banyak orang lokal kita di sini semangat sekali untuk berwisata. Seluruh peserta trip perdana ini adalah orang lokal. Saya sungguh terharu,” demikian ungkapan perasaan wanita kelahiran 12 Juni 1978 ini.

Ternyata, istilah turis telah secara semena-mena digunakan hanya untuk para wisatawan mancanegara saja. Para penduduk lokal yang berwisata tidak disebut turis.

Padahal, secara etimologis, tur, dari kata dasar tour, berarti berjalan untuk bertamasya. Turis berarti orang yang berjalan untuk bertamasya.

Orang yang berjalan untuk bertamasya bukan hanya bule, bukan? Salah kaprah penggunaan istilah ini saja sudah cukup menjadi bukti bahwa kita memang telah merdeka secara politik, tetapi sebenarnya masih dijajah secara kebudayaan dan tentu saja ekonomi.

Di dunia pariwisata, mimpi Tri Sakti Sukarno “Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan” masih jauh menggantung di atas bintang gemintang.

Memang, mencumbu alam Flores yang indah sebenarnya bukan monopoli hasrat para turis bule semata, melainkan juga hasrat terpendam penduduk lokal di sini, Sang Empunya pemilik keindahan.

Hanya saja hasrat tersebut sulit tersalurkan karena pertama, estimasi biaya trip wisata yang mengangkasa dan kedua, tidak adanya trip organizer wisata yang profesional nan murah meriah.

Bayangkan Saudara, untuk bisa mencumbui Pulau Pangabatang yang molek, Saudara butuh duit minimal Rp1 juta. Rp500 ribu untuk sewa boat atau motor laut.

Sisanya untuk konsumsi selama di perjalanan dan di destinasi wisata.

Biaya bisa lebih tinggi kalau Saudara mulai titik start bukan dari Pelabuhan Nanghale.

Itu kalau Saudara jalan sendiri. Beban biaya bisa lebih membengkak kalau jalan dalam rombongan. Tentu saja ini adalah estimasi biaya minimal tanpa memperhitungkan perlengkapan standard safety seperti P3K, life jacket, peralatan snorkelling, pelampung, power bank, radio/orari, pluit, senter, korek api, air bersih, dan terpal.

Selain biaya, penduduk lokal juga ogah berwisata karena tidak punya road map atau peta jalan destinasi wisata yang mencerahkan.

Boleh jadi, rakyat Sikka tidak tahu tahu permainya 10 Pulau Harapan di Teluk Maumere, moleknya Pantai Pangabatang, dan mempesonanya taman laut di Pulau Babi, Pulau Kojadoi,  Pulau Parumaan, Pulau Dambila, Pulau Kondo, Pulau Pemana, Pulau Sukun, dan kawan-kawan lainnya.

Apakah mereka tahu Teluk Maumere pernah gondol Piala API?

Dua kekurangan mendasar itulah yang coba diisi oleh sama saudara kita di Komunitas Megu Moong Nian Tana.

Mereka mau menjaga API di Teluk Maumere tetap menyala dengan mengorganisasi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Harapannya adalah dengan semakin terorganisasinya para wisatawan dalam sebuah wadah komunitas trip dengan biaya yang terjangkau, pariwisata di Nian Tana akan semakin dikenal.

Bukan itu saja, mimpi baru yang melambung paska trip adalah agar rakyat Sikka dari berbagai kelas sosial tanpa pandang bulu dan bulus kekayaan bisa menikmati surga yang jatuh ke bumi Nian Tana.

Objek pariwisata dan aktivitas berwisata bukanlah kemewahan kelas-kelas berduit.

Dia mesti bisa dinikmati juga oleh misalnya du’a-du’a atau mo’at-mo’at Sikka yang saban hari berkeringat menjual sayur dan ikan di Pasar Alok atau di Pasar Tingkat Maumere.

Memurahmeriahkan hiburan berwisata. Mungkin kata itu bisa lukiskan salah satu mimpi komunitas anak-anak muda yang kreatif dan energik ini. (Bersambung…)

spot_img
TERKINI
BACA JUGA