Arak Merah Adonara yang Kami Bawa Pulang

Adonara, Ekorantt.com – Kami datang ke rumah tersebut pada malam hari, Jumat, 28 Juni 2019.

Pemiliknya adalah sepasang suami istri, Lambert Boli dan Maria Lipat Ola, dan mereka belum tidur ketika kami bertandang.

Itu adalah malam yang dingin di Adonara, Flores Timur, seolah-olah embusan angin laut Selat Gonsalu terbersit kencang berpadu dengan hawa kiriman Gunung Ile Boleng.

“Tidak apa-apa ka kita datang malam-malam begini?” tanya saya kepada kawan pemandu perjalanan, seorang frater alias calon pastor Katolik yang sedang bertugas di Paroki Lambunga, Adonara Timur.

“Aman jo,” bicaranya singkat. Memberi keyakinan.

Dan benar, rasa sungkan saya kemudian berubah.

Mama Maria Ola dan Bapak Lambert Boli menyambut kami dengan senyum manis dan sapaan hangat. Bukan hanya dengan kata-kata, melainkan juga dengan “air kata-kata”. Bukan hanya “Silakan duduk”, melainkan “Ayo, mari kita minum”.

Toh sesaat setelah pantat saya mendarat pada kursi plastik, Bapak Lambert Boli segera pergi ke area belakang dan membawa sebuah botol kaca berisikan cairan merah kehitaman.

Itulah yang dimaksud dengan “air kata-kata” tadi. Lebih tepatnya, arak atau minuman alkohol tradisional. Dan akibat racikan sedemikian rupa, warnanya yang semula bening berubah seperti itu. Macam teh campur kopi, saya membatin.

Minuman khas masyarakat Flores Timur itu kemudian dituangkan kepada kami.

Volumenya nyaris setengah gelas. Dan hanya dalam satu tegukan, satu tarikan napas, saya menyesapnya.

Aromanya memang tak menyengat, lebih didominasi oleh bau rempah, tapi kepala saya sepersekian detik sempat berputar-putar.

“Aih, keras ew,” saya angkat bicara. Sedikit disantroni rasa malu karena terlalu ‘sok dan bergesa-gesa.

Saya duga, Bapak Lambert atau Mama Maria mungkin menertawai saya dalam hati. Hanya apa boleh buat, gelas telah disulang dan selanjutnya gelas berikut patut digilir.

No, tau to korang punya kebiasaan. Harus kiri-kanan,” sang calon pastor menyeringai.

Artinya, gelas atau sloki yang diselesaikan seorang peminum mesti berjumlah genap.

Apabila sudah satu kali minum, dia harus lanjut lagi untuk takaran kedua. Atau, jika sudah tiga atau lima kali, dia minum lagi demi menggenapkan jumlah.

Saya menggangguk pasrah, meski dalam hati itikad untuk minum senantiasa menari-nari.

Jarang-jarang saya dapat kesempatan menikmati alkohol jenis ini.

Dan jika kesempatan itu memang telah ada di ujung hidung, penolakan hanya akan menyerupai laku malu-malu kucing.

Maka, kami melanjutkan.

Maria Lipat Ola dan Lambert Boli

Rupanya arak merah Adonara itu merupakan hasil racikan sendiri Mama Maria Ola.

Dia melakukan itu sejak tahun 1991 dan terus bertahan hingga sekarang.

Artinya, usia racikan telah mencapai sekira 28 tahun.

“Itu sejak awal saya tidak ubah. Tetap bertahan terus sampai hari ini,” Mama Maria buka cerita.

Namun, dia juga jelaskan, niat awal meracik arak merah tak bertujuan untuk kepentingan bisnis atau penjualan.

Pada waktu itu, Mama Maria Ola tergabung dalam kelompok ibu-ibu PKK dan masing-masing mereka diminta untuk mengolah makanan/minuman khas Lamaholot yang bakalan dipamerkan di ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang.

Dia lantas memilih arak. Hasilnya, arak merah kehitam-hitaman tadi.

“Kenapa sampai warnanya begitu, Ema?” saya bertanya.

“Saya pakai campuran kayu manis, bumbu rempah-rempah dan masih banyak tanaman tradisional. Saya ambil arak koli (lontar, ed) yang orang sudah suling kemudian saya masak ulang,” jelasnya sembari menambahkan bahwa proses pengerjaan pun dilakukan secara tradisional.

Arak Mama Maria kemudian dibawa ke Kupang. 20 liter volumenya.

“Semuanya habis, No. Orang datang pesan terus waktu pameran itu.”

Dari situlah dia merasa bahwa minuman lokal olahan dia ternyata berikan ketertarikan tersendiri. Barangkali karena bau alkohol arak tersebut tak mencolok sama sekali tergantikan oleh harum rempah.

Apalagi saat itu, persebaran arak merah memang tak semasif sekarang yang mana kandungannya dapat berupa zat pewarna sintesis.

Ketika pulang ke Larantuka, Mama Maria lanjut meracik untuk konsumsi pribadi, entah bagi orang-orang dalam rumah ataupun saat acara keluarga.

“Orang-orang yang minum ternyata suka dan mereka bilang mau pesan. Ada juga yang cerita kalau setelah minum mereka bangun pagi segar dan badan rasa enak. Saya tidak paham tentang itu,” akunya dan dia tertawa.

Kabar tentang arak merah yang wangi dan bangun pagi bikin segar badan itu segera menyebar.

Seperti sebuah harta karun yang selama ini tersembunyi dan baru ditemukan. Seperti ikan Salmon yang menguntit di batu karang kemudian menyuar tiba-tiba ke permukaan.

Orang-orang kemudian mencari arak merah tersebut.

“Hampir setiap hari orang datang beli,” cerita keduanya.

Namun, mereka katakan bahwa mereka selalu membikin batasan kepada para pembeli.

Jika sudah lebih dari tiga atau empat botol, mereka akan menolak.

“Kami tidak mau orang minum sampai mabuk. Arak ini bukan untuk pemabuk,” kata Bapak Lambert.

“Benar, No. Kadang-kadang mereka datang tengah malam dan kalau kita tidak buka pintu, mereka langsung bilang, ‘Kami bawa uang seratus ribu, kami tidak hutang’,” tambah Mama Maria tersenyum.

Dan sejak sekitar tahun 1996 arak merah Maria Ola semakin dikenal dan jadi industri rumah tangga. Hingga sekarang ini, tatkala mereka telah kembali ke kampung halaman, Adonara.

Ramuan pengolahan pun senantiasa dipertahankan. Karena dia tahu, daya pikat arak tersebut justru ada pada ramuan-ramuan tradisional termaksud.

“Orang bilang ini arak untuk obat, makanya saya banyak pakai yang alami saja, tanaman-tanaman,” terang dia.

Tak terasa, sudah setengah botol kami minum bersama dan kepala saya, kali ini, benar-benar puyeng.

Saya kemudian meminta berhenti minum dan saya kira itu cukup untuk mengistirahatkan diri.

Barangkali melihat saya sudah lelah karena hampir seharian penuh meliput kegiatan di tempat praktik pastoralnya, kawan frater tadi kemudian mengajak saya pamit pulang.

Sebelum kami benar-benar meninggalkan rumah keluarga itu, Mama Maria Ola mengambil dua botol arak merah dan menghadiahi saya.

“Ini untuk ole-ole kalau sudah pulang ke Maumere.”

Saya mengucapkan terima kasih.

Sembari menanamkan niat; jika esok pagi saya bangun tidur dan tidak merasa segar, kisah yang telah saya dengar sedari tadi itu hanya akan merongsok dalam kranium kepala.

Tapi kalau itu dituliskan, artinya sudah pasti jelas.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA