Edukasi Rabies: Penderita Jangan Disangka Kena Santet

Larantuka, Ekorantt.com – Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) pada wilayah perbatasan antara Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Sikka meningkat selama 3 bulan terakhir.

Data yang dihimpun Ekora NTT dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Demon Pagong menyebutkan terdapat sebanyak 49 pasien GHPR berasal dari 4 Kecamatan di wilayah perbatasan Sikka-Flotim, yakni Kecamatan Wulanggitang, Ilebura, Titehena, dan Demon Pagong.  

Ricardo Dacunha, dokter yang bertugas di Puskesmas Demon Pagong, kepada Ekora NTT, Senin (22/7/2019), mengatakan Puskesmas Demon Pagong sebagai salah satu puskesmas center rabies untuk wilayah Wulanggitang, Ilebura, Titehena, dan Demon Pagong sejak awal tahun 2019 selalu menangani warga korban GHPR pada tiap minggunya.

“Sejak Januari 2019 dalam satu minggu, kami selalu menangani 2 pasien korban Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) di Puskesmas. Untuk 3 bulan terakhir Puskesmas Demon Pagong melayani pasien kasus GHPR sebanyak 49 orang dari empat kecamatan,” ungkap dr. Ricardo.

Pascapenetapan wilayah Kabupaten Sikka berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB) rabies dan daerah Flores-Lembata sebagai daerah berstatus Endemis Rabies, dikatakan Ricardo, lembaga kesehatan Puskesmas Demon Pagong mulai aktif turun ke masyarakat dan sekolah-sekolah untuk melakukan sosialisasi tentang bahaya rabies dan tindakan pecegahan virus rabies.

iklan

Menurut Ricardo, penderita rabies memiliki ciri-ciri yang khas, yakni penderita takut dengan cahaya, air dan angin. Ciri-ciri ini dalam konsep masyarakat lokal lebih mirip terkena santet.

Sebabnya, sosialisasi menjadi penting untuk pencegahan penyeberan virus dan konfilk horisontal dalam masyarakat karena kurangnya pemahaman terhadap pola penyebaran dan bahaya virus rabies.

“Intinya adalah langkah awal apabila setelah digigit adalah tubuh pada bagian luka gigitan dicuci. Setelah itu langsung dibawah ke Puskesmas untuk diberikan Vaksin Anti Rabies. Jadi, jangan disangka kena santet lalu dibawa ke dukun,” tutur Ricardo.

Ricardo menekankan perlunya kerja sama yang baik antara Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan, dan Pemerintah Desa terkait kepentingan data, perencanaan dan pelaksanaan tindakan pencegahan kasus rabies di Flores Timur.

Menurutnya, angka korban GHPR tinggi, namun hingga saat ini belum ada sampel anjing dari Flores Timur yang dikirim untuk dideteksi. Padahal kata Ricardo, korban GHPR yang meninggal (Lyssa) dari Desa Eputobi berdasarkan pemeriksaan klinis, didiagnosis mengarah ke rabies.

“Kejadian waktu itu pada bulan Maret. Sesuai gejala yang timbul mengarah ke rabies. Tapi untuk diagnosanya belum karena sampel anjingnya tidak dikirim, terlanjur dibunuh. Harusnya ada kerja sama antara Kepala Desa dan Dinas Peternakan. Ketika ada anjing yang diduga rabies, kepalanya oleh Desa diantar ke Dinas Peternakan dan dikirim ke Bali sebagai sampel untuk dideteksi virus rabiesnya. Hal ini sangat penting karena berkaitan dengan penghematan anggaran dalam hal penggunaan vaksin rabies,” tegas Ricardo.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA