Kemerdekaan Kecil di Gang-Gang

Yogyakarta, Ekorantt.com – Jumat malam, 16 Agustus 2019. Padukuhan Blimbingsari, Caturtunggal, Yogyakarta. Warga berkumpul ramai-ramai, berseloroh di jalanan gang juga di bawah atap sebuah tenda kecil. Tua muda, besar kecil, Ketua RT/RW, pedagang asongan, penjual makanan, mahasiswa kos-kosan, pengemudi ojek online. Semuanya tampak larut dalam sukacita. Berdoa, menyanyi dan menari bersama.

Sebagai seorang penghuni baru di situ, saya ikut bergabung. Bersama beberapa kawan kontrakan. Tentunya, saya tak tahu-menahu apa-apa soal acara itu. Saya hanya ikut saja wedaran Pak Agus, Ketua RT kami, untuk membiasakan diri terlibat dalam acara-acara warga. “Mahasiswa itu harus banyak terlibat. Apalagi dari UGM,” kata dia.

Dan saya perhatikan, pernak-pernik kemerdekaan bertebaran di sekitar situ. Umbul-umbul merah putih, tulisan HUT ke-74 Republik Indonesia juga kibaran bendera kebangsaan. Pikiran saya langsung mengatakan bahwa ini memang kegiatan memperingati kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Meskipun santai, tak banyak unsur formalitasnya dan melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Acara itu rupanya bernama tirakatan. Sebuah tradisi pascaproklamasi yang dilakukan di kampung-kampung untuk merenungi kembali makna kemerdekaan dan perjalanan bangsa. Biasanya diiringi dengan cerita-cerita kepahlawanan, doa bersama, pembacaan wangsit dari pemerintah setempat dan tentu saja atraksi-atraksi menghibur, seperti kesenian. Semacam pesta rakyat. Semacam perjumpaan kolektif atas nama rasa syukur dan bahagia.

Saya menikmati saja. Sambil minum kopi yang disediakan panitia dan mengudut beberapa batang rokok. Walaupun tak dapat dimungkiri, saya sebetulnya merasa “baru” akan kondisi tersebut. Tak hanya sebagai warga, tapi juga dengan suguhan acara kemerdekaan yang tak biasa.

Amatan pendek saya, tirakatan ini jadi menarik karena di situ orang-orang bertemu lalu mengobrol, bercengkerama, makan bersama, menikmati hiburan, dan itu berlangsung dalam konteks kemerdekaan. Artinya, makna perayaan kemerdekaan ditarik lebih jauh. Diterjemahkan dalam hal-hal sederhana. Bukan seperti apel di lapangan-lapangan umum yang sudah barang tentu harus formal dan sesuai aturan ketatanegaraan.

Di acara seperti tirakatan ini, masyarakat tampil bebas mengekspresikan euforia. Anak-anak tak jenuh dan capek. Para aparatur sipil negara tak harus berpakaian necis laiknya lagi ikut apel bendera. Atau warga tidak harus mencari tempat berteduh waktu bupati atau kepala pemerintahan membacakan sambutan atau pidatonya.

Tapi, apa itu kemerdekaan? Di beberapa tempat lain di Indonesia, hari-hari yang mengitari momen historis hidup bernegara ini diwarnai dengan aksi persekusi oleh kelompok masyarakat tertentu dan aparat negara. Mahasiswa asal tanah Papua mendapat represi dan perlakuan diskriminatif, semisal terjadi di Surabaya, Malang dan Semarang.

Di Surabaya, yang paling banter, ormas reaksioner dan aparat keamanan menyerang Asrama Papua dengan tuduhan merusak bendera merah putih. Tanpa investigasi mendalam. Langsung sergap. Kalimat-kalimat berbau rasis pun dilontarkan kepada mereka beriringan dengan semprotan gas air mata. Kurang lebih 43 mahasiswa terjebak. Tidur di emperan dan tak makan semalaman.

Orang-orang menyatakan duka. Pun mengutuk laku busuk tersebut. Tepat saat Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaannya.

Di gang-gang kecil, kemerdekaan tampak seperti ironi. Pada satu sisi, masyarakat bergembira bersama, sementara sisi lainnya, ada yang harus hidup berlilitkan ancaman dan parade kekerasan. Entah fisik, entah psikis.

Dan untuk yang kedua ini, dasarnya tentu jelas; sentimen yang lahir dari pola pikir kerdil atau nafsu barbar apa saja yang dapat ditambahkan sendiri. Kepentingan bobrok segelintir orang merabasi situasi sosial yang lebih luas.

Di gang-gang kecil, kemerdekaan dirayakan. Di gang-gang kecil, kemerdekaan tak lebih daripada sebutan “monyet” pun senyawa dalam gas air mata.  

spot_img
TERKINI
BACA JUGA