Jakarta, Ekorantt.com – Rapat Kerja antara pemerintah dan parlemen untuk menentukan pembahasan terakhir draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian berlangsung 26 Agustus 2019.
Hasilnya akan dibawa ke Rapat Paripurna di masa akhir kerja parlemen bulan September mendatang.
Meski begitu, beberapa pasal dalam RUU ini menimbulkan kontroversi seperti Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia) menginginkan agar pihaknya dimasukkan dalam UU sebagai wadah tunggal organisasi koperasi Indonesia (pasal 130).
Tak hanya itu, disebut dalam pasal 82 huruf h dan pasal 132, Dekopin ini juga memaksa koperasi wajib membayar iuran selain pendanaan dari sumber dana pemerintah melalui alokasi APBN dan APBD (pasal 133).
“Mereka itu tak hanya akan merampas hak asasi setiap warga untuk bebas berserikat dan berkumpul yang dijamin konstitusi, tapi juga akan merampas uang rakyat melalui pemaksaan iuran dan juga uang rakyat di APBN dan APBD,” kata Suroto, Ketua AKSES sebagaimana rilis yang diterima Ekora NTT.
Beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal Dekopin, Mohamad Sukri menuduh di belakang upaya penolakan terhadap RUU Perkoperasian itu ada permainan rentenir.
“Kami ini menolak Dekopin dan kami anti rentenir. Kami ini adalah gerakan koperasi yang dibangun secara swadaya dan solidaritas dari anggota. Kami jadikan pendidikan sebagai pilar penting dari sejak gerakan kami dimulai tahun 1970-an di Indonesia. Gerakan kami itu lahir justru untuk memerangi rentenir,” kata Mikael, pegiat Credit Union dari Kalimantan Barat.
Ditambahkan oleh Mikael, “Kami bicara substansi Undang-Undang yang akan berdampak pada pengkerdilan koperasi, dan kami anti rentenir dari sejak awal gerakan kami berdiri dengan memberikan pendidikan literasi keuangan kepada anggota kami,” tegas Mikael.
Sementara itu, menurut Suroto, Ketua AKSES yang getol mengavokasi untuk menolak RUU Perkoperasian menambahkan bahwa dari sejak awal dia dan lembaganya mengusulkan agar sanksi berat diberikan kepada para rentenir yang berbaju koperasi.
“Kami dari awal yang mengusulkan agar RUU yang baru itu memuat penegasan secara imperatif agar UU Perkoperasian memuat sanksi yang berat bagi rentenir yang berbaju koperasi,” kata Suroto.
“Tapi bukan berarti kami juga melegitimasi pemaksaan terhadap RUU Perkoperasian yang mengebiri hak berdemokrasi warga negara dan juga memaksa untuk menyetor iuran ke organisasi semacam Dekopin,” tambahnya.
Dewan Koperasi Indonesia yang dipimpin oleh Nurdin Halid sudah 20 tahun ini sebagaimana diketahui selama ini juga telah menggunakan dana APBN walaupun tidak diperintah melalui UU.
Organisasi ini rupanya menginginkan agar pendanaan ditegaskan melalui APBN dan memaksa setiap koperasi untuk membayar iuran.
“Dekopin itu selama ini gunakan uang negara dan kegiatanya hanya sebatas seremonial belaka dan sudah lebam. Kenapa kami dipaksa harus mendukung organisasi ini ?” tandas Suroto.