Konglomerasi Korporasi Melawan Konglomerasi Koperasi

Oleh : Suroto*

Ketika kita mendengar istilah konglomerat atau konglomerasi, alam bawah sadar kita pasti langsung tertuju pada perusahaan swasta besar yang digerakkan oleh modal finansial dan kuasai bisnis dari hulu hingga hilir.

Tapi ini berbeda, konglomerasi sosial adalah penguasaan hulu dan hilir dari bisnis namun ada di tangan masyarakat secara terbuka dengan konsep setiap satu orang satu suara dalam tentukan kebijakan bisnis dan organisasi.

Apakah ini sekadar teori? Tidak, ini sudah terjadi di negara lain dan sedang mulai dipraktekkan dari pedalaman Kalimantan Barat, suatu tempat yang mungkin kita tidak duga sebelumnya.

Agustus lalu, pengurus Koperasi Trisakti (KOSAKTI) diundang oleh Koperasi Keling Kumang Group (KKG), sebuah jaringan konglomerasi sosial koperasi di Kalimantan Barat.

Tujuan kami adalah melakukan observasi lapangan, melihat potensi-potensi ekonomi lokal yang bisa dikembangkan dan juga penjajagan kemungkinan kerjasama dengan organisasi kami KOSAKTI.

KKG ini berkantor pusat di Tapang Sambas, Sekadau. Kantornya ini berada di enclave, sebuah kantong hutan lebat di tengah kepungan perkebunan sawit.

Menurut Munaldus Nerang, pendiri KKG, luasan anclave (kantong) hutan yang masih dapat dipertahankan ini sekitar 3000 an hektare.

Hutan tersebut masih dapat dipertahankan dari serbuan korporasi sawit karena masyarakat memang diberikan kesadaran untuk menolaknya melalui gerakan koperasi.

“Masyarakat di dusun Tapang Sambas ini segera menyadarinya karena mereka melihat di daerah lain ternyata perkebunan sawit itu telah membuat masyarakat menjadi kehilangan tanahnya dan hanya menjadi buruh kebun sawit,” kata Munaldus membuka obrolan saat makan siang.

Saya sendiri sebetulnya sudah sering ke sini. Mungkin sepuluh kali. Tapi saya baru mendengar kalau ternyata hutan rimbun di sekitar kantor itu adalah kantong hutan hasil perjuangan untuk melawan penetrasi korporasi sawit.

Munaldus dan kawan-kawan mudanya sekitar dua puluh lima tahun lalu mengorganisir warga di desanya ini melalui sebuah pengembangan gerakan koperasi kredit (Credit Union).

Gerakan kecil untuk menolong diri sendiri dengan cara bekerjasama di antara mereka sendiri itu telah menjadi rumah demokrasi bagi 174 ribu anggotanya dan asset bersama yang bernilai 1,4 trilyun.

Melalui 5 pilar kerja swadaya, solidaritas, pendidikan, inovasi dan persatuan dalam keberagaman itu, Keling Kumang Group bertumbuh terus jadi sebuah konglomerasi sosial.

Anggota-anggotanya diberikan dukungan oleh koperasi berupa pengembangan usaha produktif seperti peternakan madu, ayam, penanaman padi, pengembangan industri pangan rumah tangga dan lain sebagainya.

Secara kelembagaan, koperasi ini juga telah melakukan spin off (pemekaran)  ke sektor riil. Seperti pendirian lembaga kursus, sekolah dan perguruan tinggi, sektor pertokoan (ritel), sektor jasa perhotelan, sektor pertanian, konservasi alam, jasa konstruksi dan lain sebagainya.

Munaldus adalah dosen Universitas Tanjung Pura. Dia ini lulusan ITB dan Ohio University, Amerika Serikat. Orang yang berpenampilan sederhana dan penuh ketenangan ini tidak tinggal diam ketika warga desanya mengeluhkan terjadinya penyerobotan tanah (land grabbing) oleh korporasi.

Dia tahu, untuk melawan korporasi yang sistematik itu dia gunakan juga kekuatan lawan tanding dengan mengorganisir warga melalui koperasi.

Dia tahu bahwa untuk menyadarkan masyarakat itu tidak mudah. Sebab korporasi-korporasi itu menekan warga dengan berbagai cara. Termasuk mengadu domba warga dan memecah belah ikatan sosial antar-keluarga.

Obrolan dalam sesi makan siang  semakin hangat. Kami membicarakan soal konservasi hutan dan penyelamatan Owa Kalimantan yang langka basis koperasi yang juga mulai dirintis Munaldus. 

Selama ini kita mengenal konsep-konsep konservasi alam itu selalu berbasis pembiayaan dari donor luar. Miskin keterlibatan warga.

Munaldus telah mematahkan mitos besar itu. Melalui koperasi yang dia kembangkan bukan hanya membuat hutan dan habitat di dalamnya selamat, tapi sekarang  melalui kepemilikkan lahan hutan oleh koperasi sebanyak 68 hektare telah juga jadi tempat penyelamatan Owa Kalimantan yang sudah langka itu.

Warga anggota koperasi dengan sukarela menyerahkan binatang yang telah mereka tangkap, mereka juga menyerahkan kepemilikkan lahan hutan pribadi untuk dikelola koperasi. Hutan ini akan mereka jaga secara adat.

Tak hanya itu, Munaldus Nerang juga mulai merintis untuk jadikan kawasan tersebut sebagai wisata hutan yang indah basis koperasi. Dia ingin kelak hutan tersebut tak hanya jadi tempat wisata tapi juga pusat pembelajaran bagi konservasi alam, koperasi dan juga laboraturium hidup untuk penelitian keanekaragaman hayati dan lain sebagainya.

Kami telah sepakat untuk mendirikan sebuah kelompok epistemik di sini. Munaldus memberi nama Keling Kumang Institute. Ini akan jadi sebuah lembaga think thank dengan kegiatan training kepemimpinan dan keterampilan mutakhir, riset dan pengembangan sumber daya lokal.  Dalam waktu dekat akan segera dilaksanakan lokakarya pembentukkannya.

Munaldus adalah seorang pemimpi yang ingin menjadikan mimpinya itu segera menjadi kenyataan. Seperti praktek konglomerasi sosial koperasi di negara lain yang sebagian dia pernah kunjungi.

Di negara lain, konglomerasi sosial ini sebetulnya telah berkembang pesat. Di negara tetangga kita Singapura seperti NTUC Fair Price misalnya, konglomerasi koperasi ini dimiliki oleh 800 ribu warga mereka dan kuasai pangsa pasar bisnis ritel hingga 73 persen dan sektor strategis lain.

Konsep ini juga berkembang di Spanyol seperti Mondragon Worker Co-operative  yang jadi perusahaan terbesar di Basque, Spanyol dan dimiliki 80 ribu pekerjanya secara equal.

Ini juga berkembang di Srilanka seperti konglomerasi sosial SANASA Group yang dimiliki 3,9 juta warga dan bergerak di 16 sektor ekonomi strategis, dan ini juga berkembang masif di Amerika Serikat di sektor pertanian, listrik, perbankan dan lain-lain yang telah jadikan Amerika Serikat dengan jumlah anggota koperasi terbanyak di dunia, meliputi 40 persen dari penduduk mereka.

Apa yang dilakukan Munaldus dan kawan-kawannya adalah tindakan untuk mengoposisi model pembangunan koperasi yang selama ini selalu dibangun secara top-down (dari atas) dengan jargon pembinaan yang sebenarnya penuh kepentingan agenda nasional yang seringkali berseberangan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara mandiri.

Berangkat dari praktek ini, potensi koperasi sebagai jaringan konglomerasi sosial sebetulnya memiliki potensi besar untuk berkembang di Indonesia. 

Gerakan ini juga penting untuk membalikan opini dari masyarakat yang selama ini selalu mengesankan koperasi hanya sebatas usaha simpan pinjam dan ribawi, sebagai urusan bisnis kecil-kecilan.

Untuk menggaet anak-anak muda agar mampu melihat kembali arti penting dan efektifitas koperasi untuk membangun bisnis bersama sama dengan asas subsidiartas. Apa-apa yang tidak bisa dikerjakan sendiri dikerjakan melalui koperasi, sebagai manifestasi dari konsep ekonomi gotong royong, ekonomi solidaritas secara alamiah.

Koperasi sesungguhnya adalah konsep bisnis self-regulated organization, organisasi yang mengatur diri mereka sendiri. Namun dalam praktek, gerakan ini sebetulnya menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam hadapi soal regulasi dalam pengembanganya.

Sebab, selain kita dapati undang-undang perkoperasian yang tidak relevan dengan aspirasi dan identitas koperasi juga banyak produk-produk perundang-undangan perihal ekonomi dan kemasyarakatan yang berlaku diskriminatif terhadap koperasi. 

Dalam undang-undang dan berbagai produk kebijakan, koperasi sengaja disub-ordinasi dengan selalu disebut sebagai bagian dari badan hukum yang selalu musti dibina dan dijadikan sebagai alat penyaluran program pemerintah.

Di antara undang-undang yang secara terang-terangan lakukan diskriminasi dan mensub-ordinasi terhadap koperasi misalnya undang-undang (UU) penanaman modal yang hanya bolehkan investasi asing dalam bentuk perseroan, penggunaan badan hukum yang hanya boleh perseroan dalam UU Rumah Sakit, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan dalam skala masif misalnya adalah Peraturan Menteri Desa yang paksakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) wajib berbadan hukum perseroan dan lain sebagainya.

Sampai hari ini kita juga masih diatur oleh undang-undang koperasi tersendiri yang kualitasnya jauh dari identitas koperasi. Sementara rancangan undang-undang perkoperasian baru paska dibatalkan undang-undang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi belum jelas juntrunganya.

Draftnya juga isinya sangat mengecewakan karena koperasi akan dikerdilkan dan bahkan diberangus hak demokrasinya dengan jadikan Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) yang dipimpin Nurdin Halis selama 20 tahun sebagai wadah tunggal dan semua koperasi dipaksa membayar iuran untuk mereka, organisasi yang selama ini tidak jelas manfaatnya bagi koperasi.

Intinya, kita juga butuh produk perundang-undangan yang ramah terhadap konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi Konstitusi. Akankah kita loloskan RUU Perkoperasian yang kerdilkan koperasi tersebut? atau kita biarkan saja korporasi kapitalis itu menelan semuanya.

*Suroto, Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)

spot_img
TERKINI
BACA JUGA