Oleh: Suroto
Koperasi di Indonesia sekarang ini sedang menghadapi masalah serius. Krisis akut! Dan bisa jadi akan segera punah. Kenapa bisa punah? karena masyarakat tidak melihat koperasi ini sebagai alternatif bisnis yang menjanjikan dan juga karena imagenya yang begitu didominasi usaha simpan pinjam.
Sekarang ini, bisnis koperasi di Indonesia itu total nilainya kurang lebih 500 triliun rupiah. Tapi apa usahanya? 90 persen adalah disumbang dari sektor simpan pinjam. Ini termasuk bisnis rentenir berbaju koperasi.
Walaupun belum ada hitungan pastinya, tapi menurut perkiraan saya justru angkanya lebih besar dari koperasi simpan pinjam yang benar-benar dimiliki nasabahnya atau orang menyebut anggotanya.
Angka spekulasi saya sekitar 70 persenya adalah berasal dari kontribusi rentenir yang berbaju koperasi.
Nah, ketika bicara usaha simpan pinjam, usaha ini jika dibandingkan dengan usaha sektor perbankkan sudah ketinggalan jauh. Baik dilihat prasarana dan sarana pendukungnya. Regulasi maupun kebijakan pemerintah yang secara arsitekturnya memang lebih mendukung ke sektor perbankkan umum ketimbang ke koperasi.
Di lapangan, dilihat dari rekayasa produk-produknya juga menjadi banyak yang sudah ketinggalan. Bisnis financial technology (Fintech) yang bergerak dengan model peer to peer (P2P) saat ini akan terus bergerak menggeser usaha koperasi simpan pinjam yang jadul.
Lalu, sisa dari usaha simpan pinjam itu adalah warung serba ada, kantin-kantin di perkantoran. Kalaupun ada satu atau dua koperasi yang sudah bergerak di sektor lainya bisa dibilang sangat minim.
Kalaupun ada patut juga dipertanyakan apakah usaha itu benar-benar koperasi, riil dinikmati manfaatnya oleh anggotanya atau hanya “dirasakan manfaatnya” oleh segelintir pengurus dan manajemenya.
Saya melihat dengan kasat, koperasi-koperasi itu sebagian hanya memberikan iming-iming kepada masyarakat untuk menyimpan uangnya di koperasi karena suku bunga simpananya yang memang menggiurkan ketimbang ditaruh di bank.
Itu kenapa begitu sering muncul usaha koperasi yang bangkrut dan menyisakan trauma bagi masyarakat karena sudah tidak rasional lagi. Muncul istilah: penipuan berbasis koperasi!.
Kalau cuma akses kredit, bisnis koperasi pasti tergencet oleh skema kredit murah bersubsidi seperti KUR (Kredit Usaha Rakyat) pemerintah, atau perlahan tapi pasti bisnis fintech model P2P.
Bisnis Koperasi
Orang secara naluriah akan memilih jalan berbisnis itu apabila memberikan manfaat atau keuntungan.
Bisnis itu adalah usaha untuk mencari keuntungan. Jika tidak memberi keuntungan, sebuah bisnis pasti akan segera bangkrut atau akan tutup dengan sendirinya.
Begitupun dengan koperasi. Koperasi tidak akan jalan bilamana tidak memberikan keuntungan, atau manfaat apapun bagi pemilik usahanya. (Sengaja saya menyebut istilah pemilik ketimbang anggota).
Ketika bisnis bersandar pada usaha untuk mencari keuntungan itu apakah salah? Tentu tidak. Keuntungan itu diperlukan untuk mengembangkan bisnis. Untuk membiayai investasi baru.
Lalu apa bedanya usaha berbasis koperasi dan non koperasi itu? Koperasi itu bisnis tapi sekaligus ingin memberikan makna persamaan dan keadilan dalam sistemnya.
Sebab koperasi itu adalah antitesis dari sistem kapitalisme yang dalam relasi sosialnya itu tempatkan modal sebagai penentu. Sedangkan di koperasi modal (finansial) itu adalah hanya sebagai pembantu. Alat bantu untuk mencapai kesejahteraan secara berkeadilan.
Manifestasi dari ide bisnis keadilan koperasi itu diwujudkan dalam bentuk konsep satu orang satu suara. Bukan satu saham satu suara atau keputusan di tangan pemilik saham terbesarnya. Sehingga nilai-nilai etis itu tetap ada.
Nah, kenapa koperasi di sektor non-simpan pinjam itu tidak berkembang di Indonesia? Jawabannya sudah pasti tidak akan berkembang.
Sebab jika dua atau lebih pebinis pemula mau kembangkan koperasi sudah dipasung melalui aturan yang dibuat negara: harus dua puluh orang! Ini ditulis di UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Jadi akhirnya kita tahu, para pebisnis pemula itu akhirnya memilih usaha berbasis perseroan. Siapa yang dominan sahamnya dialah yang menentukan kebijakan perusahaan.
Sehingga bisnis kita didominasi bisnis kapitalis yang akhirnya kita dapat lihat akibatnya: kesenjangan menganga, konflik buruh dan korporasi terus terjadi, kerusakan lingkungan dimana mana, penyingkiran masyarakat adat, dan penyerobotan tanah, kongkalikong, dan lain sebagainya.
Kita benar-benar dalam krisis, tak hanya krisis ideologi koperasi dan krisis ekonomi konstitusi, tapi juga krisis kepercayaan pada yang namanya koperasi.
*Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)