Pariwisata Berbasis Komunitas di Kawasan TNK, Sebuah Agenda Alternatif

Oleh: Venansius Haryanto

Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang menjadi habitat alami satwa Varanus komodoensis, menjadi salah satu destinasi wisata yang gemar dikunjungi wisatawan hari-hari ini.

Data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan (KLHK) memperlihatkan, angka kunjungan wisatawan ke TNK yang makin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2014 sebanyak 80.626 orang, 2015 sebanyak 95.410 orang, tahun 2016 sebanyak 107.711 orang, tahun 2017 sebanyak 125.069 orang dan tahun 2018 sebanyak 159.217 orang.

Meningkatnya angka kunjungan ini juga berdampak pada meningkatnya  Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pungutan tiket masuk wisatawan ke dalam kawasan TNK. Untuk tahun 2014 sebesar Rp5,4 miliar, tahun 2015 sebesar Rp19,20 miliar, tahun 2016 sebesar Rp22,80 miliar, tahun 2017 sebesar Rp29,10 miliar, dan tahun 2018 sebesar Rp33,16 miliar.

Sementara itu, destinasi wisata TNK juga telah mengubah Kota Labuan Bajo dan sekitarnya menjadi lahan yang subur bagi investasi. Data dari Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat (2018) mencatat, sekarang ini di Kota Labuan Bajo terdapat kurang lebih 80 hotel (15 hotel berbintang, 1 hotel non bintang, 3 hostel, 45 melati, 8 penginapan, 6 Losmen, 1 P. Wisata dan 1 perkemahan). Juga terdapat 59 biro perjalanan, 16 travel agent dan 7 Informasi pariwisata yang menjual paket perjalanan wisata menuju TNK.

Selain itu, perjalanan wisata ke Taman Nasional Komodo juga menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 100 orang pemandu wisata, lebih dari 300 kapal wisata yang meperkerjakan kurang lebih 3000 karyawan.

Namun, kemajuan pariwisata di Labuan Bajo belum berkontribusi secara ekonomi bagi warga Kampung Rinca-Pulau Rinca, Desa Pasir Panjang, yang terletak dalam kawasan TNK.

Sama-sama terletak dalam kawasan TNK, hingga kini jumlah pelaku wisata di Kampung itu jauh lebih sedikit ketimbang warga Kampung Komodo-Pulau Komodo, Desa Komodo. Data Profil Desa dalam Kawasan TNK (2019) memperlihatkan jauhnya perbandingan jumlah pelaku wisata antara kedua kampung ini.

Di Kampung Rinca jumlah warga yang menjual souvenir hanya berjumlah 3 orang, sementara di Kampung Komodo berjumlah 144 orang. Di Kampung Rinca juga hanya ada 1 pengrajin pemahat patung Komodo, sementara di Kampung Komodo berjumlah 65 orang. Ada pun warga Kampung Rinca yang membuka jasa homestay hanya berjumlah 3 orang, sementara di Kampung Komodo berjumlah 13 orang.

Merespon minimnya keterlibatan masyarakat dalam pariwisata, dalam dua tahun belakangan ini, masyarakat Kampung Rinca menginisiasi terbentuknya komunitas masyarakat peduli wisata atau yang populer dengan nama Kompas Rinca. Melalui wadah ini, warga Kampung Rinca mengembangkan model pariwisata alternatif berbasis komunitas.

Minimnya Kunjungan Wisatawan ke Kampung Rinca

Sejauh ini pihak Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) hanya menyiapkan lahan bagi warga Kampung Komodo untuk menjual souvenir di area Loh Liang, tempat penangkaran Komodo di Pulau Komodo, yang setiap hari ramai dikunjungi para wisatawan.

Sementara untuk usaha yang sama, pihak BTNK belum menyiapkan lahan bagi warga Kampung Rinca di area Loh Buaya, lokasi penangkaran Komodo di Pulau Rinca. Sebab itu, untuk dapat berinteraksi dengan wisatawan, warga Kampung Rinca hanya berharap dari para wisatawan yang berkunjung ke Kampung Rinca.

Namun, meski banyak wisatawan yang melakukan perjalanan wisata overnight ke dalam kawasan TNK, mereka lebih sering menginap di atas kapal (liveaboard) dan berlabuh di sekitar Kampung Rinca, ketimbang pada homestay milik warga setempat. 

Isaka (65), pelaku wisata yang membuka jasa homestay di Kampung Rinca mengatakan, sepanjang tahun 2018 hanya ada satu tamu yang menginap di homesatay miliknya. Karena itu ia sangat berharap agar pihak yang berwewenang bisa memberi jalan keluar untuk soal ini.

“Dengan tamu-tamu yang begini banyak kiranya dapat juga dinginapkan di kampung Rinca. Ya, harapan itu saja. Kiranya dari pemerintah itu dapat juga membantu kami, untuk menggiringkan tamu itu supaya dapat menginap dimana, di pulau Rinca. Ya, itu saja harapan kami. Kami tidak bisa berbuat apa-apa,” tutur Isaka.

Sementara untuk mendorong keterlibatan warga Kampung Rinca ke dalam pariwisata, Pemerintah melalui Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memberdayakan masyarakat melalui banyak macam pelatihan.

Ada pelatihan manajemen homestay dan pelatihan kerajinan kreatif yang pernah dilakukan oleh Yayasan Komodo Kita. Namun menurut Mumahad Arok (45), salah seorang warga Kampung Rinca, semua itu sia-sia, karena tidak ada wisatawan yang berkunjung ke Kampung itu.

“Untuk paket jualannya yang ngambil siapa, seperti pengelolaan madu. Ketika masyarakat ambil madu, tapi hasil penjualannya nggak ada. Yang pasarannya yang nggak ada. Ini juga yang perlu kita verifikasi kembali, untuk mengatur kembali, untuk menata kembali,” tutur Muhamad Arok.

Tolak Investasi

Selain melalui berbagai pelatihan, pemerintah juga menempuh jalan investasi dalam rangka untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam kawasan TNK ke dalam dunia pariwisata.

Skema baru investasi dalam bentuk Izin Penguasaan Pariwisata Alam (IPPA) dalam kawasan Taman Nasional dimulai ketika pada tahun 2010, pihak KLHK mengeluarkan sebuah Permen Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

Segera setelah Permen ini dikeluarkan, hingga tahun 2015 terdapat 121 perusahaan yang mengajukkan IPPA dalam kawasan Taman Nasional di seluruh Indonesia.

Di TNK, setelah Permen ini diterbitkan, ada 7 perusahaan yang mengajukkan IPPA. Dua dari 7 perusahaan itu itu PT Segara Komodo Lestari dan PT Komodo Wildlife Ecotourism sempat mulai merealisasikan proyek IPPA membangun Rest Area dalam kawasan TNK pada tahun 2018. PT Segara Komodo Lestari mendapat izin untuk memanfaatkan lahan seluas 22,1 hektar pada zona pemanfaatan di Pulau Rinca.

Selain sangat dipersoalkan dari sisi konservasi, warga Kampung Rinca juga ragu akan janji pihak PT untuk merekrut warga setempat sebagai tenaga kerja di PT tersebut.

Mustafa (32), pemuda Kampung Rinca mengatakan bahwa dengan sumber daya manusia yang masih sangat jauh dari kata memadai, tidak mungkin warga Kampung Rinca dapat bekerja di PT tersebut.

Sementara atas janji 5 % keuntungan yang akan diberikan ke Desa Pasir Panjang oleh pihak PT, warga setempat  juga sangat meragukan seberapa jauh sistem itu berjalan transparan.

“Siapa yang pegang pembukuan. Apakah masyarakat tahu, berapa keuntungan yang didapatkan pihak PT dalam sebulan. Itu semua kan hanya pihak PT yang tahu,” tutur Asgar (25), pemuda Kampung Rinca.

Mengelola Destinasi Wisata Alam dan Budaya

Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat Kampung Rinca ke dalam dunia pariwisata, pada 4 Agustus 2018, beberapa orang muda dan tokoh masyarakat Kampung Rinca menginisiasi terbentuknya komunitas masyarakat peduli wisata, yang sekarang ini populer disebut Kompas Rinca.

Sebagai sebuah organisasi, keanggotaan Kompas terdiri dari tiga bagian. Anggota biasa adalah orang-orang yang terlibat aktif dalam kegiatan Kompas. Sedangkan anggota luar biasa adalah orang-orang yang telah merintis berdirinya Kompas yang terdiri dari 11 orang. Ada pula yang disebut anggota kehormatan yaitu individu-individu yang bergabung ke Kompas dan setuju dengan asas dan tujuan Kompas.

Untuk mendorong keterlibatan masyarakat Kampung Rinca dalam pariwisata, pertama-tama Kompas memetakan semua potensi pariwisata alam di Pulau Rinca dan beberapa Pulau yang letaknya dekat Pulau Rinca.

Sejauh ini, pihak BTNK telah menyerahkan destinasi Gua Kalong dan Batu Balok yang terletak di Pulau Rinca untuk dikelola pihak Kompas.

Selain menyaksikan pesona wisata pesona alam, di dua destinasi ini para wisatawan juga disuguhkan dengan narasi berupa legenda di balik dua destinasi tersebut. Sementara destinasi alam yang lain seperti Pulau Kalong, pihak Kompas masih bernegosiasi dengan pihak BTNK.

Selain mengelola dua destinasi alam di atas, kepada wisatawan, Kompas juga menawarkan paket village tour. Dalam paket ini, wisatawan diantar oleh soerang guide untuk berkeliling Kampung Rinca. 

Biasanya yang menjadi guide adalah siswa SD atau SMP yang sudah mengikuti pelatihan Bahasa Inggris yang diinisiasi sendiri oleh pengurus Kompas.

Dalam paket village tour, wisatawan diarahkan untuk dapat berinteraksi dengan masyarakat, belajar budaya Kampung Rinca seperti aktivitas nelayan, sistem adat-istiadat dan sejarah Kampung Rinca.

Kompas juga coba mengangkat budaya asli suku Bajo, seperti tarian Manca Bajo sebagai bagian dari paket destinasi. Ada pula paket budaya yang lain seperti fisherman tour, yang mengangkat aktivitas nelayan sebagai identitas utama orang-orang suku Bajo.

Selain konsen pada penataan destinasi, Kompas juga memperkuat capacity building warga Kampung Rinca seperti pelatihan Bahasa Inggris dan pelatihan guiding untuk anak-anak sekolah. Pelatihan Bahasa Inggris ini dilakukan oleh pengurus Kompas sendiri atau juga mendatangkan pelatih dari luar.

Sementara untuk memasarkan destinasi, Kompas membangun jaringan kerja sama dengan beberapa biro perjalanan di Kota Labuan Bajo dengan cara membagi brosur.

Dengan menempuh strategi macam ini, warga Kampung Rinca mulai merasakan adanya dinamika pariwisata di Kampung itu.

Asgar (25), pemuda Kampung Rinca sekaligus pengurus Kompas, mengakui bahwa pada tahun 2018 total pemasukan dari wisatawan yang datang berkunjung ke beberapa destinasi yang dikelola oleh Kompas menembus hingga angka belasan juta rupiah.

Dia sangat yakin, jumlah ini akan meningkat di tahun-tahun yang akan datang, jika pihak BTNK juga akan menyerahkan beberapa destinasi lain seperti Pulau Kalong untuk dikelola oleh warga Kampung Rinca.

Di samping itu, ia melanjutkan, Kompas juga akan terus menjalin kerja sama dengan pihak-pihak terkait di Kota Labuan Bajo untuk tujuan promosi.

*Peneliti pada Sunspirit for Justice and Peace-Labuan Bajo-Flores

TERKINI
BACA JUGA