Kupang, Ekorantt.com – Penghidupan sekitar 1.1 juta petani dan pelaku sektor pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur diduga mengalami penurunan hasil panen dan pendapatan. Berkaitan dengan Covid-19, Perkumpulan Pikul (Lingkar Belajar Komunitas Bervisi) melakukan survei pada tanggal 29 April hingga 9 Mei 2020 terhadap 156 petani, petani perempuan, dan juga pelaku perdagangan hasil pertanian.
Torry Kuswardono, Direktur Ekesekutif Pikul kepada Ekora NTT menjelaskan dari survei, sebanyak 64,36% petani mengaku hasil panenan saat ini kurang dibanding tahun lalu. Lebih dari 70% responden menyatakan penurunan hasil berkisar hingga 50% dari tahun sebelumnya. Sekitar 73,2% responden mengungkapkan hasil panen mereka, terutama serealia, cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sekedarnya.
Faktor utama penurunan hasil panen adalah curah hujan yang datang terlambat pada musim tanam akhir 2019. Selain itu, menurut 70% petani, hujan yang kurang, atau kurang teratur berdampak pada penurunan hasil panen tahun ini.
Faktor lain yang juga disebutkan oleh responden sebagai penyebab turunnya panen adalah serangan hama. Penurunan produksi tanaman perkebunanan diikuti dengan penurunan harga jual dan kesulitan dalam akses pasar. Berdasarkan hasil survey, 52,9% responden mengungkapkan terjadi penurunan harga jual mencapai 50% dari harga sebelumnya.
Torry juga menambahkan, sebanyak 77,1% petani mengeluhkan akan akses pangan di pasar desa di semua kabupaten. Sebanyak 72,2% pedagang pengumpul menyatakan bahwa jumlah pangan yang dibeli dari petani mengalami penurunan dari jumlah biasanya.
Faktor penyebabnya adalah penutupan pasar dan pembatasan pergerakan. Selain itu, sekitar 82,8% petani perkebunan (tanaman perdagangan) menanam tanaman pangan di luar tanaman perkebunan, namun jumlahnya tidak banyak dan tidak akan dapat memenuhi kebutuhan sendiri.
“Hingga awal bulan Mei, tidak ada satu pun responden petani perkebunan yang cukup yakin bahwa mereka akan mampu menjual hasil panen seperti biasanya, dan mendapatkan uang untuk membeli pangan. Turunnya permintaan dan terhambatnya jalur distribusi barang menyebabkan petani perkebunan semakin rentan,” demikian ujar Torry.
Untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi petani dan pelaku rantai pangan pertanian, Perkumpulan Pikul mengusulkan beberapa rekomendasi kebijakan.
Dalam jangka pendek; pemerintah perlu melakukan klasterisasi wilayah produksi pangan yang mengalami surplus dan defisit terdekat. Tujuannya untuk mendistribusikan pangan dari desa atau kecamatan yang surplus pangan ke yang defisit pangan. Dengan demikian surplus pangan di suatu wilayah tidaklah terbuang begitu saja dan harga pangan tetap stabil.
Yang perlu juga dikerjakan segera adalah pembukaan transportasi khusus pangan dan depot pangan dari tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten dalam klaster yang menyeimbangkan daerah surplus dan defisit.
Penyiapan gudang penampungan dan pembelian sementara tanaman perdagangan. Pemerintah dapat membeli dahulu hasil panen tanaman perdagangan separuh harga, dan membayarkan separuh harga yang lain setelah hasil perkebunan terjual. Cara yang lain adalah dengan memberikan pinjaman dengan agunan tanaman perdagangan yang telah dipanen.
Untuk jangka menengah panjang, kata Torry, pemerintah provinsi dan kabupaten dapat mendorong setiap warga baik di perkotaan maupun di perdesaan, untuk mampu menghasilkan pangan bergizi yang tangguh iklim.
Mengembangkan lumbung pangan di desa-desa, sesuai dengan konteks dan kebudayaan yang berlaku. Mengembangkan infrastruktur pertanian pedesaan lewat padat karya dengan meningkatkan rasio layanan infrastruktur terhadap jumlah sehingga infrastruktur dapat dimanfaatkan untuk memperkuat penguatan pangan lokal pada mulai dari tingkat RW hingga tingkat desa.
“Pemerintah perlu terus mendorongsumber-sumber pangan lokal seperti serealia lokal, misalnya sorgum, jewawut, umbi-umbian, sagu gewang, juga gula lontar, serta kacang-kacangan, dan sayuran yang cocok dengan wilayah setempat untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan”, demikian tutup Torry.