Oleh: Suroto*
Koperasi gagal bayar itu adalah fenomena gunung es, di luar kasus kasus besar serti Cipaganti Pandawa, Langit Biru, dan terakhir adalah Indosurya. Dalam skala kecil sebetulnya masif di daerah daerah.
Maraknya koperasi gagal bayar itu sebetulnya disumbang oleh persoalan mendasar yang bersifat paradigmatik, regulasi hingga kebijakan.
Secara paradigma, karena hakekat koperasi tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat. Sehingga memunculkan persoalan serius terkecoh oleh munculnya koperasi-koperasi palsu (quasi).
Masyarakat pada umumnya tidak sungguh sungguh tahu bahwa menjadi anggota itu sama dengan menjadi pemilik dan pengendali perusahaan yang mereka percayakan investasinya.
Masyarakat kita juga mudah diiming-imingi oleh keuntungan atau return yang tinggi dari orang-orang yang ingin sengaja menipu masyarakat dengan memanfaatkan koperasi.
Secara regulasi, ini juga pertanda bahwa regulasi perkoperasian kita juga lemah. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian kita itu bahkan disebut oleh pakar hukum internasional Hans Muhkner sebagai yang terburuk di dunia.
Keburukannya karena sifatnya tidak imperatif. Sanksinya tidak jelas dan hanya jadi semacam macan kertas.
Ini biasa di negara negara berkembang seperti halnya Indonesia, karena undang-undang itu biasanya dibentuk sebagai bentuk kongkalikong elit kaya dan elit politik. Akibatnya kepentingan publik, rasa aman berinvestasi di koperasi oleh masyarakat diabaikan.
Banyak koperasi-koperasi seperti itu yang diglorifikasi oleh pemerintah sebelum kolaps. Dibanggakan bahkan diberikan penghargaan dan mereka cuci tangan ketika muncul masalah.
Dalam soal kebijakan lebih rumit lagi. Pemerintah kita selama ini memang tidak ingin serius membangun koperasi karena secara arsitektur kelembagaan koperasi itu memang sengaja diabaikan.
Contoh paling nyata adalah lambannya pembentukkan Lembaga Penjaminan Simpanan Koperasi yang seharusnya juga dimiliki seperti halnya perbankkan swasta kapitalis.
Pada akhirnya, manajamen koperasi untuk menarik perhatian masyarakat berinvestasi mesti memberikan return yang menanggung biaya sumber dana (cost of fund) yang tinggi.
Sementara perbankan swasta kapitalis diberikan banyak fasilitas bukan hanya Lembaga Penjaminan Simpanan tapi ada Dana Penempatan, Penyertaan Modal, talangan ( bailout) ketika bangkrut, dan bahkan subsidi bunga untuk bankir seperti Kredit Usaha Rakyat ( KUR) misalnya.
Kalau koperasi-koperasi yang baik sampai saat ini masih berjalan itu sudah luar biasa. Sebab ibarat naik ring tinju, mereka disuruh bertarung dengan bank umum swasta kapitalis yang dipersenjatai lengkap dan diberikan nutrisi cukup sedangkan koperasi dibiarkan makan nasi aking dan bertarung dengan tangan kosong.
Hal tersebut jelas sekali sangat merugikan koperasi karena maraknya koperasi gagal bayar akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap koperasi. Masyarakat akan menilai bahwa koperasi adalah tempat yang tidak aman untuk berinvestasi. Citra gerakan koperasi menjadi rusak.
Pada dasarnya koperasi seperti itu motivasinya dibentuk sebetulnya karena munculnya kelemahan regulasi dan mereka yang paham betul permainan itu yang akhirnya memafaatkan celah celah kelemahan yang ada. Bisa saja orang yang tidak perlu memiliki uang cukup tapi mereka memiliki keterampilan memarketing konsepnya sehingga banyak masyarakat yang tertarik.
Berbagai kasus class action yang sampai di pengadilan pada akhirnya banyak masyarakat yang kalah.
Regulasi koperasi kita itu lemah. Bahkan secara sektoral dikunci dan diskriminasi di mana mana. Seperti disingkirkan dari lintas bisnis modern. Di UU bank sentral tidak direkognisi, di UU Perbankkan dibuang, tidak disediakan kesempatan mendapat privelege kebijakan seperti bank swasta semacam LPS dan lain-lain.
Tapi sebetulnya juga karena banyak pejabat kita yang tidak memiliki kemauan politik (political will) yang tinggi untuk menangani. Kalau mau karena koperasi-koperasi gagal bayar itu marak kenapa tidak dibuat Perppu yang tinggal disodorkan kepada Presiden dan diteken. Kalau tidak masyarakat akan terus banyak yang tertipu.
Lalu apa yang mesti pemerintah segera lakukan adalah membentuk regulasi pengawasanya untuk menjaga kepentingan publik. Segera tertibkan. Bentuk Perppu (Peraturan Pengganti Undang Undang) karena UU yang existing saat ini sudah 20 tahun lebih mau diganti hanya wacana saja. Sudah sempat diganti tahun 2012 tapi dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena UU ini memang buruk sekali.
Tanpa harus menunggu sebetulnya dalam pendekatan kelembagaan pemerintah bisa saja misalnya segera membubarkan koperasi -koperasi abal abal itu.
Pemerintah kita lamban sekali. Sudah tahu potensi koperasi abal-abal kita itu masih ada 120-an ribu tapi dibiarkan liar saja. Padahal pembubaran oleh pemerintah itu sudah bisa dilakukan dengan landasan UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang juga sudah diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Permen.
Kalau pemerintah serius harusnya sudah dilakukan. Ini sudah satu tahun pemerintahan baru belum ada tanda-tanda ke sana. Mestinya segera dibentuk Panitia Pembubaran Koperasi luar biasa. Targetnya dalam jangka pendek 120 ribu koperasi papan nama itu selesai. Kalau tidak becus untuk bubarkan koperasi semacam itu pecat saja pejabatnya karena bisa jadi mereka bagian dari permainan tersebut.
Tujuan didirikan koperasi adalah kesejahteraan bagi semua anggotanya secara adil dan penuh partisipasi. Bukan hanya kepentingan investor atau investor driven yang hanya berorientasi profit sebesar besarnya bagi pemilik modal.
Koperasi ini adalah konsep perusahaan yang demokratis dimana setiap anggota memiliki hak kendali yang sama, one person one vote. Walaupun secara ekonomi tentu tetap resiprokatif atau sesuai dengan besaran partisipasi ekonominya.
Koperasi itu sebuah model perusahaan yang canggih dan futuristik. Sebab nasabah atau pelanggan saja bisa jadi pemilik perusahaan. Termasuk tentu pekerjanya. Bukan hanya investor seperti yang ada pada model perusahaan swasta kapitalis. Ini model perusahaan yang modelnya membuka kesejahteraan bagi semua orang.
Coba lihat, mana ada perusahaan secanggih itu? Paling bank atau perusahaan swasta kapitalis itu banter-banternya hanya ESOP (employee share ownership plan) atau membagi saham pada pekerjanya yang jumlahnya hanya kecil dari total saham yang dimiliki biasanya.
Banyak sekali koperasi kita yang menyimpang dari yang seharusnya. Pernah kami lakukan suvei secara random purposive sampling jumlahnya kurang lebih 71 persen dari koperasi yang ada. Dalam masa kepemimpinan Menteri Koperasi dan UKM AAG Puspayoga, karena sudah dibubarkan sebanyak 62 ribuan dari 212 ribu sekarang ini masih ada sekitar 120 ribu yang palsu dan potensi merusak citra koperasi.
Lalu bagaimana perlindunganya? Perlindunganya seperti yang saya sampaikan di atas, baik itu secara regulasi maupun aspek kebijakan jelas sangat lemah dan berpotensi merugikan kepentingan masyarakat banyak.
Secara singkat dapat saya katakan, kalau mau berinvestasi di koperasi masyarakat harus paham betul apa itu koperasi, tata kelolanya, dan bagaimana dan ke mana uang itu dikelola sehingga memiliki kemampuan untuk mengendalikan koperasi tersebut dan bukan hanya karena iming iming semata.
*Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)