Kupang, Ekorantt.com – Gadis hitam manis itu namanya Katarina Emanuela Istiari Lamablawa. Sebagian besar orang mengenalnya sebagai Katarina Kewa Sabon Lamablawa yang awalnya cuma nama Facebook dan sekarang keterusan menjadi nama pena dan nama panggung.
Bukan itu saja, uniknya perempuan kelahiran 10 Desember 1997 ini memiliki beberapa nama panggil lainnya misalnya Klarita, nama kecil yang diambil dari judul telenovela Carita de Angel. Ada lagi Catherine, Katrin, Ketrin, Katar, Katan, Lita, dan beberapa orang terdekat yang menyapanya Inke, singkatan dari Ina Kewa.
Kami bertemu melalui media sosial Facebook dan Instagram dan saya memilih memanggilnya Katrin, sesekali Ina sebutan untuk perempuan Flores Timur. Katrin dengan manis berkenalan dengan orang yang baru ia temui di dunia maya. Tanpa jarak, Katrin lalu banyak bercerita.
Ia adalah putri pertama dari pasangan Simon Senuken Medhon dan Rosa Lelu Sanga yang berasal dari Kecamatan Witihama, Adonara, Kabupaten Flores Timur. Bapak dari Desa Oringbele dan Mama dari Desa Watoone.
Sejak tahun 1998, kedua orang tua merantau ke Jawa. Katrin banyak menghabiskan masa kecilnya hingga SMA di Jawa Timur, beberapa tahun pertama saat Sekolah Dasar di Surabaya kemudian pindah ke Pasuruan, Bangil tepatnya.
Momen pindah ke Pasuruan dirasa seperti bencana bagi keluarga Katrin. Pasuruan adalah kota basis muslim di tanah Jawa. Itu adalah perjalanan pertama cerita perjuangan Katrin melawan bully alias perundungan.
Di Pasuruan, Katrin Lamablawa bersekolah di SD Negeri Sumbersari II, lanjut ke SMP Negeri 1 Beji-Pasuruan, dan SMA Negeri 1 Bangil kemudian lulus pada tahun 2014. Menjadi minoritas Katolik di sekolah negeri bukanlah hal yang mudah.
“Saya di-bully sejak SD,” ucapnya.
Dari nada bicaranya, Katrin seperti sudah kenyang akan bully-an. Mengapa ia di-bully?
Katrin dengan jelas menunjukkan, “kulit saya hitam, rambut saya keriting,” itu yang membuat mereka sangat bersemangat mem-bully saya.
Mereka juga mengolok saya dengan kalimat “Woe Ambon, Ambon, Ambon”.
Menurut mereka, semua yang yang berkulit hitam dan berambut keriting adalah orang Ambon.
“Saya bukan orang Ambon. Saya dari Flores,” katanya tak terima.
Keluarga Katrin tinggal di daerah barat Pasuruan yang masuk dalam wilayah paroki Santa Theresia Pandaan dan Stasi Petrus Paulus Bangil. Jika dalam bayangan kita, gereja adalah bangunan yang megah dengan salib di puncaknya, maka tidak untuk gereja di sana.
Katrin sendiri tak mengerti mengapa bentuk gereja dari luar terlihat seperti bangunan rumah tinggal biasa, barulah bagian dalam terlihat seperti gereja pada umumnya. Walau begitu, Katrin dan keluarga tetap melakukan aktivitas keagamaan seperti biasa.
Tak hanya Katrin, mamanya yang adalah lulusan SPG selain mengajar di sekolah, mama juga membuka les privat bagi anak-anak di lingkungan tempat tinggal mereka. Anak-anak yang datang les hanya membayar Rp2.000 untuk satu jamnya. Katrin selalu bersemangat belajar bersama anak-anak lainnya.
“Mama menganggap ini adalah kontribusi kami sebagai orang minoritas di tempat yang mayoritas suku Jawa dan muslim,” ucapnya.
Katrin kecil hingga kini adalah Katrin yang penuh semangat, dan komunikatif. Ia tekun belajar pidato sejak SD kelas 5 dan pernah dikirim untuk mengikuti lomba pidato bahasa Inggris tingkat gugus sekolah dan mendapat juara dua.
Menurut dewan juri, Katrin sebenarnya pantas untuk menempati posisi pertama kalau saja ia menyebutkan salam Assalamu ‘alaikum Wa Rahmatullahi Wa barakatuh di awal dan akhir pidato. Walaupun begitu, Katrin-lah yang dikirim ke tingkat kabupaten dan dengan bangga juara satu mengalahkan sekolah-sekolah dari kecamatan lain.
Perjuangan melawan bully terus dilakukan Katrin kecil. Ia mulai bertekad bagaimana supaya orang orang tidak menilainya sebatas fisiknya yang tak sama dengan orang di lingkungannya, tapi karena ia memiliki sesuatu dalam diriya. Katrin mulai fokus belajar, mendapat rangking yang bagus, aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka, dan tari.
Saat duduk di bangku SMP, ujian sebagai seorang minoritas semakin terasa olehnya. Di antara 300 siswa baru hanya ada dua non-muslim. Teman laki-laki yang beragama Kristen protestan dan Katrin yang mencolok perbedaannya dari teman perempuan lainnya yang berkerudung.
Ajakan untuk menjadi muslim banyak datang dari teman-teman, bahkan dari mereka yang sangat dekat dengannya.
“Ayo Katrin masuk masuk Islam, biar selamat, jangan kafir kamu,” kata teman-temannya.
Walau demikian, ia tetap menolak dengan baik. Tak hanya itu. Oleh salah seorang guru agama Islam, Katrin pernah disuruh untuk menggunakan jilbab. Tetapi, ia juga menolak.
Awalnya, ia memilih untuk berada di dalam kelas saat jam pelajaran agama Islam. Namun, karena sering disudutkan oleh guru dan teman-teman, Katrin memutuskan untuk ke perpustakaan untuk membaca beberapa buku, begitu seterusnya. Hingga ia menemukan seorang guru muslim yang mau menerimanya.
“Namanya Ibu Yuni. Dia baik sekali. Dia selalu pakai saya untuk jadi contoh toleransi buat teman-teman di kelas,” katanya.
Menjadi berbeda adalah takdir bagi Katrin. Akan tetapi, tak sedikit pun niat Katrin untuk membangun tembok pergaulan dengan teman-teman mayoritas di sekolah. Ia masuk sebagai anggota OSIS, dan selalu mengikuti kegiatan keagaman seperti pengajian dan hari raya kaum muslim di sekolah.
“Mereka berdiri saya berdiri, mereka duduk saya duduk, Kak,” ucap gadis 22 tahun ini.
Ada teman yang mengatakan, “Kat, kalau kami di posisimu, kami belum tentu bisa”.
Katrin hanya ingin menunjukkan kepada teman temannya agar tidak memandang orang hanya dari fisik dan agama.
Semangat Katrin terus membara. Dari teater, jurnalistik, sampai broadcasting ia tekuni. Saat SMA, Katrin beruntung mendapat lingkungan yang ia rasa seperti rumah yang menerima.
“Saya tidak menyangka di daerah yang menjadi pusat santri, saya diterima dengan sangat baik”.
Di SMA Negeri 1 Bangil ini-lah, Katrin remaja menemukan dirinya berkat teman dan guru yang toleran.
Ia juga menemukan kecintaan pada dunia jurnalistik yang membuatnya ingin terus mempelajari bidang tersebut. Saat ini, Katrin sedang mengambil jurusan jurnalistik di Universitas Nusa Cendana dan lagi sibuk mengurus proposal skripsinya.
Di kampus pun, Katrin tetap menjadi dirinya sendiri. Ia selalu muncul tanpa dandanan menor ala anak kuliah atau pakaian kekinian yang mengikuti trend.
“Saya lebih suka pakai baju kaos lusuh, celana robek, amburadul bahkan saya pernah pakai sandal jepit saja ke kampus,” ucapnya dengan tawa kecil.
Ia ingin melihat berapa banyak orang yang memilih respect kepada orang lain yang berpenampilan wow, tanpa tahu siapa dia.
“Saya jadi diri sendiri dan ingin hidup dengan standar saya sendiri,” begitu prinsip Katrin.
Ketua umum Angkatan Muda Adonara (AMA) ini banyak membagikan pengalaman bullying dan bagaimana dia membangkitkan kepercayaan dirinya di akun sosial media salah satunya di instagram dengan nama Katarina Kewa Sabon Lamablawa. Ia tampil percaya diri dengan look khas wanita timur yang berkulit gelap, rambut keriting tanpa rebonding, dan mata bulat yang tegas dan besar.
Aty Kartikawati