Tumbal-tumbal Pembangunan: Kontroversi Pariwisata Super Premium Labuan Bajo

Kampung ujung Labuan Bajo, Manggara Barat. Foto/Dinas Pariwisata Manggarai Barat
Kampung ujung Labuan Bajo, Manggara Barat. Foto/Dinas Pariwisata Manggarai Barat

Oleh Adeputra Moses

Jurnalis EKORA NTT 

Kata Kunci: Pariwisata Super Premium Labuan Bajo, Gereja Katolik, korporasi, perampasan tanah, pariwisata berbasis komunitas

Ekorantt.com – Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Manggarai Barat, selama kurun waktu 2014 – 2018, jumlah usaha jasa akomodasi atau hotel di Labuan Bajo mengalami kenaikan setiap tahun. Pada 2014, hotel di Labuan Bajo sebanyak 56, dengan rincian 6 hotel bintang dan 50 hotel non bintang. Dibandingkan 2014, usaha hotel di Labuan Bajo mengalami kenaikan 57,14% pada 2018. Pada 2018, hotel di Labuan Bajo berjumlah 98, yakni 7 hotel bintang dan 91 hotel non bintang.

Selain usaha jasa akomodasi, berdasarkan data yang dirilis Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat (2018), di Labuan Bajo, terdapat 59 biro perjalanan, 16 travel agen, dan 7 informasi pariwisata yang menjual paket perjalanan wisata menuju Taman Nasional Komodo. Perjalanan wisata ke TNK juga menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 100 orang pemandu wisata.

Sementara itu, dari segi aksesibilitas, wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo juga memanfaatkan jasa dari kurang lebih 300 taksi bandara. Perjalanan wisata ke TNK telah membuka kesempatan kerja bagi lebih dari 300 kapal wisata yang memperkerjakan kurang lebih 3.000 karyawan.

Di Kampung Komodo, terdapat 144 orang penjual souvenir, 65 orang pengrajin patung, 26 orang naturalist guide, dan 13 orang yang membuka jasa homestay. Belum terhitung masyarakat yang membuka usaha warung yang banyak terpusat di Kampung Komodo.

Pertumbuhan usaha wisata ini berbanding lurus dengan kunjungan wisatawan di Labuan Bajo. Hal ini terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo yang terus meningkat signifikan setiap tahun. Menurut data BPS Mabar, kunjungan wisatawan ke TNK pada 2019 mencapai 221.703 orang. Dari jumlah itu, wisatawan asing mendominasi, yakni 144.068 orang, sedangkan wisatawan nusantara hanya 77.635 orang.

Pada 2018, jumlah wisatawan yang berkunjung ke TNK berjumlah 179.081 orang; 2017 berjumlah 142.905 orang; 2016 berjumlah 107.711 orang; dan 2015 berjumlah 95.410 orang. Peningkatan jumlah kunjungan menunjukkan, Kabupaten Manggarai Barat semakin diminati para wisatawan sebagai salah satu tujuan wisata, terutama dengan adanya satwa Komodo (Veranus Komodoensis) yang telah ditetapkan sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia.

Destinasi Wisata Premium

Presiden Jokowi pun berkomitmen menjadikan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super premium. Menurut Jokowi, konsep pengembangan wisata super premium berbeda dengan konsep wisata biasa. Jokowi menjelaskan, ketika Labuan Bajo jadi destinasi super premium, maka wisatawan yang mengunjungi Labuan Bajo adalah wisatawan kelas atas yang punya banyak uang.

“Kita harapkan di sini belanjanya lebih besar, tinggalnya lebih lama, kita harapkan itu. Artinya bukan jumlah turisnya, tapi spending (pengeluaran)-nya, belanjanya yang lebih banyak,” kata Jokowi saat berkunjung ke Labuan Bajo, Senin (20/1/2020).

Untuk mewujudkan Labuan Bajo sebagai destinasi super premium, pemerintah pusat mulai menggenjot pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata di wilayah ini, seperti memperpanjang landasan pacu, memperlebar terminal di Bandara Internasional Komodo, dan menata beberapa zona yang diklaim sebagai ruang publik. Sementara itu, berkaitan dengan Sumber Daya Manusia, Jokowi menginginkan agar keahlian dan kompetensi masyarakat lokal yang sesuai dengan kebutuhan industri pariwisata harus ditingkatkan.

“Kita harapkan nantinya tenun, kopi, kerajinan, makanan khas betul-betul bisa tumbuh. Dan seiring dengan itu juga atraksi budaya lokal, kesenian daerah juga harus semakin hidup dan menghidupkan area yang ada di Labuan Bajo,” kata Jokowi.

Hilir – Hulu Pariwisata Super Premium Labuan Bajo

Direktur JPIC SVD Ruteng Pater Simon Suban Tukan mengatakan, ada dua aspek yang disoroti terkait wisata super premium Labuan Bajo. Pertama, dari sisi kebijakan dan peran pemerintah (pusat). Menurutnya, kebijakan ini baik, karena pemerintah mau menggerakkan pembangunan di Labuan Bajo khususnya dan Flores umumnya, agar terjadi percepatan pemerataan pembangunan, dengan harapan terjadi juga pemerataan kesejahteraan.

“Menjadikan Labuan Bajo sebagai tujuan wisata super premium berarti pemerintah mau mengembangkan pusat pembangunan baru, pusat eknomi baru di Indonesia, yang selama ini terkesan sangat sentralistik,” katanya.

Menurutnya, dengan menjadikan Labuan Bajo sebagai tujuan wisata super premium, pemerintah menaikkan tidak hanya status, tetapi juga kualitas pelayanan kepada wisatawan.

“Itu berarti, fasilitas dan manusia pramuwisata harus berkualitas super. Dengan demikian, biaya wisata atau retribusi menjadi lebih mahal dan mutatis mutandis meningkatkan pendapatan Negara dan daerah. Pendapatan yang meningkat diharapkan meningkatkan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

Ia mengatakan, penyediaan fasilitas dan pramuwisata yang super premium membutuhkan dana yang sangat banyak. Negara tentu tidak dapat melakukannya sendiri. Karena itu, Negara membutuhkan pihak swasta atau investor pengembang untuk menyediakan segala sesuatu yang diperlukan bagi suatu wisata super premium.

Akan tetapi, kedua, kata Pater Simon, untuk menjadikan Labuan Bajo dan Flores sebagai tujuan wisata super premium, Negara dalam hal ini pemerintah membutuhkan investasi yang besar dan menggandeng pihak swasta atau investor pengembang untuk melaksanakan kebijakannya. Dalam konteks ini, lanjutnya, benturan di masyarakat sering tidak bisa dihindari. Sebab, penyediaan fasilitas yang super premium untuk wisatawan, tidak terjadi di ruang kosong, tetapi membutuhkan lahan bagi penyediaan fasilitas.

“Benturan yang bisa langsung terjadi adalah persoalan mengenai hak atas tanah. Flores ini kecil saja, maka tidak ada lagi lahan yang tidak bertuan. Semua sudah dimiliki entah secara komunal sebagai suatu ulayat, entah secara pribadi. Kami mengamati situasi di lapangan yang menunjukkan, dengan menjadikan Labuan Bajo dan Flores sebagai satu tujuan wisata dunia sejak tahun 2013, konversi bahkan terjadi perampasan lahan dalam jumlah besar mulai terjadi,” ujarnya.

Tidak Berdampak Signifikan

Sementara itu, Dosen Universitas Katolik Ruteng RD Benny Denar berpendapat, label wisata super premium Labuan Bajo hanya memberikan kesan kemajuan bagi Labuan Bajo atau Manggarai Barat, tetapi tidak berdampak signifikan bagi peningkatan hajat hidup masyarakat lokal.

“Pariwisata super premium itu kan berarti konsep pariwisata untuk golongan terbatas, oleh golongan elite. Maka, mau tidak mau, yang terlibat dalam usaha wisata itu hanyalah korporasi-korporasi kelas super premium juga,” katanya.

Penulis buku “Mengapa Gereja (Harus) Tolak Tambang” ini, pemerintah hanya memberikan karpet merah bagi korporasi-korporasi raksasa untuk melebarkan sayap usahanya ke Labuan Bajo.

“Dengan demikian, nanti kelihatan wisata itu megah-megah dan maju (super premium), namun justru mencampakkan masyarakat pada pemiskinan sistemik,” ujarnya.

Menurut RD Benny, ada tiga alasan mengapa masyarakat lokal tidak bisa bersaing dalam industri pariwisata super premium Labuan Bajo. Pertama, konsep pariwisata yang dikembangkan tidak disertai oleh penguatan sumber daya masyarakat lokal.

Kedua, dari prespektif tata kelola ekonomi, konsep pengembangan pariwisata super premium tersebut sungguh kapitalistik-neoliberal. Dalam tata kelola seperti ini, kata dia, pasti yang kuat amat potensial memangsa yang lemah dan terpinggirkan, terutama masyarakat lokal.

Ketiga, secara sosial politik, masalah ketidakadilan dalam pengembangan pariwisata super premium Labuan Bajo dipicu oleh kebiasaan penguasa lebih memihak pemilik modal daripada masyarakat lokal. Masyarakat lokal kurang dilindungi oleh regulasi yang dapat memproteksi kepentingan mereka, baik secara ekonomi maupun budaya.

Menurutnya, Gereja perlu terlibat memperjuangkan agar kebudayaan daerah dengan segala kekhasannya sungguh mendapat tempat istimewa dalam pengembangan pariwisata yang ada.

“Itulah yang menurut saya fokus perjuangan pastoral pariwisata ke depan. Gereja perlu terlibat mengusahakan agar tata kelola pariwisata tidak sampai meminggirkan masyarakat lokal,” katanya.

Melawan Invasi Investasi Korporasi Kapitalistik

Peneliti pada Sunspirit and Justice Venan Harianto me­ngatakan, Gereja Keuskupan Ruteng, di bawah pimpinan Uskup yang baru, secara insti­tusional mesti secara serius me­mikirkan serta merancang agen­da konkret untuk merespons dampak negatif yang ditim­bulkan oleh invasi investasi pariwisata premium di Labuan Bajo yang merupakan sebagian wilayah Keuskupan Ruteng.

Menurut Venan, ada dua poin utama yang harus menjadi perhatian utama Gereja institu­sional Keuskupan Ruteng.

Pertama, master pariwisata super premium yang berpo­tensi menyebabkan bencana ekologi pada sebagian wilayah Keuskupan Ruteng. Ada pen­galihan fungsi kawasan hutan beratus-ratus hektar (hutan produksi Bowosie-400 hektar) di sekitar kota Labuan Bajo untuk tujuan bisnis pariwisata; konservasi di Taman Nasional Komodo yang sedang dalam an­caman investasi, serta pemban­gunan infrastruktur pendukung investasi wisata super premium yang menganggu ruang-ruang hidup warga di kampung-kam­pung. Salah satunya warga di Desa Wae Sano yang ruang hidupnya terancam akibat ren­cana pembangunan geothermal di kampung itu.

Kedua, pariwisata super pre­mium juga menghadirkan corak pariwisata yang sangat berbasis industri yang sangat berpotensi besar meminggirkan masyara­kat setempat. Pariwisata berba­sis industri ini bekerja dengan jalan penguasaan lahan-lahan strategis dalam jumlah yang besar. Akibatnya, masyarakat akan kehilangan hak milik atas lahan, akses, serta manfaat dari lahan-lahan tersebut.

“Masyarakat Golo Mori dan sekitarnya otomatis terp­inggirkan jika lahan seluas 300 hektar di wilayah itu akan diba­ngun apa yang disebut dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),” katanya.

Atas dua hal di atas, kata dia, Gereja harus mampu memberi­kan suara kritis, dengan berpi­hak pada mereka (umatnya) yang menjadi korban.

“Gereja Keuskupan Ruteng juga harus teribat untuk ber­jejaring dengan organisasi, komunitas pegiat konserva­si, dan pendukung pariwisata berkeadilan,” sebutnya.

Selain itu, kata dia, Gereja Keuskupan Ruteng juga per­lu secara serius memikirkan dan merancang model-model pembangunan alternatif untuk menangkal model-model pem­bangunan berbasis investasi yang ditawarkan melalui wisata super premium.

Pesismime dan Saran

Pemerhati dan Praktisi Pari­wisata Arnoldus Wea berpendapat, penetapan kawasan Labuan Bajo menjadi tempat wisata premium tentu menguntung­kan dari segi investasi. Sebab, ada ceruk bagi kapitalisasi mo­dal di situ. Jika dikelola dengan benar, bukan tidak mungkin Labuan Bajo, yang didaulat sebagai “Bali Baru itu”, akan menyemburkan banyak rupiah ke kas APBD hingga mengalir ke kantong devisa Negara.

Namun, menurut Arnoldus, sebelum pergi ke tujuan yang baik dan sering digelorakan oleh media, perlu dipertanyakan, apa benar pariwisata Labuan Bajo mampu menghadirkan keun­tungan bagi Negara, termasuk di dalamnya ada masyarakat ke­cil sebagai pemilik?

“Saya pribadi merasa sangat pesimis. Pola pengembangan pariwisata di Labuan Bajo yang dikendalikan oleh kelompok investor besar akan sulit meng­hadirkan efek ekonomi kepada masyarakat local,” kata Arnol­dus.

Pesimisme Arnoldus berto­lak dari beberapa argumen beri­kut. Pertama, pariwisata Labuan Bajo sudah lama terlepas dari masyarakat pemiliknya.

“Silahkan bandingkan pro­porsi pemilik lahan usaha antara masyarakat lokal dan investor di seluruh destinasi Labuan Bajo. Ada ketimpangan di situ. Kasus Pantai Pede tempo hari menun­jukkan persoalan penguasaan lahan secara gamblang antara masyarakat lokal versus inves­tor. Privatisasi dalam rangka mengakumulasi modal pribadi berhasil menendang masyarakat keluar dari gelanggang usaha pariwisata. Ini sungguh berba­haya,” tandas Arnoldus.

Kedua, dalam banyak studi, penggunaan area sub-urban se­bagai destinasti wisata membu­tuhkan waktu dan proses yang lama.

“Kita bisa belajar dari Bali soal ini, terutama dalam hal edukasi untuk membudayakan pariwisata sebagai bagian hid­up masyarakat. Hal ini dinilai penting, mengingat langkah ini bisa mengurai dampak gesekan sosial karena perubahan. Tapi, tampaknya pemerintah tidak cukup jeli. Rezim yang gemar investasi sangat sukar berpikir dua kali tentang masalah sema­cam ini. Regulasi perlu dia­baikan, asal investasi masuk,” kritik Arnoldus.

Ketiga, pendekatan pari­wisata berbasis komunitas atau community based tourism yang mampu merekatkan hubungan antara pemilik dan investor per­lu diproposalkan.

“Masing-masing orang baik sebagai investor maupun se­bagai pemiliki akan diikat oleh satu aturan yang sama sehing­ga keuntungan bisa dinikma­ti secara adil dan kontrol atas dampak buruk bisa dilakukan bersama-sama. Dalam konteks yang lebih luas, pariwisata dapat hidup sebagai industri berkelan­jutan karena sama-sama dijaga,” kata Arnoldus.

Keempat, kalaupun ada ma­syarakat yang terlibat dalam industri pariwisata ini, mereka akan sulit berkembang. Cepat atau lambat, mereka akan ter­hempas ke luar dari persaingan. Alasannya jelas: sumber modal terbatas.

“Untuk kasus Flores, hemat saya, kredit bagi UKM yang dialirkan Bank jumlahnya kecil dengan bunga yang mecekik le­her. Ketika ada alternatif sema­cam koperasi, koperasi kita ha­nya mampu mengalirkan dana dalam jumlah kecil. Ini jadi persoalan serius,” ungkap Ar­noldus.

Keenam, alih-alih diberikan kepada investor demi mewu­judkan wisata premium, peme­rintah bisa berikan pengelolaan pariwisata di Labuan Bajo ke masyarakat melalui pengem­bangan pariwisata berbasis ko­munitas.

“Ada ruang di situ, pemerin­tah bisa melibatkan organisasi masyarakat, adat, dan agama. Lebih-lebih pengaruh Gereja yang masih dominan, hadirnya Uskup Baru bisa dilihat sebagai momentum penting. Bahwa hal semacam ini akan berjalan lam­bat bukan soal. Bahwa ini akan mengabaikan investor malah lebih baik. Sebab, sedari awal, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai Negara untuk kemak­muran rakyat, bukan kemak­muran investor,” pungkas Ar­noldus.

Editor: Silvano Keo Bhaghi

 

spot_img
TERKINI
BACA JUGA