Oleh: Suroto
Disadari atau tidak, kita selama ini sebagai bangsa telah lama larut dalam mimpi. Mimpi yang selalu terus didengungkan, bahwa ekonomi kita akan terus bertumbuh penuh optimisme hingga dua digit.
Mimpinya, kalau ekonomi tumbuh dua digit maka kita akan segera dapat menyerap pengangguran dan mengentaskan kemiskinan.
Kita akan segera mampu menciptakan sumber dana cadangan untuk pembangunan. Begitulah isi dongeng sebelum tidur itu.
Calon Presiden Jokowi ataupun rivalnya Prabowo, dua-duanya waktu itu juga meneruskan mimpi yang sama di kala kampanye.
Ekonomi kita akan segera tumbuh tinggi kalau mereka terpilih. Ekonomi akan tumbuh melejit hingga dua digit.
Kenapa saya katakan bahwa semua itu hanya mimpi? Sebab kita memang sedang dijebak dalam mimpi pertumbuhan ekonomi yang konstan di bawah dan pintu masuknya pertama tama adalah utang.
Mari kita hitung dan bongkar konstelasi rekayasa jebakan tersebut.
Hampir setengah abad lamanya kita membangun, sejak Orde Baru hingga saat ini. Ekonomi kita tumbuh rata-rata hanya 5 persen.
Hanya pernah satu kali, kita alami pertumbuhan ekonomi 9,8 persen di masa Orde Baru dan selebihnya ekonomi kita bergerak di kisaran 5-7 persen. Tapi beberapa tahun juga mengalami angka di bawah lima persen dan pernah minus ketika krisis 1998. Rata-rata hanya 5 persen.
Ekonomi kita sesunguhnya sedang dijebak oleh negara negara maju. Ini terbongkar skenarionya adalah ketika tahun 1980-an, Profesor Jan Timbergen, pakar ekonomi mengusulkan proposal penghapusan utang negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia.
Timbergen mengusulkan, andaikan dialokasikan 0,7 persen saja dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dari negara maju, maka secara berangsur dalam waktu singkat sudah bisa hapuskan utang negara miskin dan berkembang sehingga mereka segera menciptakan cadangan untuk membangun ekonominya secara mandiri.
Usulan Timbergen disambut baik negara miskin dan berkembang, namun ditolak oleh negara maju. Sebabnya sederhana, utang itu sekecil apapun sangat penting bagi negara maju untuk menguasai terus negara-negara miskin dan berkembang. Utang adalah pintu masuknya.
Utang kita saat ini sudah hampir 6000 triliun. Tiga kali APBN kita. Dan maaf, jangan bandingkan dengan utang negara maju ya. Mereka mata uangnya laku. Kita punya rupiah tidak seperti itu ferguso!
Utang dari negara maju selalu datang dibarengi dengan komitmen. Bukan komitmen untuk membayar, tapi komitmen untuk ikut mengarahkannya. Semacam utang haram karena motifnya adalah untuk menjebak.
Utang haram itu diarahkan untuk membangun infrastruktur fisik. Bukan infrastruktur sosial rakyat. Tujuannya adalah untuk dijadikan sebagai faktor pendukung (endorcement) bagi kepentingan Investasi Asing (Foriegn Dirrect Invesment) mereka. Dibangunlah apa saja demi memperlancar mereka merangsek masuk ke pelosok pedalaman di ujung republik ini.
Investor asing tersebut ketika ingin memasukkan investasi butuh fasilitas infrastruktur fisik selain fasilitas lainya seperti insentif pajak, jaminan keamanan dan lain-lain. Termasuk undang-undang yang pro kepentingan mereka.
Jebakan selanjutnya masuk. Ekonomi tumbuh kalau investasi asing atau FDI itu terutama masuk merangsek ke sektor komoditi ekstraktif eksportasi, tambang, dan perkebunan monokultur macam Sawit.
Harga harga dari produk komoditi ini dikendalikan oleh segelintir mafia kartel internasional. Semisal batu bara dan sawit. Rakyat tak ada untungnya kecuali terima kerusakan alam, bencana, kemiskinan, bengek, dan pengundulan hutan tercepat di dunia. Harga pangan naik secara relatif dan tapi komoditi ini turun secara relatif.
Ujung dari jebakan itu adalah sebetulnya ada di konsumsi. Jadi agar apa yang kita makan bergantung pada mereka. Gak usah jauh-jauh. Sebut kedelai bahan tempe. Sekarang tempe jadi mahal karena kita bergantung pada Amerika. Begitu suplai macet jadilah pemicu inflasi. Pemerintah jadi mudah dikendalikan.
Tanah rakyat terserobot dan bahkan riset dari teman saya buktikan ada izin tambang dan perkebunan satu wilayah lebih luas dari wilayah tersebut. Konflik warga dan perkebunan terjadi di mana-mana. Ugal-ugalan bener deh.
Petani kita 74 persen gurem alias hanya buruh tani. Rata-rata kepemilikan lahan hanya 0.33 ha dan tentu tidak cukup untuk menghidupi keluarganya.
Bung Hatta katakan, jangan ekonomi pangkal, yaitu pangan dan energi dijadikan ujung dan ekonomi ujung, yaitu komoditi ekstraktif atau tambang itu yang jadi pangkal.
Tapi peringatan demikian kita langgar dan tak ada gejala perubahan apapun ke arah perbaikan. Kita masuk dalam bayang bayang defisit neraca perdagangan alias yang kita import lebih banyak dari yang kita eksport. Tahun 2018 adalah angka terburuk sejak tiga dekade terakhir. Angkanya 8.57 miliar dolar amerika.
Tambah parah lagi karena importasi ini dipercepat dengan dengan bisnis platform yang di pasar e-commerce hingga 90 persen. Sudah begitu platformnya dikuasai asing dan produknya punya mereka pula.
Jadi lengkap sudah derita. Hidup sehari-hari ibarat jualan di pasar rugi, untuk hidup sehari-hari gali lubang tutup lubang, gali lagi.
Sukarno katakan, hati-hati dengan yang kamu makan karena apa yang kamu makan itu tentukan seberapa daulat kamu.
Kamu, iya kamu. Sebagai generasì penerus bangsa ini mau apa? Mau jadi bayang-bayang terus bangsa lain? Ampun dech! Betul kata Bung Hatta, lebih baik tenggelamkan saja bangsa ini ke dasar lautan kalau hanya jadi bayang- bayang bangsa lain.
*Ketua AKSES ( Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)