Oleh: Dr. Jonas KGD Gobang, S.Fil.,M.A*
Kudeta! Kata atau terminologi ini telah menjadi akrab diperbincangkan publik di tanah air maupun di negara tetangga, Myanmar. Di dalam negeri, perpecahan di Partai Demokrat antara kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) versus Moeldoko.
Moeldoko yang adalah juga jenderal purnawirawan TNI, mantan Panglima TNI di jaman SBY disinyalir oleh kubu AHY yang didukung SBY telah melakukan kudeta melalui KLB. Kudeta dalam partai politik yang terjadi di tanah air ini justru menyita perhatian publik bahkan menyedot energi bangsa di tengah masih merebaknya pandemi Covid-19.
Sementara itu, di Myanmar juga terjadi kudeta. Kudeta di Myanmar adalah kudeta militer yang dilakukan oleh junta militer sejak 1 Februari 2021. Myanmar telah bergabung sebagai anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sejak tahun 1997.
Ketika terjadi kudeta di Myanmar oleh junta militer untuk menjatuhkan pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi, situasi keamanan di kawasan ASEAN seolah “terjebak” dalam kondisi yang tidak stabil. Alih-alih Negara Anggota ASEAN berupaya menciptakan komunitas ASEAN yang damai, stabil, dan sejahtera, justru diperhadapkan dengan kudeta yang dapat memicu perang saudara.
Yang menarik adalah kudeta yang dilakukan di Myanmar juga oleh seorang tentara berpangkat jenderal. Jenderal Min Aung Hlaing.
Uniknya adalah sang jenderal mengakui bahwa apa yang ia lakukan bersama junta militer adalah sebuah kudeta. “Kudeta ini adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Kami harus mengambil keputusan tersebut,” katanya (Tempo.co 9/2/2021 15.05 WIB).
Alasan utama kudeta Myanmar adalah junta militer menuduh pemilu dicurangi setelah kemenangan telak partainya Aung San Suu Kyi. Dan sejak 1 Februari 2021 dini hari, tentara menahan Suu Kyi dan pejabat sipil lainnya.
Pers kemudian memberitakan peralihan kekuasaan kepada Jenderal Min Aung Hlaing yang memberlakukan status darurat nasional selama satu tahun.
Dua Jenderal di Pusaran Kudeta
Konfik yang terjadi dalam tubuh Partai Demokrat telah menjadi perang terbuka yang berujung pada munculnya istilah “kudeta”. Istilah kudeta digaungkan oleh kubu AHY yang menuduh Jenderal Moeldoko telah merencanakan bersama para kader senior Partai Demokrat yang ujungnya telah dipecat sebelum terjadinya KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara, 5 Maret 2021.
KLB Deli Serdang mengafirmasi tuduhan adanya kudeta dalam partai politik berlogo “mercy” itu. Pusaran kudeta partai politik mengarah kepada Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang dulu dipilih SBY sebagai Panglima TNI, tapi saat ini justru menjadi Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang kontra AHY, putra sulung SBY yang pernah berpangkat mayor pada jajaran TNI.
Masing-masing kubu bersikukuh mempertahankan kebenaran dan keabsahannya. Perang terbuka telah terjadi antara pendukung sang jenderal dan pendukung sang mayor, putra Presiden RI ke-6.
Perhatian publik nampaknya bergeser dengan adanya perseteruan di kubu partai politik ini. Suhu politik nasional memanas pasca KLB Deli Serdang.
Konflik ini justru dapat menguras perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap upaya mengatasi pandemi Covid-19.
Situasi kebangsaan di semua lini terutama ekonomi mengalami resesi akibat pandemi Covid-19. Derita rakyat nampaknya diperparah dengan tensi politik yang meningkat manakala terjadi kudeta dalam partai politik di tanah air.
Situasi kudeta dalam partai politik mestinya ada jalan penyelesaiannya. Banyak pihak mengharapkan adanya islah politik antara dua kubu yang bertikai.
Namun keniscayaan islah politik nampaknya harus menunggu waktu yang boleh jadi cukup lama. Para pakar atau pengamat politik dapat meramalkan sampai di ujung manakah “perang” ini akan berakhir.
Yang pasti, publik di tanah air terus bergulat dengan kondisi ekonomi yang kian buruk akibat pandemi Covid-19. Sementara itu energi pemerintah pasti tergerus juga oleh persoalan kudeta partai politik yang melibatkan “orang dalam” pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kudeta lainnya adalah kudeta oleh junta militer di Myanmar yang aktor utamanya adalah seorang jenderal tentara. Jenderal Min Aung Hlaing bersama junta militer Myanmar telah melancarkan serangan kepada warga sipil. Korban pun berjatuhan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, sedikitnya 50 orang tewas tertembak di berbagai unjuk rasa. Selain itu, Asosiasi Narapidana Politik menyebutkan, sudah 1.700 orang ditangkap sejak militer Myanmar melancarkan kudeta pada 1 Februari 2021 (Kompas, Senin 8 Maret 2021).
Stabilitas keamanan di Myanmar mempengaruhi situasi ASEAN manakala junta militer Myanmar tak peduli atas ancaman sanksi internasional maupun juga sanksi dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Bahkan junta militer Myanmar melancarkan negosiasi dengan negara-negara di Barat untuk mendapatkan dukungan atas ancaman sanksi tersebut.
Alasan junta militer Myanmar melakukan kudeta karena pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yakni Aung san Suu Kyi dituduh melakukan kecurangan dalam pemilu dan menjalin hubungan dengan China yang tidak disukai oleh sang jenderal dan junta militer Myanmar.
Pusaran kudeta baik yang terjadi di tanah air maupun kudeta militer yang terjadi di Myanmar sama-sama mengorbankan rakyat. Rakyat yang sedang dilanda berbagai bencana alam dan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang telah berjalan satu tahun ini dan entah sampai kapan berakhir, kembali dibombardir oleh hiruk pikuk perpecahan politik di tubuh partai politik.
Demikian halnya rakyat yang menghadapi kudeta oleh junta militer, pasti menjadi korban ketika mereka melancarkan demonstrasi menolak atau aksi perlawanan atas kudeta tersebut.
Kudeta selalu berkonotasi negatif apa pun alasannya. Baik kudeta politik maupun kudeta militer, keduanya dapat mengorbankan kepentingan rakyat untuk membangun masa depan dan mengupayakan kesejahteraan hidup.
Rakyat biasa selalu berada dalam situasi tidak menentu manakala terjadi kudeta. Benar kata adagium Latin, vulgus vult decipi, rakyat biasa selalu menjadi korban (ditipu)!
*Dosen Komunikasi Politik dan Peneliti Pusat Studi ASEAN Universitas Nusa Nipa