Mbay, Ekorantt.com – Meski hanya kampung kecil dan terlihat sederhana, tetapi Ola Lape merupakan kampung adat yang sangat sakral. Ketika warga kampung melakukan pelanggaran atau pun kesalahan, baik dalam prosesi ritual adat atau melakukan asusila, mereka akan mendapat hukuman dan bahkan dapat mengorbankan jiwa manusia.
Ola Lape adalah kampung adat suku Lape-Penginangan di Kabupaten Nagekeo. Kampung adat ini berada persis di balik Bukit Roe dan Nataia, sekitar 20 kilometer dari pemukiman Penginanga, Kabupaten Nagekeo. Dapat dijangkau dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor, namun butuh waktu berjam-jam untuk tiba di Ola Lape karena harus melalui puluhan bukit, lembah, dan hutan rimba.
Di perkampungan adat Ola Lape terdapat 12 buah rumah adat (Sa’o) dengan model perkampungan bertingkat. Terdapat tiga tingkat dan masing-masing tingkat memiliki tangga batu yang sudah tersusun sejak dahulu kala.
Tingkat pertama terdapat sembilan buah rumah adat, tingkat kedua tardapat satu buah rumah adat dan tingkat ketiga ada dua buah rumah adat. Setiap suku memiliki satu rumah adat atau sa’o. Adapula yang memiliki dua sampai tiga sa’o tergantung banyaknya anggota suku.
Ada tujuh suku yang melakukan ritual adat di Ola Lape di antaranya suku Nakanawe, Roga Wawo, Roga Au, Naka Zeta Wawo, Naka Zale Au, Woe Renge dan Ko.
Saat saya berkunjung dan menyaksikan ritual adat Gua Ru di Ola Lape beberapa waktu lalu, para pemangku adat dan rakyat setempat berpesan agar saya selalu berhati-hati. Ada beberapa tempat larangan yang tidak boleh dilanggar. Konsekuensi pelanggaran jelas akan terjadi korban jiwa.
Baru kali pertama ini saya mengikuti ritual adat yang dinyatakan sangat sakral. Mendengar itu, hati dan batin saya terganggu seketika. Saya ditemani seorang pemuda asal Lape kala itu yaitu Ary Ruto.
Selama perjalanan mereka selalu berpesan agar selalu berhati-hati sebab banyak tempat sakral. Tempat-tempat itu tidak diperbolehkan untuk bertanya ataupun terkejut dengan beberapa benda aneh, sebab akan berakibat fatal.
“Ada beberapa tempat larangan. Tidak boleh dilanggar, nanti ada hal yang tidak baik,” ujar Arry Ruto.
Sebelum memasuki kawasan Kampung Adat Ola Lape terdapat sebuah pintu masuk. Pintu itu hanya sebatang bambu yang melintang dari sebuah pohon dan sebatang kayu di bawahnya. Melalui pintu itu, kepala harus menunduk sedikit agar tidak menyentuh bambu itu. Tujuannya untuk bisa melihat langkah kaki agar tidak terantuk.
Di sekitar pintu terdapat sisa-sisa bambu bakar hasil masak nasi bambu pada upacara sebelumnya. Terdapat juga tangga-tangga batu pada tanah yang tersusun rapi sejak zaman nenek moyang mereka.
Untuk melewati pintu itu harus selalu berhati-hati agar tidak terantuk. Begitu pula pada pintu keluar menuju Kuka–tempat utama ritual Gua Ru–dan beberapa tangga di sekitar perkampungan adat. Jika terantuk segera sampaikan kepada ketua suku atau Mosalaki untuk memohon maaf kepada leluhur.
Menurut kepercayaan suku Lape, di tempat-tempat sakral tersebut hanya bisa memotret. Tidak diperkenankan untuk menanyakan atau merasa heran dengan keadaan sekitar.
Hukum Adat
Bagi pengunjung yang ingin memasuki rumah adat atau sa’o harus diberkati dengan air. Tujuan berkat agar tidak ditegur atau dikutuk oleh nenek moyang. Meskipun tamu yang datang bertujuan baik, tetap harus diberkati oleh salah seorang anggota suku yang berada di dalam rumah.
Pemberkatan bagi orang baru disertai dengan ucapan adat atau Pata oleh salah seorang anggota suku yang akan memberkati. Ungkapan Pata seperti ini:
“Mae be mega ana ebu. Ana ebu nuka demo susu buku nama nete”. Artinya : Leluhur jangan tegur anak cucu. Anak cucu datang untuk bersama di kampung ini.
Pemberkatan itu berlaku di setiap rumah adat khusus bagi pendatang baru yang hendak berkunjung ke setiap rumah adat. Pemberkatan itu adalah kebiasaan sejak zaman dulu. Seperti dalam ajaran umat Nasrani, seorang bayi harus diberkati terlebih dahulu.
Baltasar Gasa, Ketua Suku Naka Zale Au dan Saverinus Papu, Ketua Suku Woe Renge, mengatakan, semua orang yang mengikuti ritual adat di Ola Lape, harus mematuhi hukum adat atau larangan-larangan adat. Larangan itu sudah berlaku sejak zaman nenek moyang dan menjadi kepercayaan suku Lape.
Misalnya, selama prosesi ritual adat berlangsung, perempuan haid tidak diperbolehkan untuk masuk kampung adat. Mereka diperbolehkan berada di sa’o. Kalaupun ingin berkunjung ke sa’o lain harus melewati jalan di luar area perkampungan adat. Kalau larangan ini dilanggar, akan berakibat fatal.
“Tidur bisa di rumah adat tapi kalau saat ritual adat atau berkunjung ke rumah adat, perempuan haid harus berjalan di luar kampung adat,” ujar Baltasar dan Saverinus.
Menurut kepercayaan suku Lape, keberadaan perempuan haid dapat memengaruhi selama proses ritual adat. Bukan saja ritual adat Gua Ru, tetapi ritual adat lain yang berlangsung di Ola Lape, larangan itu berlaku. Untuk itu, perempuan haid agar tidak melanggar hukum adat tersebut karena akan mengakibatkan risiko besar.
Baltasar mengungkapkan, ada beberapa larangan hukum adat lainnya yang masih dianut warga suku Lape, seperti bersin atau batuk pada saat makan bersama atau nalo pada ritual Gua Ru. Menurut aturan hukum adat, pelanggaran itu adalah tanda tidak menghargai nenek moyang mereka.
“Nenek moyang biasa tegur sebab menurut nenek moyang itu tidak menghargai mereka. Teguran itu seperti kecelakaan atau pun hal lain yang merusak fisik,” ujar Baltasar.
Kesakralan perkampungan Ola Lape menunjukkan bahwa warga Lape sendiri atau pendatang baru untuk mematuhi dan menghargai aturan-aturan hukum adat. Hingga saat ini masyarakat meyakini aturan adat tersebut masih berlaku. Terbukti, setelah ada beberapa orang mencoba melanggar aturan adat, mereka mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan fisik.
Meskipun belum ada pembuktian pelanggaran yang besar, masyarakat setempat masih memegang teguh hukum adat. Bagi komunitas suku Lape, adat harus dijunjung tinggi demi harmonisasi antara warga kampung, alam sekitar, dan nenek moyang yang menjaga serta menurunkan mereka.
Tantangan dan Peran Kaum Milenial Lape
Tokoh muda suku Lape, Petrus Nunu Ruto berpendapat bahwa tradisi adat dan istiadat Flores dan Nagekeo khususnya memiliki tantangan yang sangat besar di zaman seperti sekarang ini. Pesatnya perkembangan zaman dimana dengan kecanggihan teknologi serta kecepatan suatu informasi sangat mempengaruhi kehidupan kaum milenial dalam kehidupan yang beradab, tak terkecuali terjadi pada masyarakat adat suku Lape.
Menurut Ary, demikian ia disapa, peran orang muda sangat penting sebab bagaimanapun orang muda ialah agen perubahan untuk melanjutkan tongkat estafet generasi terlebih dalam urusan tradisi.
Dalam tradisi suku Lape, Ary menyarankan agar orang muda terus mengambil peran sekaligus membuka diri untuk menjalin hubungan persaudaraan antar sesama khususnya pada internal suku. Hal ini sangat penting terutama bagi masyarakat adat Lape untuk terus mengangkat kearifan lokal yang sudah diwariskan oleh nenek moyang.
“Orang tua dan anak muda di Suku Lape harus memikirkan secara bersama mengenai ritual serta menghidupkan kembali kearifan lokal yang mana perlahan-lahan digerusi oleh moderenisasi teknologi yang sangat cepat seperti saat ini,” ujar Ary, belum lama ini.
Untuk kepentingan para gererasi dalam kehidupan selanjutnya mengenai kearifan lokal serta ritual adat, lanjut Ary, perlu ada pendidikan kontekstual secara informal yang diterapkan dengan pendidikan muatan lokal. Di sekolah-sekolah, pemerintah mestinya mendorong pengetahuan muatan lokal untuk generasi sesuai karakteristik daerah masing-masing seperti tradisi Etu (tinju adat) dan ritual adat yang lain.
“Pemuda mesti secara aktif terlibat dalam ritual karena ini pun menjadi kearifan lokal mengenai jati diri orang dan suku. Orang muda harus mengambil peran untuk menggantikan posisi tetua adat,” tandasnya.
Ary juga menyarankan kepada para orang tua agar mendorong secara nyata untuk anak muda untuk mengambil peran sesuai dengan kemampuan serta dengan hak dan tanggung jawab moral dalam suatu tradisi adat yang sakral. Hal itu dimaksud agar orang muda juga bisa menarasikan ritual secara baik untuk bisa menjadi refrensi tentang tradisi adat dan istiadat.
“Tanggung jawab orang muda sangat diperlukan dan harus mengubah mindset bahwa masyarakat adat tidak saja menjaga ulayat tetapi turut menjaga kearifan lokal sebagaimana aset lokal dan itu merupakan jati diri dari masing-masing komunitas adat,” tutur Ary.
Dari sisi pariwisata, ekonomi dan perkembangan zaman, Ary menjelaskan bahwa pemerintah telah menetapkan Labuan Bajo sebagai akses masuk pariwisata di NTT dan wilayah Flores khususnya. Tak terkecuali, dari sisi tradisi dan keberadaban suku Lape juga berperan serta mengambil bagian dan menjaga dan melestarikan kearifan lokal sebagai kekayaan daerah Lape.
“Kita tahu bahwa Labuan Bajo sudah membuka akses untuk wisata lainnya termasuk untuk wilayah kita di Lape. Oleh karena itu peran pemuda sangat penting untuk keberlanjutan eksistensi kearifan lokal, keberadaban dan pariwisata,” ujar Ary dengan harapan agar masyarakat adat suku Lape bersinergi dengan pemerintah dalam upaya menjaga kearifan lokal.
Sustainable Tourism
Kepala Bidang Pemasaran dan Promosi pada Dinas Pariwasata Nagekeo Edy Due Woi menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Nagekeo telah menyiapkan grand desain pada bidang pariwisata di wilayah setempat. Kampung adat Ola Lape merupakan salah satu tempat yang telah direncanakan pemerintah pada masa-masa yang akan datang.
Edy Due menyatakan bahwa Ola Lape ialah suatu kampung adat yang oleh suku Lape untuk menjalankan ritual adat khususnya. Kampung itu hanya bisa berjalan kaki atau tracking di puncak Nggegedhawe. Mengenai aksesbilitas ke Kampung Ola Lape, kata dia, memang belum direncanakan oleh pemerintah karena sedang menjaga keaslian kampung tersebut.
Sebab, konsep pariwisata Nagekeo saat ini ialah sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan. Bahwa yang akan diperhatikan dan dilestarikan keaslian sehingga, akses jalan ialah masih dipertimbangkan.
“Bukan tidak mau bangun (akses jalan), tapi kita masih melihat konsep pembangunan yang model seperti apa begitu, dengan maksud agar tidak menganggu kegiatan ritual adat masyarakat. Kan, kita mau lestarikan maka grand desain aksesbilitas itu mesti direncanakan secara baik,” katanya.
Ia menjelaskan terdapat beberapa kampung adat di Nagekeo yang hingga saat ini pemerintah sedang memikirkan konsep untuk melestarikan kekhasan dan menjaga keaslian seperti sedia kala. Sebab, konsep dasar pemerintah pada prinsipnya kawasan wisata yang masuk dalam wisata keberlanjutan tetap menjadi prioritas untuk menjaga keaslian daerah agar tidak mudah dipengaruhi oleh tradisi dan budaya dari luar.
“Kita membutuhkan assesment misalnya, kita bangun jalan yang bagus mulai dan sampai dimana, kemudian yang harus kita jangan bangun dan kita jaga itu di bagian mana. Jadi kita butuh assesment sebenarnya, tidak serta merta kita bangunan. Kita tidak ingin pembangunan yang menganggu kearifan lokal yang sudah turun temurun dijaga,” ungkap Edy.
Ian Bala