Maumere, Ekorantt.com – Agustinus Nukak, 37 tahun, menghisap sebatang rokok yang terselip di antara jemarinya. Ia bahagia karena ulang tahunnya kali ini meriah, berbeda dengan tahun-tahun sebelum yang tak pernah dirayakan. Tidak hanya dihadiri kawula muda di Magepanda, hari jadinya itu diramaikan dengan alunan musik kampung.
Petikan ukulele, dentuman bas yang dipukul, ditambah ritmisnya bunyi drum meramaikan suasana. Para pemain musik yang juga sekaligus penyanyi mendendangkan lagu-lagu khas daerah Sikka yang rencak penuh semangat. Tamu yang duduk meriung di sekitar tedang pun ikut bergoyang.
Suasana semakin hangat ketika Gusti, begitu dirinya kerap disapa, menuangkan moke pada gelas bening berukuran kecil untuk diteguk secara bergilir. Semua tamu mendapat jatah untuk menenggak moke. Semakin banyak moke ditenggak, semakin para pemain musik kampung penuh gairah.
Hari itu, 18 Agustus 2019, musik kampung dan lima liter moke Maumere membalut kehangatan ulang tahun. Gusti girang bukan main karena sangat jarang orang memainkan musik kampung saat hajatan ulang tahun. Itu tentu menjadi semacam “keunggulan komparatif” ulang tahunnya manakala dibandingkan dengan ulang tahun kawan sebayanya.
“Tidak pernah buat acara. Tapi satu kali buat langsung ada musik kampung,” ucap Gusti dengan bangga.
Grup musik kampung di acara ulang tahun Gusti tak punya nama. Tapi musik kampung itu sendiri sudah fenomenal. Grup musik kampung menjamur di seluruh penjuru Kabupaten Sikka. Ada yang digawangi oleh anak-anak usia sekolah. Ada pula yang dimainkan oleh kawula muda. Tak ketinggalan orang tua.
Semisal grup musik kampung Tana Duen Junior. Diinisiasi oleh Yoseph Lidi sejak awal tahun 2021, anggota grup musik kampung ini adalah anak-anak usia sekolah.
Yoseph menuturkan, semula ia terinspirasi dengan grup musik kampung dewasa di Desa Tana Duen. Beberapa anak, termasuk anaknya, kecipratan bakat bermain musik kampung. Dirinya berpikir, “apa salahnya kalau saya buat grup sendiri untuk mereka.”
“Tergerak hati saya bahwa di Tana Duen sudah ada musik kampung dewasa. Saya lalu berpikir kalau begitu saya harus bentuk satu grup musik khusus untuk anak-anak,” imbuhnya.
Lantas Yoseph membuat alat musik pendukung seperti ukulele, bas, dan gendang. Lalu mengajak beberapa anak untuk memainkan alat musik yang telah ia siapkan. Hingga sekarang grup musik kampung Tana Duen Junior memiliki 10 personel, tujuh orang laki-laki dan tiga perempuan.
“Mereka semua ini masih dibangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ada yang dari SMP Ili, SMP Nubuarat, dan SMP Tampil Maumere. Mereka semua masih kelas satu, dua, dan tiga,” sebutnya.
Menurut Yoseph, kesepuluh personel grup musik kampung Tana Duen Junior pandai memainkan semua alat musik. Itu berkat latihan yang terus menerus.
“Setiap hari minggu wajib latihan. Kadang setiap hari libur ada anak-anak yang datang latihan. Untuk alat musik, yang mereka gunakan ini mulai dari drum yang terbuat dari ember matex bekas. Tam-tamnya dari dandang bekas. Ukulele dan bas dari kayu bekas dan giring-giring dari kaleng bekas,” kata Yoseph.
Dengan alat musik yang ada, sebut Yoseph, anak-anak biasa mengiringi dan menyanyikan lagu daerah Sikka dan lagu dari daerah lain. Mereka juga punya single berjudul Ami Ata Nukak yang diciptakan oleh seorang nenek asal desa setempat.
Walaupun terbilang baru, Musik Kampung Tana Duen Junior sering tampil di pesta nikah, ulang tahun anak-anak, dan ulang tahun instansi pemerintah. “Anak-anak sudah pentas di beberapa kegiatan seperti pada saat hari ulang tahun Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sikka. Banyak juga undangan untuk pentas di acara pesta sambut baru. Tetapi karena kondisi pandemi Covid-19 ini semua acara dibatalkan,” ujarnya.
Grup musik besutannya ini sempat viral beberapa waktu lalu hingga menyita perhatian musisi nasional, Adi M.S. Komponis sekaligus produser berdarah Sunda ini memberi mereka dana untuk membeli alat musik. Selain Adi M.S, mereka juga mendapatkan suntikan dana dari Bank NTT dan Kejari Sikka.
Menurut Yoseph, anak-anak harus dimotivasi untuk melestarikan musik kampung. Diakuinya pula, melatih anak-anak gampang-gampang sulit. Namun, dirinya tetap semangat karena terdorong untuk melestarikan musik tradisional.
Yoseph senang karena mendapat dukungan dari para orang tua. Mereka sangat antusias. Orang tua sangat bahagia apabila anaknya lincah bermain musik kampung.
“Saat pandemi anak-anak tidak sekolah. Mereka punya banyak waktu untuk bermain. Saya juga minta mereka latihan daripada keluyuran sembarang. Syukurnya orang tua sangat mendukung,” ucapnya.
Bukan sekadar penghias acara
Salah satu grup musik kampung di Kabupaten Sikka yang lagi naik daun adalah Leis Plang. Namanya cukup terkenal di kalangan penikmat musik tradisi. Leis Plang terbentuk pada 26 Oktober 2017 oleh Erik Bagoestz.
Salah satu punggawa Leis Plang, Robertus Kordibus Kedo, atau yang akrab disapa Obeth, kepada Ekora NTT pada Sabtu (13/3/2021) menuturkan, nama Leis Plang lahir karena spontanitas. Tiba-tiba muncul dengan sendirinya. Para personelnya pun betah dengan nama tersebut hingga dikenal banyak orang.
“Leis Plang artinya papan bunga pada sebuah bangunan rumah. Hal kecil yang membuat indah rumah. Jadi, interpretasi Leis Plang dari kami adalah penghias acara, memperindah acara,” jelas Obeth.
Leis Plang kerap nongol di berbagai acara. Dari acara pernikahan, tahbisan hingga acara formal pemerintah. Soal prestasi, Leis Plang sempat menyabet penghargaan juara I dalam festival musik kampung yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Sikka. Bahkan pernah menjuarai festival musik tingkat nasional.
Tampil di berbagai acara bukan berarti Leis Plang kehilangan orientasi. Malahan dengan banyak kesempatan tampil, orang bisa mengenal musik tradisional. Sedari awal Leis Plang hadir untuk melestarikan musik lokal, urai Obeth.
Dengan paduan alat musik seperti bas teren, ukulele, banjo atau benyol, djembe, biola, sato, gong waning, dan tamborin, para punggawa Leis Plang bisa memainkan lagu Sikka zaman dulu dan juga lagu zaman now.
Agar dikenal luas, Leis Plang memanfaatkan kanal Youtube untuk berbagi video lagu. Alhasil, di tangan anak-anak muda Leis Plang, musik dan lagu tradisional hadir dalam nuansa baru sekaligus tak kehilangan jati diri. Tampil kekinian sekaligus menggendong kearifan lokal yang sarat makna.
“Kami juga sudah ada dua lagu orisinal di Youtube yaitu Cinta 1/2 Gila dan Gong Waning. Beberapa lagu orisinal sedang dalam tahap rekaman. Kadang kami juga main lagu-lagu mancanegara seperti, reggae, rock n roll, dan lagu barat lainnya,” kata Obeth.
Kemajuan Budaya
Fenomena musik kampung mendapat perhatian khusus dari seniman asal Kabupaten Sikka, Nyong Franco. Awal Maret 2021 lalu, Ekora NTT mendatangi kediamannya dan berbincang tentang musik kampung.
Di awal perbincangan, Nyong, begitu dirinya disapa, langsung mengingatkan bahwa pemahamannya tentang musik kampung mengacu pada pengalaman, dari apa yang ia alami dan rasakan. Bisa saja berbeda dengan orang yang lain. Pemahaman itu otomatis bukan yang paling benar. Ruang diskusi terbuka lebar.
“Ini menjadi bagian dari kemajuan dan pekermbangan budaya kita,” ujarnya.
Menurutnya, ada dua hal penting ketika kita bicara musik kampung. Pertama, sejarah musik kampung itu sendiri. Lalu kedua, seperti apa definisi musik kampung.
Penyebutan musik kampung, kata Nyong, kemungkinan di atas tahun 2005, bahkan mungkin lebih ke sini. Sebelumnya istilah musik kampung jarang terdengar. Pada awal tahun tahun 1980-an ada penyebutan “band orkes”.
“Musik kampung jadi satu tren musik yang saya dengar beberapa tahun terkahir ini. Dulu disebut band orkes untuk penyebutan sekelompok orang yang memainkan beberapa alat musik sederhana seperti musik kampung sekarang. Kalau ada pesta, biasa pakai band orkes. Berarti, itu kita goyang sampai pagi,” tutur Nyong.
Jika dirunut dalam lintasan waktu, musik kampung merupakan musik yang lahir kemudian dibandingkan dengan jenis musik lain di Kabupaten Sikka. Belum ada riset yang mendalam tentang kapan persis musik kampung itu lahir.
Penting juga, imbuh Nyong, bagaimana kita mendefinisikan musik kampung. Definisi itu kemudian menjadi pegangan. Kira-kira apa yang membedakan musik kampung dengan jenis musik lainnya.
“Di sini, kita lihat musik kampung itu tidak mungkin ada tanpa bas teren. Musik kampung itu tidak ada tanpa ukulele. Itu dua alat yang saya lihat kuat sekali. Kalau musik kampung tanpa gitar masih bisa, karena ada ukulele. Musik kampung tanpa gendang pun bisa, karena pukulan bas itu sudah ada bunyi seperti gendang,” jelasnya.
Nyong menyimpulkan bahwa musik kampung adalah jenis musik yang dimainkan oleh beberapa orang, dalam hal ini minimal tiga orang atau lebih, yang memainkan alat musik berupa ukulele dan bas teren.
“Selebihnya itu adalah kretiativitas. Menambahkan gitar, gendang, tamborin, biola, dan seterusnya. Semakin banyak, semakin kaya, semakin keren,” jelasnya.
Nyong kemudian menjelaskan dua alat musik utama dalam musik kampung yakni ukulele dan bas teren. Ukulele sangat dekat dengan alat musik Amerika Latin. Biasa disebut juk. Sementara, bas teren itu adalah alat musik yang terdiri dari satu dawai senar, yang dibentangkan di sebuah boks. Bentuknya mirip gitar string bass di Eropa. Berbeda dengan gitar string, cara memainkan bas teren adalah dengan memukul senar.
“Bas teren lebih sederhana dari gitar string bas,” kata Nyong.
Ia kemudian meminta kita untuk jujur bahwa beberapa alat musik dalam musik kampung memiliki kedekatan dan mirip dengan alat musik dari luar, bahkan mungkin saja ‘meniru’ alat musik luar. Tapi mesti ditegaskan bahwa ritme dan pola bermain musik kampung sangat khas.
“Budaya selalu berkembang. Ini kemajuan budaya yang bagus. Produk budaya kita, terlepas dari alat-alatnya dibuat mirip dengan alat musik dari luar,” tandasnya.
Nyong tak mempermasahkan istilah musik kampung. Malah baginya, isitilah ini lebih keren. Dibilang kampung karena menggambarkan alat-alatnya sederhana.
Riset Kebudayaan
Nyong akhirnya mengusulkan agar pemerintah melakukan riset kebudayaan tentang musik kampung. Riset ini penting untuk menggali kekayaan budaya yang terkandung dalam musik kampung. Selanjutnya, diklaim sebagai musik lokal khas Kabupaten Sikka.
“Ini adalah adalah satu kekayaan. Semua kebudayaan, semua kesenian itu kekayaan. Kekayaan intelektual. Beda dengan tambang, kekayaan intelektual tidak akan habis. Kita jarang menggali ini,” kata Nyong.
Sementara, Kabid Kebudayaan Dinas Parbud Kabupaten Sikka, Indah Parera mengatakan, pemerintah pada prinsipnya mendukung pengembangan musik kampung. Hal ini dilakukan dengan menyelenggarakan event yang melibatkan para seniman musik kampung.
Petrus Popi & Irenius J. A Sagur