Menutup Hari di Tangga Alam Ende

Ende, Ekorantt.com – Tidak sedikit orang berwisata di Tangga Alam, kawasan wisata di gugus selatan, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Letaknya sekitar lima kilometer dari Kota Ende menuju ke Kampung Wisata Wolotopo.

Oleh warga setempat, kawasan itu dipercayai sebagai tempat berdaya sihir atau magic dalam waktu-waktu tertentu. Meski stigma negatif itu terus beredar, ternyata masih banyak orang yang tak urung untuk berkunjung ke tempat wisata pantai itu.

Suasana alam dengan tebing batu dan hamparan pasir hitam ala pantai selatan menjadi magnet bagi setiap wisatawan yang kebetulan ingin menutupi hari-hari mereka.

Jika hendak ke sana, anda tentu saja tidak hanya sekadar menikmati suasana pantai dengan latar belakang Gunung Meja. Anda juga akan ditawari olahan makanan pangan lokal buatan warga setempat. Ada jagung rebus, kelapa muda, serta varian pangan lokal yang dihidang secara sederhana.

Paduan makanan lokal, suasana alam ala pantai serta semburat matahari yang berlahan turun mencium cakrawala gugus selatan dari tempat wisata Tangga Alam menjadi penutup hari anda yang tepat. Belum lagi suasana pernak pernik lampu kota pada petang hari membuat Tangga Alam yang semulanya tempat magic menjadi wisata malam yang tenang.

Laris Saat Pandemi

Hanya kira-kira butuh waktu 10 menit jarak tempuh dari Kota Ende menuju kawasan wisata Tangga Alam, menyebelah Pantai Mbu’u Ende. Di sana, nampak terjejer lapak-lapak pada sisi kiri jalan arah Wolotopo.

Terdapat tujuh bangunan lapak yang terbuat dari bambu berjejer di bawah tebing batu Tangga Alam. Lapak itu milik Yusak Lawa, warga Desa Wolotopo, Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende. Ia bersama istrinya berjualan di situ setiap hari.

Menu makanan ala kadar yang disiapkan Yusak dan istrinya berupa jagung rebus, pisang bakar, dan pisang rebus. Kemudian ada juga air kelapa muda dan ikan asin sebagai lauk yang cukup membuat lidah merindu.

“Silahkan dinikmati kakak,” kata Om Yusak yang mencoba menawari saya empat buah jagung rebus. Saya mengangguk tanda setuju. Saya pun lantas memancing Om Yusak untuk berbincang-bincang sambil menikmati hidangan itu.

Ia bercerita bahwa usahanya itu dimulai sejak tiga tahun lalu. Walau diterjang pandemi Covid-19 dua tahun belakangan, Yusak mengaku bertahan menekuni usahanya.

Yusak mengakui, setiap hari banyak pengunjung selalu menikmati menu yang sama di lapak-lapak jualan miliknya, terutama pada waktu sore hari.

“Ini sudah jadi pekerjaan saya kae [kakak]. Memang sejak pandemi Covid-19, pengunjung agak kurang. Tapi kita tetap buka setiap hari, ya modal kita baik saja kae dengan pengunjung. Pasti mereka mau datang lagi,” kata Yusak.

Pasokan kelapa muda dan jagung muda ia beli dari petani di Ndona. Sehari bisa 50 hingga 100 buah jagung rebus terjual. Rata-rata per hari Yusak mendapatkan penghasilan bersih 100 ribu rupiah hingga 150 ribu rupiah.

“Kalau hari Minggu ramai kae. Yah, bisa dua kali lipat dari hari biasanya. Mereka selain datang makan jagung rebus juga menikmati pemandangam Pantai Mbu’u dan Kota Ende dari arah Selatan” kisah Yusak.

Dirinya berharap, suatu saat pemerintah dapat menjawab permohonannya untuk memasang meteran listrik di lesehan miliknya itu.

“Saya ingin buka juga sampai malam. Tapi di sini listrik belum ada. Saya sudah ajukan ke PLN tapi belum ada jawaban,” keluh dia.

Hampir satu jam saya menikmati sejuknya suasana Tangga Alam bersama Om Yusak. Beberapa pengendara menepi. Mereka memesan jagung rebus, Om Yusak pun harus meninggalkan saya lalu melayani mereka.

Sesegara mungkin saya pamit. “Hati-hati kae,” pesan Om Yusak terdengar saat saya meninggalkan lapak Tangga Alam.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA