Utak-Atik Zonasi untuk Investasi di Taman Nasional Komodo

Oleh: Venansius Haryanto

Respon pemerintah yang selalu saja berdalih pada zona pemanfaatan untuk membela investasi perusahaan-perusahaan swasta di Taman Nasional Komodo (TN Komodo) tidak dapat dibenarkan begitu saja atas nama pembangunan yang telah mematuhi prosedur regulasi.

Pasalnya, selain karena pertimbangan dasar soal dampak buruk investasi bagi ruang hidup alami satwa Komodo, bukti-bukti juga dengan jelas menunjukkan bahwa perubahan zonasi di TN Komodo dilakukan dalam rangka semakin membuka karpet merah bagi investasi perusahaan-perusahaan swasta.

Dalih Zona Pemanfaatan

Pemerintah terus berdalih pada aturan zona pemanfaatan untuk membendung gelombang protes publik melawan investasi perusahaan-perusahaan swasta di TN Komodo. Pemerintah selalu saja beralasan bahwa investasi perusahaan-perusahaan tersebut telah sesuai dengan Permen KLHK No. 36 No. 2010 yang mengizinkan setiap badan usaha atau koperasi untuk melakukan bisnis pariwisata alam dengan memanfaatkan zona pemanfaatan di dalam kawasan Taman Nasional.

Merespon penolakan publik atas pembangunan resort eksklusif oleh PT Sagara Komodo Lestari (SKL) di Pulau Rinca dan PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar dan Komodo pada tahun 2018, Dirjen KSDAE Wiratno berasalan bahwa pembangunan tersebut telah sesuai dengan prosedur konservasi, sebab dilakukan di atas zona pemanfaatan.[1] Senada dengan Dirjen, David Makes, pemilik PT Sagara Komodo Lestari yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Percepatan Ekowisata Nasional Kemenparekraf juga mengklaim bahwa izin penyediaan sarana wisata alam oleh perusahaan miliknya telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang sah.[2]

Tidak hanya itu,  aturan zona pemanfaatan juga digunakan oleh pemerintah untuk membenarkan pembangunan sarana-prasarana pariwisata dengan pendanaan APBN di TN Komodo. Terkait pembangunan jurrasic park di Pulau Rinca, Wiratno mengatakan bahwa pengembangan sarana itu sangat dibatasi hanya pada zona pemanfaatan.[3] Senada dengan itu, Direktur Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores, Shana Fatina juga mengklaim  bahwa pembangunan itu telah dilakukan sesuai dengan aturan karena dilakukan di kawasan khusus yaitu zona pemanfaatan yang tidak mengganggu ekosistem.[4]

Utak-Atik Zonasi

Kendati demikian, publik terus memprotes kebijakan pemerintah yang membuka karpet merah bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk berinvestasi di TN Komodo. Selain karena alasan mendasar soal dampak buruk investasi tersebut bagi keberlangsungan ekosistem alami satwa Komodo, publik juga sejak awal mendeteksi bahwa perubahan zonasi di TN Komodo beberapa kali dilakukan demi memuluskan investasi perusahaan-perusahaan swasta.

Pulau Padar dan Pulau Tatawa adalah dua kasus yang secara jelas menunjukkan bagaimana perubahan zonasi dilakukan dalam rangka memuluskan investasi PT KWE dan PT Synergindo Niagatama (SN).

Sebelum 2012, diketahui bahwa Pulau Padar hanya terdiri dari zona inti dan zona rimba. Perubahan signifikan terjadi ketika pada tahun 2012  pihak KLHK melalui SK No. SK.21/IV-SET/2012 mengkonversi 303,9 hektar lahan di Pulau itu menjadi zona pemanfaatan wisata darat. Berdasarkan desain tapak, zona pemanfaatan ini dibagi  menjadi 275 hektar untuk ruang usaha dan 28,9 hektar untuk ruang wisata publik. Dua tahun setelah itu, tepat pada September 2014, KLHK menerbitkan perizinan bagi PT KWE di Pulau Padar. 274,13 hektar dari total 275 hektar ruang usaha diserahkan kepada PT itu untuk dibangun resort-resort ekslusif. Hingga sekarang PT KWE belum mulai membangun, karena gelombang perlawanan publik.

Kasus di Pulau Tatawa lebih menarik lagi. Pemerintah tercatat dua kali melakukan perubahan zonasi di Pulau itu untuk memuluskan investasi PT SN. Pada tahun 2001, Pulau Tatawa tercatat sebagai Zona Rimba. Perubahan zonasi mulai terjadi ketika pada tahun 2012,  melalui SK No. SK.21/IV-SET/2012, pihak KLHK mengkonversi 20,944 hektar lahan di Pulau itu menjadi zona pemanfaatan wisata darat. Lalu berdasarkan desain tapak, zona pemanfaatan ini dibagi menjadi 14,454 untuk ruang publik dan 6,490 untuk ruang usaha.

Pada tahun 2014, PT SN mendapat konsensi di Pulau Tatawa dan berhak membangun bisnis pariwisata di atas lahan seluas 6,490 hektar. Itu berarti seluruh ruang usaha pada zona pemanfaatan di Pulau ini dikuasai oleh PT SN.

Tak lama setelah itu, tepat pada tahun 2018, melalui Keputusan Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi No: SK. 38/PJLHK/PJLWA/KSA.3/7/2018, pemerintah merevisi desain tapak zona pemanfaatan. Revisi desain tapak ini secara signifikan memperkecil ruang publik  dengan hanya hanya 3,447 hektar, dan memperluas ruang usaha menjadi 17,497 hektar. Tepat pada April 2020, KLHK menerbitkan ulang izin usaha PT SN. Sebanyak 15,32 hektar dari total ruang usaha dikuasai oleh PT Synergindo Niagatama.

Utak-atik zonasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo untuk tujuaan investasi tampaknya akan lebih masif lagi dalam beberapa tahun ke depan. Ini dipicu oleh penetapan Labuan Bajo dan sekitarnya sebagai apa yang disebut dengan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Melalui kebijakan ini Taman Nasional Komodo ditargetkan sebagai  sebagai episentrum investasi pariwisata super-premium.

*Penulis adalah Peneliti  Sunspirit for Justice and Peace

[1] https://travel.kompas.com/read/2018/08/10/171900827/klhk–pembangunan-di-tn-komodo-sesuai-prosedur-konservasi?page=all.

[2] https://majalah.tempo.co/read/investigasi/162248/wawancara-dengan-david-makes-pengelola-wisata-komodo-pulau-rinca

[3] https://www.kedaipena.com/polemik-pembangunan-sarpras-wisata-di-pulau-rinca-wiratno-pastikan-hanya-di-zona-pemanfaatan/

[4] https://www.tempo.co/abc/5969/komodo-adalah-saudara-kami-penolakan-pembangunan-jurassic-park-di-pulau-komodo

spot_img
TERKINI
BACA JUGA