Jakarta, Ekorantt.com – Profesor Emeritus Drew McDaniel dari Universitas Ohio mengatakan bahwa kultur dalam sebuah ruang redaksi (newsroom) tidak bisa dipisahkan dengan kultur yang ada dalam masyarakat. Jika ingin mengubah kultur pada sebuah ruang redaksi, harus juga berupaya mengubah kultur dalam masyarakat.
Hal ini disampaikan McDaniel dalam acara Peluncuran Hasil Riset dan Diskusi: Perjalanan Rollercoaster Kepemimpinan Perempuan di Media-Mendobrak Stigma, Mendorong Kuasa, yang diselenggarakan secara daring oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Senin (25/10/2021).
“Di banyak organisasi, posisi manajer cenderung diberikan kepada laki-laki, dan bukan perempuan. Ini karena pengaruh kultur di luar organisasi tersebut,” jelas McDaniel seperti dikutip siaran pers PPMN yang diterima Ekora NTT, Senin malam.
Penjelasan McDaniel tersebut menguatkan hasil riset yang dirilis oleh PPMN pada Senin (25/10). Riset yang dilakukan PPMN dengan dukungan Kedutaan Besar Belanda itu menemukan bahwa setidaknya ada enam hambatan kepemimpinan perempuan di media. Pertama, hambatan sosial budaya. Kedua, hambatan kondisi struktur organisasi. Ketiga, hambatan yang berkaitan dengan proses internal organisasi. Keempat, hambatan personal yang berkaitan dengan latar belakang individu. Kelima, hambatan personal yang berkaitan dengan soft skill yang dimiliki individu. Keenam, hambatan personal yang berkaitan dengan rencana karir individu.
“Pola-pola hambatan pada kepemimpinan perempuan menempatkan hambatan di level organisasi sebagai hambatan utama, diikuti dengan hambatan individu, dan sosial budaya,” papar Ketua Tim Peneliti Associate Professor Ika Idris dari Monash University Indonesia.
Selain McDdaniel dan Ika Idris, hadir dalam diskusi tersebut Redaktur Senior Harian Kompas Ninuk Pambudy; Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika; dan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.
Hadir juga Pemimpin Redaksi Radar Selatan Sunarti Sain dan Pemimpin Redaksi Solopos Media Group Rini Yustiningsih yang memberikan kesaksiannya terkait hambatan yang mereka hadapi sebagai pemimpin perempuan dalam ranah jurnalistik.
Tampil sebagai moderator dalam kegiatan itu, Yulia Supadmo, pemimpin redaksi RTV.
Dalam acara tersebut, Direktur Eksekutif PPMN Eni Mulia secara resmi mengumumkan bahwa hasil riset bisa diakses melalui website PPMN.
Kepala Departemen Politik Kedutaan Belanda, Roel Van der Veen, dalam sambutannya menyatakan dukungannya terhadap PPMN untuk melakukan kajian perempuan dan media.
“Jurnalis perempuan mengalami pandangan negatif terkait dengan pekerjaan di media. Kombinasi dari pengetahuan dari pengalaman bisa memastikan kepemimpinan perempuan dan reprentasi perempuan. Perubahan harus terjadi di masyarakat dan media mempunyai kekuatan untuk mendorong perubahan itu,” sebutnya.
Riset berjudul Gambaran dan Tantangan Pemimpin Perempuan di Media di Indonesia tersebut melibatkan 258 jurnalis perempuan dari 118 organisasi media di 30 provinsi sebagai responden.
Penelitian yang berlangsung sejak Maret-Mei 2021 ini menggabungkan metode penelitian kuantitatif (survei) dan kualitatif (autoetnografi dan focus group discussion/FGD).
Metode autoetnografi melibatkan tujuh perempuan yang menjadi pimpinan media massa, dimana selama 5-12 minggu mereka terlibat menuliskan jurnal refleksi pengalaman mereka sebagai jurnalis.
Ika mengungkapkan bahwa semua riset di Indonesia dalam konteks kepemimpinan perempuan di media mengadopsi dua pendekatan glass ceilling dan labyrinth. Hasil riset ini menunjukkan bahwa kedua metafora tersebut kurang tepat dalam menggambarkan kondisi di Indonesia.
Ia mengatakan hasil riset ini menyebutkan perjalanan jurnalis perempuan di media massa Indonesia lebih tepat digambarkan dengan metafora rollercoaster atau kereta luncur. Di mana awalnya landai, dia banyak bergulat dengan hambatan personalnya di awal karir lalu posisi itu akan semakin tinggi dan memacu adrenalin.
Ninuk Pambudy mengapresiasi hasil riset tersebut dan menyebut bahwa “ini adalah penelitian pertama di Indonesia tentang perempuan jurnalis yang melibatkan responden dalam jumlah besar.”
Terkait tantangan kepemimpinan perempuan di media, Ninuk menyebut ada tantangan eksternal dan internal. “Tidak semua perempuan menyadari ada masalah di kesetaraan gender. Ada perasaaan saya bisa, kenapa dia tidak bisa?” ujarnya.
Sementara Wahyu Dhyatmika mengatakan, untuk mengurai persoalan perempuan di media, harus melihat seluruh sistem.
“Kami di AMSI berusaha memberi ruang sensitive gender. Kami berusaha setiap kegiatan AMSI harus ada perempuan sebagai bicara. Namun dalam kebijakan kami sedang membuat media berpihak pada perempuan dan kelompok termarjinalkan,” katanya.
Sementara itu Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyebut bahwa riset ini sangat penting untuk memahami lapis demi lapis persoalan yang dihadapi perempuan, bukan hanya di ruang media, tetapi juga di ruang-ruang lainnya.
“Beberapa faktor yang dihadapi dalam kepemimpinan media juga dialami oleh para pembela HAM. Ini adalah kesempatan menguatkan kapasitas. Pada saat bersamaan riset ini juga punya keterhubungan pada yang dihadapi oleh perempuan di sektor-sektor lain,” katanya.
Rosis Adir