Oleh: Suroto
Belum lama ini telah dilakukan penggerebekan dan penutupan kantor pinjaman online (pinjol) yang tak berizin alias ilegal. Mereka ditutup karena sudah cukup meresahkan terutama soal tingkat suku bunga pinjaman dan cara menagih hutangnya yang intimidatif.
Tapi praktik ilegal yang lebih dahsyat lagi namun dibiarkan oleh pemerintah di lapangan sebetulnya adalah rentenir baju koperasi simpan pinjam. Bahkan terlihat sengaja “dipelihara”.
Koperasi ini memperlakukan anggotanya hanya sebagai nasabah bukan pemilik. Praktiknya secara administratif “dicalon anggotakan ” seumur hidup. Tidak ada pendidikan koperasi bagi anggotanya agar mereka tidak tahu hak dan tanggung jawabnya.
Bunga pinjaman koperasi simpan pinjam abal-abal tersebut di lapangan juga mencekik. Angkanya dari 20 hingga 30 persen per bulan. Cara menagihnya juga gunakan jasa “debt colector” yang intimidatif.
Sasaran dari koperasi abal-abal tersebut adalah buruh kecil, pedagang kecil, dan perajin kecil, nelayan kecil, petani kecil dan buruh tani. Mereka yang dalam posisi lemah dan tidak punya posisi tawar.
Bank-bank umum milik pemerintah bahkan ikut menjalin kerja sama. Mereka menganggapnya sebagai hubungan pembinaan dan kemitraan.
Pembubaran
Kementerian Koperasi dan UKM dalam kepemimpinan A.A G Puspayoga pernah berupaya untuk membekukan koperasi abal-abal itu hingga 62 ribu koperasi. Tapi sepertinya upaya untuk membersihkan citra koperasi dari praktik koperasi abal-abal semacam ini tidak diteruskan oleh Menteri Teten Masduki.
Akhir-akhir ini, bahkan praktik jual beli badan hukum koperasi bahkan sempat menyeruak namun Kementerian Koperasi dan UKM tetap tak bergeming. Sesuatu yang sudah keluar dari nilai dan prinsip koperasi sebagaimana direkognisi di Undang Undang (UU) Perkoperasian dan Kementerian Koperasi dan UKM jadi kehilangan fungsinya, sebagai avant garda bagi kepentingan publik.
Kementerian Koperasi dan UKM sebetulnya memiliki otoritas untuk membubarkan koperasi abal-abal ini. Bahkan diatur di tingkat UU dan sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) hingga tingkat Peraturan Menteri (Permen).
Pembubaran oleh pemerintah di atur dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 46 hingga 56. Disebutkan secara tegas bahwa pemerintah dapat membubarkan koperasi karena melanggar UU Perkoperasian, melanggar ketertiban umum, dan atau karena tak bisa diharapkan lagi keberlanjutannya. Lebih operasional diatur dalam PP No. 17 Tahun 1994 dan Permen No. 9 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan dan Pembinaan Koperasi.
Semua peraturan yang dibuat itu menguap jadi macan kertas dan potensi jadi moral hazard. Sangat disayangkan, mengingat Menteri Teten Masduki ini berlatar belakang sebagai aktivis anti korupsi.
Menutup beberapa gelintir pinjol sifatnya hanya menyelesaikan masalah permukaannya atau masalah simtomik dari praktik pemerasan rakyat kecil oleh mereka para pemilik modal dan elit politik. Tapi akar masalah sebenarnya belum tersentuh.
Fenomena pinjol ini seakan muncul sebagai murni kesalahan dari pembuat pinjol semata karena memang kelakuannya yang kelewat brutal terutama dalam cara menagihnya. Padahal, jika kita telusur lebih dalam, akar masalahnya sebetulnya terkait dengan arsitektur kelembagaan keuangan kita dan juga fungsi dan peran pemerintah yang nihil di lapangan.
Pinjol meluas di masyarakat karena ada permintaan. Permintaan itu muncul karena lembaga perbankan konvensional juga memang tak lagi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Mereka malah ditengarai bekerja sama dengan Bank dan bahkan bank milik pemerintah. Pada akhirnya pinjol jadi alternatif. Apalagi menghadapi masa krisis ekonomi di masa pandemi yang membuat masyarakat kesulitan secara ekonomi saat ini.
Meminjam uang itu mudah, tapi mengangsurnya adalah hal yang sangat berat. Apalagi apabila pinjaman yang kita ambil itu melebihi kapasitas pendapatan kita baik secara angsuran maupun tambahan beban bunganya.
Cara menagih para rentenir pinjol bukan saja telah meresahkan karena caranya yang intimidatif, tapi secara tidak langsung sesungguhnya telah membuat peminjamnya bisa menjadi berketergantungan dan terjerat dalam jurang kemiskinan.
Namun kita tahu rasio kredit perbankan selama ini memang tidak untuk melayani masyarakat kecil. Sebut saja misalnya, dari total rasio kredit perbankan tahun 2020 yang jumlahnya hanya 3 persen untuk usaha mikro yang jumlahnya hingga 64 juta atau 99,6 persen dari jumlah usaha yang ada.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang membatasi jumlah minimal untuk pemberian kredit perbankan juga tak berguna dan tidak menyasar orang kecil sesungguhnya.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis ( AKSES)