Oleh: Romylindo Hilfison, S. Fil
Dari berbagai data yang diperoleh telah menunjukkan bahwa peringkat pendidikan Indonesia menurun. Pertanyaan lanjutan, kenapa bisa turun? Hal ini menjadi analisis penulis dalam tulisan ini.
Fenomena miris ini menjadi perhatian serius dan harus ditanggapi sebagai upaya menyelamatkan pendidikan kita dari keterpurukannya. Hendaknya pelbagai stakeholder harus membuka mata terhadap dunia pendidikan yang merupakan salah satu pilar utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentunya bangsa dan negara membutuhkan pribadi yang berkompeten dan cerdas. Bangsa dan negara membutuhkan pribadi yang punya skill dalam me-manage dunia pendidikan itu.
Namun perlu disadari bahwa berbicara tentang pendidikan berarti kita juga berbicara tentang sistem. Artinya bahwa maju mundurnya dunia pendidikan itu tidak dimotori oleh satu elemen saja melainkan banyak elemen yang berperan di dalamnya. Oleh karena itu salah satu hal yang perlu diperhatikan serius dalam dunia pendidikan kita saat ini adalah peran guru yang dituntut harus profesional. Lantas, mengapa demikian?
Guru atau pendidik adalah salah satu agen penggerak utama dalam keberlangsungan misi pendidikan kita. Sejatinya, guru mesti bertanggung jawab atas tugas mulia untuk membentuk generasi-generasi penerus bangsa di mana kelak menjadi pribadi yang berguna bagi tanah air tercinta.
Potret Menurunnya Peringkat Pendidikan di Indonesia
Merujuk pada data yang sempat dipublikasikan oleh United Nations Developments Program (UNDP) yang memuat angka indeks kualitas SDM (Human Developments Indeks-HDI) tahun 2005 menyebutkan bahwa Indonesia berada pada posisi 110 dari 177 negara di dunia yang di survei. Kondisi ini jauh berada di bawah negara-negara tetangga seperti Australia yang berada di urutan ke-3, Singapura ke-25, Korea ke-28, Brunei Darusalam ke-33, Malaysia ke-61, Thailand ke-73, Filipina ke-84 dan China ke-85, sedangkan Timor Leste yang dulu merupakan bagian dari Indonesia bertengger di urutan ke-140.
Dari data juga ditemukan bahwa banyak siswa tidak lulus Ujian Nasional (UN). Hasil Ujian Nasional tahun 2005 tingkat SMA di Propinsi Nusa Tenggra Timur 55, 91 % tidak lulus, dan merupakan angka tertinggi di Indonesia. Kemudian disusul oleh Provinsi Papua 55,02 %, jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Propinsi Jawa Barat, siswa tidak lulus SMA sederajat 7, 53%. Demikian juga Propinsi Sulawesi Utara 7, 39 % tidak lulus. Sementara di Yogyakarta, ada 13 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas memiliki angka kelulusan 0%, dan di Semarang terdapat 4 sekolah yang semua siswanya tidak lulus (Oleh Martinis Yamin dikutip dari majalah Tempo Edisi 11-17 Juli 2005: 25).
Persentase kelulusan di setiap provinsi tidak merata. Contonya, keberhasilan UN di Provinsi Jambi menempati urutan ke-20 dari 33 provinsi di Indonesia. Jika dilihat secara keseluruhan hasil UN untuk SMP, Bengkulu memegang rekor tertinggi 34,97%, disusul Nanggroeh Aceh Darussalam 33,68%. Bandingkan dengan Propinsi DKI Jakarta yang memiliki angka kelulusan 3, 83%.
Berdasarkan paparan data di atas, boleh dikatakan bahwa rendahnya kualitas pendidikan merupakan salah satu dampak dari rendahnya tenaga kependidikan dan ketidakprofesionalan guru di Indonesia. Persentase guru menurut kelayakan mengajar pada tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sebagai berikut. Untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28, 94% (swasta). Untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60, 99% (swasta). Untuk SMA yang layak mengajar 55, 29% (negeri) dan 64, 73% (swasta).
Keadaan yang lebih memprihatinkan lagi dialami oleh sebagian Madrasah. Menurut hasil penelitian di Jakarta tahun 2001, separuh dari guru Madrasah di Jakarta tidak berkualitas. Hal ini ditandai dengan banyaknya guru dan tenaga kependidikan yang ‘salah kamar’ (Mismatch) dan ‘Kualitas keilmuan yang tidak memadai’ (unqualified atau underqualified). Hanya sekitar 20% dari total guru Madrasah yang layak (qualified); selebihnya 20% mismatch ; dan 60 % belum atau tidak layak (underqualified atau unqualified) (dikutip dari http://mynizel.blogspot.com/2010/04/pendidikan-indonesia.html; diakses 20 Agustus 2020).
Merujuk pada data yang ada, maka dapat dikatakan bahwa sungguh peringkat pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekali lagi fenomena ini kembali melahirkan pertanyaan fundamental, siapakah yang bertanggungjawab atas misi pendidikan ini?
Mereka tidak lain adalah pemerintah, kepala sekolah, guru, peserta didik, orang tua, dan masyarakat. Setiap institusi kependidikan atau komponen-komponen yang ada bekerja dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing yang berpedomankan pada visi, misi, dan tujuan pendidikan yang ada. Berdasarkan banyak komponen yang ada dan berdasarkan data di lapangan, maka profil dan peranan seorang guru mendapat tuntutan yang lebih dominan.
Guru menjadi promotor dalam perjalanan sistem pendidikan kita saat ini. Siapa pun tidak boleh meremehkan seorang guru. Namun sehubungan dengan ini, apakah guru-guru di Indonesia saat ini sungguh-sungguh profesional?
Pemerintah boleh menaikkan standar tiap tahun demi meningkatkan mutu pendidikan. Setiap satuan pendidikan boleh mengidealkan suatu persentase kelulusan yang tinggi di mana membuat kita bangga atas pencapaian hasil yang diperoleh. Namun kita perlu ingat, sudah sejauh mana kinerja para guru yang telah dibangun sebagai komponen yang telah bertanggung jawab di dalamnya.
Guru dituntut menentukan warna pendidikan yang diidealkan oleh semua warga negara. Guru diharapkan mengejawantahkan setiap kemampuan, talenta, bakat dan potensi yang ada bagi peserta didik itu sendiri.
Guru Dituntut Profesional
Seorang guru profesional adalah mereka yang menguasai falsafah pendidikan nasional, pengetahuan yang luas khususnya bahan pelajaran yang akan diberikan kepada para siswa, memiliki kemampuan menyusun program pembelajaran, melakukan bimbingan kepada siswa, memiliki kemampuan menyusun program pembelajaran dan melaksanakannya, melakukan bimbingan kepada para siswa, memiliki kemampuan menyusun program pembelajaran dan melaksanakannya.
Guru profesional juga dapat mengadakan penilaian dalam proses pembelajaran, melakukan bimbingan kepada siswa untuk mencapai tujuan program pembelajaran. Selain itu sebagai administrator dan sebagai komunikator (dikutip dari https://www.kompasiana.com/hermadiskw74/kompetensi-profesional-guru, diakses pada hari Sabtu, 22 Agustus 2021, pukul 10.30).
Berdasarkan konsep guru profesional yang dipaparkan di atas, maka menjadi seorang guru tidak mudah. Tuntutannya lebih. Guru juga tidak dianggap remeh. Menjadi guru tidak sekedar menjadi pelarian ketika dunia kerja semakin terjepit. Kesimpulan holistik dari konsep guru profesional di atas adalah guru harus dimaknai lebih sebagai panggilan jiwa.
Demi memperbaiki kualitas pedidikan di Indonesia dan menjawabi tuntutan guru harus profesional, maka pemerintah menuangkannya di dalam Pasal 39 ayat 2 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 2 ayat 1, UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Pasal 28 ayat (1) PP RI no. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Landasan-landasan hukum ini mau mengafirmasi bahwa pemerintah serius dan tegas dalam meningkatkan profesionalisme dan penghargaan kepada para guru yang bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Implementasi dari landasan hukum di atas adalah munculnya program sertifikasi guru. Para guru yang sudah tersertifikasi adalah guru-guru pilihan, melalui seleksi ketat dan yang sudah menempuh berbagai mekanisme dari pemerintah yang menjadikan mereka sungguh profesional sebagai seorang guru. Boleh dibilang, guru sertifikasi adalah representasi dari guru yang profesional.
Dengan adanya program sertifikasi ini diharapkan dapat menjawabi tujuan dasariah dari sistem pendidikan kita. Tujuan pendidikan kita adalah sebuah usaha pembebasan manusia dari kebodohan, ketidakmengertian. Maka kompetensi seorang guru sangat diperlukan sebagai upaya pencerdasan manusia.
Pendidik berperan penting dalam pendidikan formal dan membantu para murid mencapai kematangan intelektual. Guru yang profesional tentu akan sangat mempengaruhi output didikannya. Profesionalitas seorang guru dalam mendidik adalah sumbangan yang berarti bagi peserta didik.
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman yang diwarnai oleh persaingan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka guru dituntut memiliki kompetensi pribadi dan peka terhadap arus perkembangan global saat ini.
Profesi guru bernuansa mulia yakni menjalankan misi liberatif sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “…turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Guru Profesional: Mengubah Pola Klasik Pembelajaran
Walaupun berbagai kurikulum telah mengalami perubahan dan pembaharuan namun praktik pembelajaran klasik terus diwariskan. Sering kita berpikir, mengajar berarti aktivitas seorang guru dalam menerangkan mata pelajaran; atau dengan kata lain guru meng-import pengetahuan yang dimilikinya kepada peserta didik. Tugas para murid adalah mendengarkan, mencatat, dan menjawab pertanyaan guru di kelas.
Sepintas kita melihat bahwa yang lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran adalah guru sedangkan peserta didik menjadi aktor pasif. Dalam hubungan dengan pola klasik pembelajaran ini, maka sang Filsuf sekaligus pemerhati dunia pendidikan, Paulo Freire, mengkritik bahwa gaya ini tidak lebih dari pendidikan “gaya bank”, dimana guru sebagai deposan yang mendepositokan pengetahuan dan berbagai pengalaman kepada peserta didik. Murid hanya menerima, mem-file semua yang disampaikan oleh guru.
Dan bagi Paulo Freire, gaya pembelajaran semacam ini merupakan salah satu bentuk penindasan tak kasat mata terhadap peserta didik karena menghambat dan mengkerdilkan kreativitas dan pengembangan potensi mereka (Paulo Freire dalam Pedagogy Of The Oppressed, 1968, hal: 11)
Hemat penulis, kritik Paulo Freire itu benar. Penulis mencoba melanjutkan pemikiran Paulo dengan memberi makna yang tegas terhadap pendidikan itu sendiri. Aktivitas akademis yang digeluti oleh seorang guru sebenarnya merupakan tindakan membantu para siswa dalam proses mencapai kemajuan di bidang intelektual. Guru hadir bukan sebagai komando di mana bisa mengkerdilkan dan mempasifkan peserta didik.
Tugas guru profesional adalah melawan sistem klasik pembelajaran yang sudah diwariskan turun-temurun. Seorang guru profesional harus mampu mengubah paradigma top-down dalam arena pendidikan saat ini. Hal ini sebagai salah satu bentuk respon terhadap jaman demokrasi di era reformasi.
Tingkat keberhasilan mengajar bukan terletak pada seberapa banyak ilmu yang diberikan guru kepada peserta didik melainkan seberapa besar guru memberikan peluang kepada siswanya untuk belajar dan memperoleh sesuatu. Guru hanya tampil untuk memfasilitasi para siswa dalam meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya.
Dalam kondisi ini, kegiatan pembelajaran harus berbasis pada siswa (student sentris). Guru mampu melibatkan siswa secara aktif. Tesis ini mengafirmasi bahwa cita-cita akan kecerdasan intelektual seorang peserta didik harus dibarengi dengan semangat juang pribadi para siswa.
Selain itu, tuntutan guru sebagai tenaga profesional yakni menjalankan tugas utama yakni mendidik, mengajar, melatih, menilai, dan mengevaluasi. Hal ini sangat berpengaruh pada keberhasilan peserta didik.
Namun kenyaataannya banyak guru yang belum mampu menjalankan tugasnya secara profesional. Guru profesional bisa menerapkan strategi instruksional, artinya kecakapan guru dalam menyampaikan dan mengolah materi di depan kelas. Guru profesional juga mampu mengolah iklim kelas dengan baik. Maksudnya guru harus berpotensi untuk komitmen terhadap nilai disiplin, menjaga relasi yang baik antara guru dan murid. Dengan demikian peserta didik merasa bahwa mereka benar-benar dididik.
Guru profesional mampu mendesain kurikulum kelas dengan baik. Hal ini dibuat agar materi yang diberikan dan tujuan dari materi itu dapat tercapai. Guru profesional itu mampu membuat inovasi dan variasi dalam pembelajaran. Hal ini nyata dalam materi pelajaran, metode mengajar, dan media yang digunakan dalam mengajar.
Mengakhiri tulisan ini, penulis hendak mengafirmasi kembali bahwa pendidikan merupakan sebuah sistem di mana di dalamnya terdapat berbagai elemen yang turut menentukann maju mundurnya pendidikan itu sendiri. Kita tidak serta merta mempersalahkan satu pihak jika pendidikan itu gagal. Semua elemen penting yang berhubungan dengan dunia pendidikan harus berjalan bersama dan berkolaboratif.
Guru menjadi salah satu elemen penting dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, semua yang terpanggil menjadi guru hendaknya menyadari kembali akan tugas dan perannya. Karena menjadi guru yang profesional adalah sebuah tuntutan dan keharusan di zaman sekarang. Karena guru yang profesional adalah garansi masa depan anak bangsa. Selamat merayakan Hari Guru.
*Penulis adalah Guru SMA Katolik Frateran Maumere