Begini Perkembangan Wacana Proyek Geothermal Wae Sano – Mabar

Labuan Bajo, Ekorantt.com – Wacana pembangunan proyek geothermal Wae Sano, Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) terus bergulir. Pemerintah menyebut deadline proyek tersebut hingga tahun 2025 mendatang.

Plt. Direktur PT.Geo Dipa Energi, Riki Firmandha Ibrahim, dalam keterangan tertulis yang diterima Ekora NTT, Kamis (16/12/2021) menjelaskan, proyek eksplorasi Wae Sano merupakan bagian dari Proyek Startegis Nasional (PSN) yang dikenal dengan nama proyek pengeboran pemerintah atau government drilling (GEUDPP) yang mendapat pendanaan dari dana internasional.

Dijelaskan, proyek tersebut awalnya ditugaskan kepada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Kementerian Keuangan PT SMI. Namun, tahun 2021 penugasan tersebut dilanjutkan kepada PT. Geo Dipa Energi (Persero).

“Kami melihat memang ada beberapa hal dan kajian yang harus dilakukan agar dapat mendukung kelancaran proyek, khususnya yang terkait dengan isu sosial,” ujarnya.

Ibrahim membeberkan, bulan Juni 2020 lalu, Komite Panas Bumi Indonesia menerima surat yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Surat itu ditulis oleh Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat. Yang intinya meminta agar proyek eksplorasi Wae Sano dihentikan karena dipandang mengganggu ruang hidup masyarakat.

Keindahan Danau Sano Nggoang, Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat. (Foto : Sandy Hayon / Ekora NTT)

Karena itu, Komite Bersama Panas Bumi Indonesia melakukan beberapa pendekatan, yakni membentuk kelembagaan bersama yang melibatkan semua unsur terkait, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, PT SMI dan PT Geo Dipa Energi.

Lembaga ini kemudian melakukan analisa gap terhadap kajian yang telah dilakukan sebelumnya, dan memperkuat kajian-kajian yang diperlukan bilamana belum pernah dilakukan.

Selain itu, menyusun MoU untuk membangun kerja sama kemitraan bersama Keuskupan Ruteng untuk bersama-sama membantu mendengar dan mengatasi keberatan masyarakat penolak di Wae Sano.

Ibrahim tidak menapik bahwa ada warga yang menilai proyek tersebut tidak memperhatikan pendekatan secara adat dan budaya dan mengganggu wilayah keramat dan tanah leluhur, tidak transparan dan banyak janji, menimbulkan rasa sakit hati bagi beberapa tokoh penolak, juga menimbulkan bencana dan membuat warga harus relokasi.

Pengelolaan Bidang Sosial

Kendati demikian, Ibrahim menjelaskan sepanjang tahun 2020 hingga 2021, pihaknya telah melakukan pengelolaan bidang sosial kepada masyarakat Wae Sano, juga stakeholder di luar masyarakat adat.

Pihaknya melakukan Free Prior Inform Concern (FPIC), rencana aksi dalam CDP (Community Development Plan), optimalisasi peran panitia kampung untuk menyampaikan keluhan kepada proyek dalam kerangka GRM.

Memonitor perubahan-perubahan sikap masyarakat sebagai bagian dari proses evaluasi stakeholder engagement, membangun pusat informasi di tingkat desa, serta mendirikan dan mengelola pusat informasi tentang kegiatan eksplorasi panas bumi di Desa Waesano.

Sementara untuk stakeholder di luar masyarakat adat, pihaknya melakukan diseminasi informasi kepada pemangku kepentingan lain di luar kelompok masyarakat adat, seperti sirkulasi informasi tentang kegiatan eksplorasi panas bumi, mitigasi risiko, pengelolaan sosial dan lingkungan, pelaksanaan CDP dan dampaknya bagi livelihood masyarakat.

“Keseluruhan pendekatan pengelolaan bidang sosial ini dilakukan secara sinergis dan terpadu melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait dan tentunya ini memerlukan waktu serta tenaga agar dapat terlaksana dengan baik,” ujarnya.

Dijelaskan Ibrahim, setelah menyelesaikan Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL Tahap 1) di tahun 2020, maka tahun ini memasuki periode pelaksanaan RKTL tahap 2. Ini memerlukan waktu yang lebih panjang daripada RTKL 1. Sebab, yang dilaksanakan adalah pendekatan pengelolaan sosial.

“Semua perlu dilakukan secara partisipatif dengan mendengarkan masukan dan pendapat dari berbagai pihak,” ujarnya.

Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi, Ketua DPRD Mabar, Martinus Mitar, dan Romo Vikep Labuan Bajo, Rikar Manggu saat mengunjungi warga Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang. (Foto: Ist)

Dikatakan, pengelolaan sosial memerlukan dialog dan diskusi yang tidak sederhana dan tidak singkat, karena harus dilakukan dengan prinsip pelibatan bermakna dari semua pihak. Artinya bahwa proyek tersebut perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, dan memperhatikan standar yang diberlakukan oleh Bank Dunia (World Bank).

Dikatakan Ibrahim, dalam melakukan pengelolaan baik bidang sosial maupun bidang teknis pelaksanaan, pihaknya juga mengikuti standard safeguard yang merupakan ketentuan dari bank dunia. Yang mana melibatkan proses dialog dan berkonsultasi bersama masyarakat Desa Wae Sano.

Proses sosial ini kata dia, memang memerlukan investasi waktu untuk memastikan bahwa proyek telah menerapkan dan melaksanakan apa yang telah digariskan di dalam Environment and Social Management Plan (ESMP).

Selain itu, Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Sekretaris Komite Bersama Penyediaan Data dan lnformasi Panas Bumi teIah menyampaikan klarifikasi secara detail terhadap alasan yang disampaikan oleh warga yang menoIak geothermaI.

Soal Titik Pengeboran

Menurut Ibrahim, proyek eksplorasi geothermal Wae Sano secara teknis telah melakukan perubahan pada desain teknis. Dimana titik pengeboran tidak lagi dimulai dari titik pengeboran well pad B di Dusun Nunang dikarenakan adanya keberatan masyarakat mengenai rencana pemboran yang dinilai terlalu dekat dengan pemukiman.

Proyek eksplorasi akan dimulai dari titik pengeboran/well pad A yang berjarak cukup jauh dari pemukiman warga, dan sedianya titik pengeboran B akan dimanfaatkan untuk demo plot percontohan kegiatan pertanian sebagai bagian dari program berbagi manfaat untuk warga Wae Sano.

Dengan dipindahkannya titik pengeboran ke well pad A, maka titik pengeboran berada di dusun di luar Nunang dan berada jauh dari pemukiman.

Seharusnya beber dia, warga tidak lagi menolak geothermal dikarenakan sekarang jaraknya sudah jauh dari pemukiman dan wilayah yang diprotes masyarakat akan digunakan untuk area percontohan pemberdayaan masyarakat.

Karena proyek geothermal tidak hanya mendatangkan manfaat untuk pergantian dari sumber energi yang tidak ramah lingkungan seperti batu bara menjadi energi bersih seperti panas bumi/geothermal, namun mendatangkan manfaat lain melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Relokasi Warga

Ibrahim menjamin proyek tersebut tidak ada relokasi warga, karena telah melakukan penyesuaian desain teknis dengan memindahkan titik pengeboran jauh dari wilayah pemukiman warga.

Proyek itu kata dia, mengacu pada standar pengelolaan lingkungan dan sosial yang digariskan oleh Bank Dunia, yanhg mana secara ketat harus melaksanakan berbagai kajian mengenai dampak pengeboran dan kegiatan eksplorasi. Selain itu, melakukan mitigasi terhadap dampak lingkungan maupun sosial.

Apabila proyek melakukan pelanggaran maka pendanaan akan dihentikan oleh pihak bank. Dengan demikian, sangat berhati-hati dalam menjalankan kegiatan pengeborannya karena berkaitan langsung dengan keberlanjutan pendanaan proyek.

Sehingga kata dia, kegiatan yang akan dikerjakan di Kampung Lempe tentunya akan sangat aman dan menjaga kelestarian lingkungan serta menjaga ruang hidup masyarakat kampung tersebut.

Perkiraan Daya yang Dihasilkan

Berdasarkan data 3G yang ada, hasil perhitungan sumber daya hipotesis tim Geo Dipa didapatkan perkiraan sumber daya panas bumi yang bisa dimanfaatkan dari lapangan Wae Sano berkisar 44MW (P50).

Keterjangkauan energi listrik tentunya bergantung pada program PLN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di wilayah NTT dan sekitarnya.

Namun, berdasarkan informasi yang ada baik dari PLN dan Pemerintah Daerah Manggarai Barat, program penyediaan tenaga listrik ini sangat diharapkan dalam waktu dekat untuk menunjang program wisata premium di Labuan Bajo dan sekitarnya.

Program ini lanjut Ibrahim, berlangsung sampai dengan tanggal 31 Desember 2025.

Soal pro kontra, Ibrahim menjelaskan, semua negara di dunia sedang berjuang untuk menghadapi perubahan iklim akibat adanya emisi gas rumah kaca. Maka Indonesia pun sedang berupaya mengurangi emisi karbonnya. Salah satunya dengan melakukan perubahan energi, dari energi yang menghasilkan karbon dan merusak lingkungan seperti energi batu bara menjadi energi bersih, salah satunya adalah panas bumi.

Indonesia kata dia, memiliki target untuk mengalihkan energi dari batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi energi hijau/bersih, salah satunya dihasilkan oleh panas bumi melalui PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi).

“Keputusan untuk tetap meneruskan proyek ini, tentunya juga dengan mempertimbangkan unsur strategis kepentingan seluruh umat manusia dalam upaya menghadapi perubahan iklim melalui peralihan energi dari energi kotor menjadi energi bersih,” katany.

Ibrahim berharap semua pihak menyadari betapa pentingnya upaya menghadapi perubahan iklim, pemanasan global, perubahan iklim yang ekstrim, banjir dan kekeringan yang ekstrim serta semakin sulitnya pertanian untuk berproduksi menghasilkan bahan pangan untuk umat manusia.

“Saya berharap dan menghimbau saudara-saudara kita di Wae Sano dan Pemda Manggarai Barat untuk mengambil peran aktif dalam mengatasi kenaikan suhu bumi menjadi 2 derajat akibat adanya perubahan iim,” pintanya.

Penolakan Warga

Sebelumnya, warga setempat menegaskan bahwa proyek geothermal dan semua upaya yang telah dilakukan pemerintah dan perusahaan selama beberapa tahun terakhir sudah melecehkan, merampas hak, dan membuat mereka tidak nyaman.

“(Proyek ini) merupakan bentuk pelecehan terhadap kami, perampasan terhadap hak kami dan beberapa macam hal yang tidak pernah memang kami inginkan jauh sebelumnya,” ujar Petrus Lapur warga setempat di hadapan Pejabat Kantor Staf Presiden (KSP), Camat Sano Nggoang, Syprianus Silfis; Plt Kepala Desa Wae Sano; Perwakilan PT Geo Dipa Energi, John Sinurat; serta tiga orang Tim Komite Bersama yang dibentuk dari hasil MoU antara Keuskupan Ruteng dengan Kementerian ESDM yang datang ke Wae Sano pada Kamis, 23 September 2021 lalu.

Kehadiran mereka saat itu untuk mengadakan pertemuan dengan warga pemilik lahan di Well Pad B proyek itu yang terletak di Kampung Nunang. Sementara titik lainnya, terletak di Kampung Lempe dan Dasak.

Petrus menegaskan, tanpa geothermal, mereka masih bisa hidup. Wae Sano, katanya tempat yang sudah sangat nyaman untuk mereka melangsungkan hidup.

“Kami tolak. Kami aman di sini. Karena kami sudah mendapatkan segalanya dari kampung ini. Bahkan sudah jauh sebelum generasi kami. Turun-temurun, sampai kapan pun,” ujarnya.

Sandy Hayon

spot_img
TERKINI
BACA JUGA