Kupang, Ekorantt.com – Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo mengatakan pemerintah akan menerapkan pola penanganan stunting mulai dari pasangan yang akan menikah. Calon pengantin akan diperiksa kesehatan (prakonsepsi) secara rutin untuk mencegah melahirkan anak stunting.
“Tiga bulan sebelum nikah, pasangan yang akan menikah dicatat identitasnya, NIK, umur dan dikakukan pemeriksaan anemia. Khusus calon pengantin wanita diukur berat badannya berapa, tinggi berapa, lingkar lengan atas berapa serta indeks masa tubuhnya,” ujar Hasto saat kegiatan Sosialisasi Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) di Hotel Aston Kupang, Jumat (04/03/2022).
Ia menyatakan Presiden Jokowi telah menetapkan target penurunan angka stunting pada 2024 sebesar 14 persen. Dengan sisa waktu ini, upaya dan aksi nyata percepatan penurunan stunting harus terus digalakan yang berawal dari pendataan.
“Konvergensi dan komitmen boleh tinggi tapi kalau data salah, aksi menjadi tidak tepat sasar serta hasilnya sama. Kami sudah mengembangkan aplikasi Elektronik Siap Nikah Siap Hamil (Elsimil). Kami punya pasukan lapangan (pendamping keluarga) yang akan membantu pencatatan sekaligus memasukan data dalam aplikasi Elsimil,” kata Hasto.
Hasto menerangkan aplikasi Elsimil merupakan data pencatatan dan pelaporan yang sifatnya by name by address. Dengan laporan yang diberikan secara terus-menerus oleh pendamping keluarga yang jumlah mencapai 4.200 lebih orang yang tersebar di semua desa/kelurahan di NTT, gubernur dan para bupati punya data di mana calon pengantin dan bayi yang lahir yang punya potensi stunting.
“Pada dasbor pak Gubernur, setiap hari bisa terlihat dan terpantau bayi yang lahir hari ini yang panjangnya kurang dari 48 cm itu siapa dan di mana, alamatnya di mana. Saya titip di Kaper (Kepala Perwakilan BKKBN NTT) agar buat dasbor supaya pak Gubernur tahu yang nikah hari ini siapa, yang lingkar lengan kurang dari 23 cm siapa dan di kabupaten mana. Kalau tidak dikerjakan dan ditreatmen akan ketahuan. Kuncinya di situ. Aplikasi ini lebih efisien karena kita tidak mungkin bisa terapi semua masyarakat. Kami juga sudah dapat dukungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk dukungan server demi kelancaran aplikasi ini,” kata Hasto.
Hasto menjelaskan dalam aplikasi tersebut juga akan terekam data keluarga beresiko tinggi stunting. Hal tersebut dilakukan dengan memetakan keluarga yang kalau hamil dan melahirkan bisa stunting atau tidak.
“Ini bisa diketahui dengan memotret lingkungannya seperti tidak adanya air bersih atau jambang, rumah tidak layak huni. Atau pun karena terlalu dekat melahirkan, terlalu banyak anaknya, usia terlalu muda atau terlalu tua. Semuanya by name by address. Semua data ada pada kami, bupati dan walikota tak perlu cari lagi. Datanya riil dan sudah dicocokan dengan aplikasi elektronik pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-ppgbm). Data ini juga sesuai dengan (dapat dipakai) data kemiskinan ekstrem. Selisihnya hanya nol koma sekian persen,” ungkap Hasto.
Untuk mendukung ini, kata dia, BKKBN mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program BKKBN di NTT termasuk untuk penanganan stunting sebesar Rp114,26 miliar pada tahun 2021. Tahun 2022 meningkat menjadi Rp123 miliar.
“Kami telah mengalokasikan anggaran untuk penguatan kelembagaan seperti pembentukan satgas di luar TPPS (Tim Percepatan Penurunan Stunting) yang anggotannya bukan PNS dan melibatkan tim pakar untuk lakukan audit stunting. Insentif uang pulsa untuk para pendamping Rp100 ribu per bulan per orang dan berbagai kegiatan lainnya. Kami juga akan membantu memberikan pendampingan bagi para bupati/walikota dalam melakukan proyeksi penurunan angka stunting berdasarkan data yang ada,” pungkas Hasto.
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat meminta para Bupati/Walikota untuk bekerja ekstra ordinary atau secara luar biasa dan out of the box atau di luar cara-cara yang umum. Terus menerus turun ke desa-desa dan mempropagandakan cara penurunan stunting kepada masyarakat agar mereka punya pemahaman dan pengetahuan.
Menurut Viktor, harus ada satu kesatuan gerak bersama sampai ke tingkat desa dalam menurunkan angka stunting. Karena penanganan masalah stunting sebenarnya soal kepedulian dan komitmen yang kuat dari pemimpin.
“Melalui perencanaan (BKKBN) yang sudah sempurna seperti itu kita tinggal eksekusi. Kalau tidak berhasil berarti tim yang bergerak di lapangan bermasalah. Perencanaan yang baik dan tepat berarti 50 persen kegiatan kita telah berhasil,” kata Viktor.
Kegiatan sosialisasi RAN PASTI ini dilakukan secara offline di 12 provinsi yang punya angka prevelensi tinggi yakin NTT, NTB, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Aceh, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.
Prevalensi stunting di NTT terus mengalami tren penurunan sejak tahun 2018 yakni sebesar 35,4 persen, 2019 menjadi 30 persen. Selanjutnya tahun 2020 menjadi 24,2 persen dan tahun 2021 menurun ke 20,9 persen.
Kegiatan RAN PASTI ini dihadiri para Bupati dan Wakil Bupati se-NTT, Wakil Walikota Kupang, Wakil Ketua Tim Penggerak PKK NTT, Kepala Perwakilan BKKBN NTT, Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten/Kota se-NTT.
Juga dihadiri secara daring oleh Deputi dari Sekretariat Wakil Presiden, Deputi III dari Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Dirjen Pembangunan Daerah (Bangda) Kemendagri, dan Dirjen Kesehatan Masyarakat (Kesmas) dari Kementerian Kesehatan.