Oleh: Vian Tolok*
Pengertian dan makna terdalam dari salib selalu disejajarkan dengan pengalaman kepahitan dan penderitaan hidup manusia. Bagi kebanyakan orang, derita, kesusahan, kesakitan, musibah, bencana, pengalaman batas manusia selalu dimaknai sebagai salib hidup yang menjadi santapan manusia beriman.
Tentu, kenyataan yang lumrah ini akhirnya diamini dan dihayati sebagai suatu hal yang wajar dan benar. Yang bernada derita adalah salib. Yang bernama salib pastinya membungkus deretan kisah susah dan muram.
Kehidupan dunia juga terus menawarkan salib dan manusia harus menerima realitas salib itu dalam etalase ziarah kehidupannya. Hal ini dipertegas oleh gagasan Agustinus Hippo dalam Civitas Terrena yang menggambarkan ziarah di dunia sebagai deretan kisah penuh penderitaan.
Selaras dengan gagasan Agustinus di atas, lebih lanjut filsuf besar Gottfried Wilhem Leibniz menelurkan gagasannya tentang penderitaan yang merupakan fase yang dihadapi selama hidup oleh karena manusia berkarakter fana dan rapuh. Ide dan gagasan yang tertuang di atas dengan sendirinya merangkum sebuah ide dasar bahwa derita yang dinamai salib tersebut adalah bagian hidup yang harus diterima dan dialami oleh semua manusia yang tinggal di bumi ini.
Pengakuan dan penghayatan hidup manusia terhadap salib dalam kenyataannya membahasakan kesusahan dan kesedihan. Boleh jadi, derita dan kesusahan hidup bernada dihayati sebagai sesuatu hal yang bernada melankolis, menyisipkan kemuraman, keharuan, kesedihan, banjir air mata dan ratapan tak berujung.
Salib pada bagiannya dinikmati sebagai sesuatu yang meminta dan menggerus banyak air mata dan jeritan kesakitan yang panjang. Mata beriman orang Kristiani hanya berhenti menatap salib pada momen kematian dan kesedihan tanpa jauh melihat ada nilai kemuliaan dan semarak sukacita yang ada di balik tirai salib Tuhan.
Sebenarnya salib itu menghadirkan kemuliaan dan kegembiaraan yang melimpah ruah bagi hati manusia yang tercemar kesusahan dan derita yang berkepanjangan. Dalam dan melalui salib, derita manusia beriman memperoleh kebahagiaan dalam ziarah perjuangan hidup.
Dalam terang iman, salib dapat diartikan sebagai penderitaan yang harus ditanggung oleh manusia dalam usaha untuk mencapai kebahagiaan atau kesuksesan dalam hidup.
Kearifan lokal dalam kazanah budaya Lamaholot juga telah mengajarkan secara turun-temurun bahwa untuk mencapai sesuatu yang baik, bernilai atau kesuksesan orang harus rela dan bersedia untuk bersusah payah dan “banting tulang”. Tidak ada kesuksesan dalam hidup, apapun bentuknya, yang dapat diraih tanpa perjuangan dan pengorbanan. Tiada kebangkitan tanpa perjalanan menuju salib!
Dalam Kitab Suci, hal itu pun sudah ditegaskan oleh Allah ketika Ia berfirman kepada Adam: “Dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah” (Kej 3, 17b-19).
Kutipan dari Kitab Suci ini mau menegaskan bahwa manusia harus berusaha dan berjuang untuk dapat melanjutkan hidupnya karena tidak ada sesuatu pun yang sifatnya gratis yang dapat kita peroleh.
Atas dasar warisan budaya dan dalam terang Sabda Tuhan, kita diajak untuk serius menjalani kehidupan kita. Penderitaan dan perjuangan harus kita terima sebagai sesuatu yang lumrah dan manusiawi sifatnya. Selama manusia hidup di dunia ini, selama itu juga ada perjuangan yang harus dilalui dan dimenangkan. Hanya orang yang mau berjuang adalah orang yang akan mampu memenangkan peziarahan hidup di dunia ini.
Oleh karena itu, maraknya gaya hidup serba instan yang menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan adalah pengkhianatan terhadap makna Sabda Tuhan dan terhadap kearifan lokal Lamaholot yang diwariskan oleh leluhur kita.
Maraknya kasus korupsi dan kolusi yang merasuki segenap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air kita adalah bukti nyata atas pengkhianatan terhadap makna Sabda Tuhan dan terhadap kearifan lokal tersebut.
Orang ingin hidup enak, serba berkecukupan tetapi tidak mau melewati perjuangan yang seharusnya dilalui; jalan yang diambil adalah jalan pintas: korupsi, menyuap dan kolusi. Mau mendapat posisi “enak” dalam tugas dan karier, menyuap pimpinan; mau mendapat nilai baik dalam ujian: menyontek. Dasar perjuangan dengan segala “kesusahannya” semakin dicampakkan dalam kehidupan manusia instan.
Ini adalah manifestasi yang sangat jelas betapa kerja keras dan pengorbanan menjadi hal yang semakin meredup dalam kehidupan kita. Orang lebih mementingkan hasil daripada proses; yang penting hasilnya baik dan menyenangkan masalah proses tidak dipentingkan. Sikap dan pola laku semacam ini tentu saja bertentangan dengan makna salib sebagai sebuah proses yang harus dilalui untuk mencapai kebangkitan. Perjuangan tidak boleh dihindari, sebaliknya harus dilalui sebagai suatu proses untuk menuju kepada “kemuliaan”.
Tuhan Yesus sendiri telah memberikan contoh dan teladan kepada kita bahwa untuk mencapai kemuliaan-kebangkitan Dia harus melalui perjuangan yang berat dan menyakitkan: Jalan Salib. Hal yang sama berlaku untuk kita. Untuk mencapai sukses dan meraih hasil yang maksimal tiada jalan pintas yang tersedia bagi kita, yang ada adalah “jalan” perjuangan dan pengorbanan. Sanggupkah dan beranikah kita?
Bagi kita para pengikut-Nya, jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh Tuhan Yesus dan sekaligus dilakoni-Nya, yakni Jalan Salib adalah jalan yang hendaknya kita tempuh untuk menggapai “kemuliaan”. Tiada kebangkitan tanpa salib, tiada kesuksesan tanpa usaha dan perjuangan, tiada kebahagiaan tanpa pengorbanan.
Di dalam salib, menjadi nyata betapa Allah dalam kasih-Nya yang tiada batas telah mengasihi dan menyelamatkan manusia dalam Yesus Putera-Nya. Bagi kita, Salib selain menjadi simbolisasi pengorbanan yang tanpa batas, usaha dan perjuangan yang tidak kenal lelah. Salib juga menjadi simbolisasi pencurahan cinta yang sehabis-habisnya untuk mereka yang dicintai.
Karena itu, kita harus bangga dengan salib kehidupan yang kita miliki dan tentu saja akan menjadi suatu kebanggaan yang penuh makna bila makna dan arti salib itu dapat kita hayati dalam keseharian hidup kita.