Oleh: Bernardus Tube Beding*
Tanggal 2 Mei setiap tahun ditetapkan sebagai Hari pendidikan Nasional (Hardiknas). Penetapan tanggal tersebut sekaligus memperingati kelahiran Ki Hajar Dewantara, sosok pribadi yang menentang sistem pendidikan pada masa kolonialisme Belanda.
Ia bernama lengkap Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang lahir pada 2 Mei 1889. Pada usia ke-40, beliau memutuskan untuk mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara dan tidak lagi menggunakan nama kebangsawanannya. Tujuannya agar dapat lebih membaur dengan masyarakat.
Ki Hadjar Dewantara adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi rakyat pribumi biasa untuk memperoleh hak pendidikan. Semasa hidupnya, beliau aktif dalam kancah politik, namun pada akhirnya lebih konsen dalam bidang pendidikan.
Dunia pendidikan sejak massa Ki Hadjar Dewantara hingga saat ini telah mengalami perubahan. Namun demikian, pendidikan seumur hidup (long life education) justru menjadi kesadaran bersama. Suhu pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, secara visioner mendefinisikan pendidikan sebagai “proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan (mikrokosmos dan makrokosmos) sepanjang hidup”.
Hal ini menghendaki manusia pembelajar memiliki kemampuan. Pertama, ia harus memiliki kelenturan atau daya kreatif untuk menyesuaikan diri dengan angin perubahan. Kedua, ia harus memiliki akar yang kuat, yakni daya karakter agar tidak mudah roboh diterjang angin perubahan tersebut.
Daya Kreatif
Dalam menumbuhkan manusia pembelajar yang kreatif, tugas dunia pendidikan adalah menumbuhkan mental kreatif (creative mind). Mengikuti Peter H. Dia1mandis, M.D (2018), setidaknya ada lima karakteristik mental yang perlu dibudayakan peserta didik.
Pertama, jiwa sungguh mencintai (passion) pada apa yang dirasa sebagai bakat, minat, pilihan, dan impian seseorang. Kuncinya adalah mengupayakan ketersingkapan potensi diri dengan mengalami secara langsung aktivitas pengembaraan, ragam kegiatan, dan percobaan (experiential learning).
Kedua, rasa ingin tahu (curiosity) dengan memfasilitasi proses eksperimentasi dan penemuan. Pembelajar perlu dibekali keterampilan untuk belajar mengajukan pertanyaan, hipostesis, mendesain eksperimen, mengumpulkan data, dan merumuskan simpulan.
Ketiga, “keliaran” imajinasi dengan membiarkan alam terkembang menjadi guru. Program-program pengajaran terstruktur dengan basis hafalan bisa mengerdilkan imajinasi. Perkembangan imajinasi siswa bisa difasilitasi dengan permainan berselancar di dunia maya. Karya-karya sastra dan film-film juga dapat merangsang penjelajahan imajinasi.
Keempat, pikiran kritis (critical thinking) sebagai pelita hidup. Untuk dapat mengarungi kehidupan era baru, dengan beragam ide yang selalu bertentangan, berebut klaim, misinformasi, berita negatif dan bohong, belajar terampil berpikir kritis dapat membantu mengurangi kesesatan, kegaduhan, dan pembodohan.
Kelima, keteguhan hati (persistence) untuk mengurangi percobaan dan tantangan. Bahwa segala percobaan dan impian itu memerlukan keuletan perjuangan jangka panjang. Sekolah dapat memfasilitasi pengembangan keteguhan ini lewat ajang kompetisi dalam semangat kolaborasi, juga dengan narasi figur-figur ternama yang mampu bangkit dari kesulitan dan keterpurukan.
Daya Karakter
Usaha menumbuhkan kapabilitas kreatif pembelajar tersebut hanya bisa menghasilkan pribadi yang produktif dan konstruktif jika dibarengi kekuatan karakter yang memberikan landasan nilai integritas dan etos kerja.
Pendidikan karakter diperlukan untuk menempa pembelajar menjadi pribadi baik (karakter pribadi) sekaligus warga negara baik (karakter kolektif). Antara karakter pribadi dan kolektif dapat dibedakan, tetapi tak dapat dipisahkan.
Untuk membangun karakter pribadi yang baik, Thomas Lickona (2011) menengarai nilai-nilai inti karakter pribadi yang harus ditumbuhkan: keberanian (courage), keadilan (justice), kebaikan hati (benevolence), rasa terima kasih (gratitude), kebijaksanaan (wisdom), mawas diri (reflection), rasa hormat (respect), tanggung jawab (responsibility), dan pengendalian diri (temperance).
Sementara, karakter kolektif yang memungkinkan seseorang menjadi warga negara yang baik, Jonathan Haidt (2012) menengarai nilai-nilai inti moral publik sebagai basis karakter kolektif kewargaan: peduli terhadap bahaya yang mengancam keselamatan bersama (care), rasa keadilan dan kepantasan (fairness), kebebasan dengan menjunjung tinggi hak-hak dasar manusia (liberty), kesetiaan pada institusi, tradisi, dan konsensus bersama (loyalty), respek terhadap otoritas yang disepakati bersama (authority), serta menghormati nilai-nilai yang dipandang paling “mulia” (sanctity). Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai inti moral publik itu terkandung dalam Pancasila.
Karakteristik Pendekatan
Tentu perlu penyesuaian karakter dan kreativitas terhadap pendekatan dan metodologi pendidikan. Christian Henny (2016) menghadirkan aspek-aspek yang patut diperhatikan sebagai karakteristik pendekatan dan metodologi pendidikan masa depan.
Aktivitas belajar di ruang kelas mengalami pembalikan (flipped classroom). Dengan fasilitas e-learning, pembelajar memiliki lebih banyak kesempatan belajar pada aneka tempat dan waktu, juga bisa belajar jarak jauh dan belajar sendiri. Dengan demikian, aktivitas di ruang kelas bisa kebalikan dari pendekatan pembelajaran konvensional.
Aspek-aspek teoretis yang biasanya disampaikan di ruang kelas dapat dipelajari di luar kelas. Sebaliknya, aspek praktis yang biasanya menjadi pekerjaan rumah justru dikerjakan di ruang kelas secara interaktif. Ruang kelas menjadi wahana mendiskusikan hal-hal yang belum jelas; juga menjadi ajang kerja kelompok untuk mengaitkan hal-hal yang teoretis ke dalam praktik.
Pelajaran mengalami personalisasi (personalizing learning). Para pelajar akan belajar dengan alat-alat pembelajaran sesuai kapabilitas dirinya. Pelajar yang memiliki kecakapan di atas rata-rata pada subyek-subyek tertentu akan ditantang dengan tugas dan pertanyaan yang lebih berat.
Adapun pelajar yang mengalami kesulitan akan mendapatkan kesempatan lebih banyak hingga mampu mencapai level yang dikehendaki. Pelajar akan mendapatkan peneguhan secara positif, yang bisa mengatasi kehilangan kepercayaan diri. Pendidik akan dapat mengenali secara lebih jelas, pelajar mana yang memerlukan bantuan dalam bidang apa.
Keterbukaan pilihan bebas (free choice). Meski setiap subjek yang diajarkan mengarah ke tujuan yang sama, jalan yang ditempuh pelajar untuk mencapai tujuan tersebut bisa berbeda. Pelajar bisa memodifikasi proses belajar dengan alat-alat pembelajaran yang dirasa cocok dengannya.
Para pelajar akan belajar dengan beragam peralatan, program, dan teknik sesuai dengan preferensinya. Untuk itu, pelajar harus disertakan dalam penyususnan kurikulum. Pendidik lebih berperan sebagai mentor pendamping, pengaruh, pendorong, dan penghubung pelajar dengan dunia luar.
Pembelajaran berbasis proyek (project based learning). Mengikuti kecenderungan pilihan karier pekerjaan di era baru, yang tak terlalu terikat (freelance), para pelajar harus diadaptasikan pada praktik pembelajaran dan pekerjaan berbasis proyek. Mereka harus belajar menerapkan keterampilan dalam jangka pendek pada ragam situasi. Hal ini harus mulai diperkenalkan pada sekolah menengah. Pada jenjang ini, keterampilan berorganisasi, kolaborasi, dan pengaturan waktu juga dapat diajarkan sebagai modal dasar untuk dikembangkan pada karier akademik selanjutnya.
Perluasan pengalaman lapangan (fiela experience). Karena teknologi dapat memfasilitasi secara lebih efisien pembelajaran aspek teoretis pada domain tertentu, kurikulum akan memberikan ruang bagi pengembangan keterampilan, dalam pengalaman langsung. Sekolah atau universitas akan menyediakan kesempatan lebih luas untuk meraih keterampilan dalam dunia nyata sesuai dengan preferensinya.
Kurikulum akan menciptakan lebih banyak ruang bagi pelajar untuk lebih banyak mengalami pemagangan, proyek kolaborasi, dan mentoring. Ujian akan berubah secara mendasar karena platform pembelajaran akan menilai kapabilitas pelajar pada setiap langkah, mengukur kompetensi mereka atas dasar pertanyaan dan jawaban yang boleh jadi tak lagi relevan. Kompetensi pelajar akan diukur dengan memperhatikan perkembangan selama proses belajar dan aplikasi pengetahuan mereka dalam praktik di lapangan.
Kekuatan Literasi Dasar
Walaupun memiliki daya kreatif, karakter dan pendekatan yang khas, dunia pendidikan membutuhkan literasi dasar yang kuat. Keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) adalah pilihan tepat dalam membangun pendidikan. Kehadiran komputer penghitung dan software analisis statistik yang canggih, maka kemampuan interpretasi data harus mendapat tempat untuk diasah dalam proses pembelajaran.
Media komunikasi boleh berubah, tetapi kapasitas baca-tulis harus tetap menjadi kekuatan. Kemunculan era disrupsi jangan jadi pembenar untuk menerlantarkan kapasitas literasi. Pendidikan sekolah dasar menjadi tumpuan untuk membudayakan minat berbahasa. Tanpa daya interpretasi dan daya berbahasa, perkembangan kreativitas manusia tak memiliki landasan kuat.
Tentu, semua penyesuaian dalam pendekatan dan metodologi pendidikan harus seiring dengan transformasi pendidikan karakter. Pengembangan karakter merupakan pendekatan holistik yang menghubungkan dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dan sipil kehidupan pembelajar. Dalam pendidikan karakter, moral itu ditangkap (caught) dengan keteladanan, bukan diajarkan (taught) dengan hafalan.
Cara mengajarkannya tak terisolasi dalam mata pelajaran tersendiri, tetapi melekat dengan seluruh rangkaian kurikulum dan melibatkan peran komunitas. Sifat-sifat karakter yang dikehendaki harus merembesi lingkungan belajar siswa, baik dalam kelas, jalan masuk, gimnasium, kafetaria, lapangan olahraga, maupun tempat-tempat lain yang kemudian terhubung dengan praktis moral dalam realitas masyarakat.
Dengan demikian, saya dapat mengatakan bahwa pendidikan adalah benih harapan kehidupan. Apabila masyarakat dilanda kekisruhan, kemandekan, dan keterpurukan, serta tak tahu kunci emansipasinya, justru pemungkasnya adalah pendidikan. Karena pendidikan memprioritaskan pengembangan manusia pembelajar yang kreatiff dan berkarakter.
Proses pendidikan harus mampu mengembangkan kreativitas berbasis keragaman kecerdasan insani dengan panduan kompas nilai yang dapat menjaga keselarasannya dengan tertib kosmos dan harmoni dunia.
Seperti seruan Ki Hadjar Dewantara bahwa manusia pembelajar bisa mangaju-aju salira, mengaju-aju bangsa, mangaju-aju manungsa (membahagiakan diri, membahagiakan bangsa, membahagiakan kemanusiaan). Dan jalan menuju kebahagiaan itu adalah berbahasa yang berkarakter.
*Penulis adalah Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng