Oleh: Lusiana Seriana Angka*
Indonesia merupakan negara yang memilki angka stunting yang cukup tinggi. Hal ini tentu mencengangkan karena masih ada sekitar 9 juta anak di Indonesia yang mengalami kekurangan gizi kronis atau stunting. Prevalensi stunting di Indonesia berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2016 mencapai 27,5 persen.
Menurut World Health Organization (WHO), masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis, terlebih lagi di 14 provinsi yang prevalensinya melebihi angka nasional.
Tingkat stunting sebagai dampak kurang gizi pada balita di Indonesia melampaui batas yang ditetapkan WHO. Kasus stunting banyak ditemukan di daerah dengan kemiskinan tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah.
Memang, angka stunting di Indonesia menurun, dari 29 persen pada tahun 2015 menjadi 27,5 persen tahun 2016. Adapun pada 2013, angka stunting nasional mencapai 37,2 persen. Namun, angka tersebut masih di atas batas yang ditetapkan WHO, yaitu 20 persen.
Presentase stunting di Indonesia juga lebih tinggi dibanding sejumlah negara Asia Tenggara seperti Vietnam (23 persen), Filipina (20 persen ), Malaysia (17 persen ), dan Thailand (16 persen ).
Berdasarkan titik sebaran, hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Sumatera Selatan dan Bali, memiliki presentase stunting di atas batas WHO. Adapun provinsi dengan stunting tertinggi adalah Sulawesi Barat (39,7 persen ) dan Nusa Tenggara Timur (38,7 persen ).
Menurut Kompas.com, angka stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih tinggi. Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, masih ada 15 kabupaten di NTT yang berkategori merah dalam kasus stunting.
Penyematan status merah tersebut yakni wilayah yang prevalensi stunting-nya masih di atas 30 persen. 15 kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Bahkan Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara memiliki prevalensi di atas 46 persen. Sementara sisanya, tujuh kabupaten dan kota berstatus kuning dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, di antaranya Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Tidak ada satu pun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berprevalensi stunting antara 10 hingga 20 persen.
Apa itu Stunting?
Masyarakat perlu mengetahui apa itu stunting. Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek. Penderita stunting umumnya rentan terhadap penyakit, memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal serta produktivitas rendah.
Tingginya prevalensi stunting dalam jangka panjang akan berdampak pada kerugian ekonomi bagi Indonesia. Stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak, dengan dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis.
Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan yang tercantum dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. Ini sejalan dengan The Copenhagen Consensus 2012 yang mendorong investasi untuk perbaikan gizi.
Investasi Perbaikan Gizi
Bicara tentang investasi, bukan hanya bicara soal uang semata, tetapi bagaimana memahami investasi secara lebih luas. Di sini, investasi perbaikan gizi berhubungan erat dengan menciptakan modal kesehatan sejak dini. Artinya, memperhatikan gizi anak-anak kita sejak dari janin sampai lahir dan proses tumbuh mereka.
Kata ‘modal’ bisa dipahami sebagai nilai-nilai positif atau baik yang ditanam saat ini supaya tidak membawa dampak pada masalah stunting. Untuk itu, masalah stunting dapat dicegah dengan memperhatikan beberapa pola yang sederhana, tetapi jarang diperhatikan dengan baik oleh semua pihak.
Pertama, pola makan. Masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap makanan dari segi jumlah dan kualitas gizi, serta sering kali tidak beragam.
Istilah “isi piringku” dengan gizi seimbang perlu diperkenalkan dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, memperbanyak sumber protein sangat dianjurkan, di samping tetap membiasakan mengkonsumsi buah dan sayur.
Kedua, pola asuh. Stunting juga dipengaruhi oleh aspek perilaku, terutama pada pola asuh yang kurang baik dalam praktek pemberian makan bagi bayi dan balita.
Hal ini dimulai dengan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan gizi bagi remaja sebagai cikal bakal keluarga hingga para calon ibu memahami pentingnya memenuhi kebutuhan gizi saat hamil dan stimulasi bagi janin, serta memeriksakan kandungan empat kali selama kehamilan.
Lebih lanjut, perlu juag bersalin di fasilitas kesehatan, lakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan berupaya agar bayi mendapat colostrum Air Susu Ibu (ASI). Pada tataran ini, bayi harus menerima ASI saja sampai berusia 6 bulan.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah memberi hak anak untuk mendapatkan kekebalan dari penyakit berbahaya melalui imunisasi yang telah dijamin ketersediaan dan keamanannya oleh pemerintah.
Ketiga, sanitasi dan akses air bersih. Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah akses sanitasi dan air bersih. Untuk itu perlu dibiasakan cuci tangan pakai sabun dan air bersih mengalir, serta tidak buang air besar sembarangan.
Dengan mengikuti pola hidup sehat dengan baik, masalah stunting di Indonesia pasti dapat teratasi dan perlahan-lahan angka stunting akan menurun. Jadi, kepada semua pihak, mulailah mengikuti pola hidup sehat untuk menjadi generasi penerus bangsa yang sehat dan berpotensi di masa kini dan masa yang akan datang.
*Penulis adalah Mahasiswa Keperawatan Universitas Santu Paulus-Ruteng