Maumere, Ekorantt.com – Keterikatan dengan hukum adat, membuat masyarakat menjadikan lembaga adat sebagai opsi untuk menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi, termasuk kekerasan seksual. Sayangnya penyelesaian kasus-kasus tersebut tidak berpihak kepada korban.
*
Perjalanan menuju kampung kelahiran Mude (bukan nama sebenarnya) berjarak 40 kilometer dari hiruk-pikuk kota Maumere. Suasana sepi sangat terasa di sepanjang perjalanan. Desa tempat Mude tinggal, sangat sering dijumpai tanjakan, jalanan berkelok. Banyak juga jalanan dengan lubang menganga.
Di desanya, beberapa tahun belakangan, kabar soal kasus kekerasan seksual sering kali terjadi. Mude menjadi salah satu dari sekian perempuan malang itu: jadi korban kekerasan seksual.
Usianya kini 23 tahun. Ia tak menamatkan pendidikan SD, dan memilih menghabiskan masa remaja dengan merantau ke Kalimantan. Ia juga pernah menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di salah satu kerabat. Pada akhirnya ia memutuskan kembali ke rumah dan menjadi petani.
Lokasi kebun milik orang tuanya itu bersebelahan dengan kebun milik si pelaku kekerasan seksual yang berusia 30-an tahun lebih tua dari Mude. Mude kemudian hamil. Sang ibu, Yani (bukan nama sebenarnya), baru mengetahui tindakan pelaku, saat kandungan Mude menginjak usia 7 bulan.
“Saya tanya ke dia, nona, siapa yang buat (menghamili) kau begini?” Yani menanyakan itu saat ia menemukan Mude sedang menangis di kamar. Baru saat itu, Mude mengakui bahwa ia hamil. Ia juga menyebutkan nama pelaku.
“Dia menunjukkan uang Rp50.000 kepada saya, dan bilang bahwa uang ini diberikan oleh pelaku saat mengajaknya berhubungan badan,” kata Yani dalam bahasa daerah.
Yani dan suami atau ayah Mude kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada ketua RT dan Linmas tingkat desa. Laporan mereka ditindaklanjuti. Pertemuan keluarga besar dari pihak ibu dan ayah Mude pun berlangsung, dan selanjutnya dipertemukan dengan keluarga besar si pelaku.
Pada hari yang ditetapkan, pelaku bersama keluarganya datang membawa tua wawi (moke dan babi; untuk ritus denda adat) serta uang tunai, babi, sarung dan moke untuk denda adat. Keluarga Mude menolak barang-barang bawaan dari pelaku.
“Tapi mereka tidak kasih watu tanah (bidang tanah) untuk anak kami,” kata Yani.
Pelaku dan keluarganya bersikeras untuk tidak memberikan bidang tanah kepada pihak korban dengan alasan karena hal ini tidak ada di kesepakatan awal. Pun jika memberikan watu tanah, anak yang dilahirkan harus diambil dan diserahkan kepada keluarga pelaku. Tentu saja keluarga Mude menolak.
Terdapat celah-celah yang sangat mungkin dimasuki dalam penyelesaian kasus Mude: ia bisa saja menjadi objek dari denda adat, atau mereka bisa saja menuduh Mude dan menyatakan bahwa hubungannya dengan pelaku atas dasar mau sama mau.
Penyelesaian adat kasus Mude membuat runyam dan menggantung. Dan akhirnya tak ada kesepakatan apa-apa karena kesepakatan tersebut merugikan Mude sebagai korban.
Pada akhirnya Mude tak mendapatkan keadilan apapun. Keluarganya sendiri yang mengusahakan biaya persalinan dan merawat Mude serta bayinya. Sang pelaku masih bebas dan tidak mendapatkan sanksi adat.
Korban seharusnya berhak menuntut haknya termasuk ganti rugi, namun itu juga tak bisa diselesaikan.
Kasus ini menambah deret kasus kekerasan yang tak bisa diselesaikan oleh lembaga adat karena keputusan adat justru merugikan perempuan korban. Situasi yang sama ditemukan oleh Tien Handayani Nafi dkk, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pada tahun 2015, mereka melakukan riset berjudul “Peran Hukum Adat dalam Menyelesaikan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Kupang, Atambua, dan Waingapu”. Penelitian ini menggunakan studi literatur data sekunder dari lembaga-lembaga layanan penanganan kasus kekerasan bagi perempuan, wawancara, dan pengamatan terlibat.
Salah satu temuan dalam penelitian ini menyatakan bahwa korban kekerasan seksual justru bisa dinikahkan dengan pelaku jika diselesaikan di lembaga adat. Jika korban menolak, maka kasus ini akan dibiarkan menggantung. Penyelesaian kasus ini tentu saja merugikan korban. Akibatnya, kasus kekerasan macam ini jarang diselesaikan secara adat.
Pada kasus lain, seorang anak berusia 12 tahun yang mengalami kekerasan seksual oleh keluarga angkatnya tidak mendapatkan keadilan apapun karena kekerasan yang ia alami tidak dilaporkan ke polisi atau lembaga adat.
Penelitian ini juga menyebutkan dalam masyarakat yang masih memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat dan nilai-nilai sosial budaya yang dianggap mengikat, kasus kekerasan terhadap perempuan lebih banyak diselesaikan melalui hukum adat ketimbang melalui ranah hukum negara.
Mekanisme melalui hukum adat ini dipilih karena dianggap mampu memulihkan hubungan antara keluarga pelaku dengan keluarga korban ataupun dengan masyarakat setempat.
Bagaimana sebenarnya alur penyelesaian kasus kekerasan seksual oleh lembaga adat?
Fransiskus Gelar, ketua lembaga adat di Desa Bloro, Kecamatan Nita menjelaskan kepada saya bagaimana alur menyelesaikan laporan kekerasan seksual dari warga desa. Lembaga adat di desa Bloro dibentuk pada tahun 2016, plus upaya menuliskan hukum-hukum adat yang telah ada di masyarakat. Hukum-hukum itu dijadikan Peraturan Desa (Perdes), sebuah usaha untuk memberi jiwa pada hukum adat dan diharapkan menjadikannya lebih kuat.
Fransiskus duduk bersama lima anggota lainnya dalam lembaga adat yang terwakilkan dari setiap dusun dan salah satu anggotanya adalah perempuan. Ia menyebutnya sebagai tim.
Bagaimana alur penyelesaian kasus kasus kekerasan seksual? Mulanya laporan diterima oleh ketua RT atau ketua RW untuk memediasi antara korban dan pelaku. Kemudian, keluarga korban dan keluarga pelaku akan dipertemukan.
Dalam pertemuan itu, korban pun turut dipertemukan dengan pelaku, dan lembaga adat ikut hadir. Pengadilan adat dimulai dengan sumpah adat. Pengadilan ini pun tidak mengharuskan pelapor untuk menyertakan bukti ataupun sanksi. Yang utama adalah pelaku telah mengakui perbuatannya.
Ketua RT/RW sebagai pemerintah desa bertugas memimpin ‘sidang’ dan bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus ini hingga selesai. Lembaga adat bertugas untuk mendampingi dan dipercayakan untuk menjalankan ritus-ritus dalam ‘pengadilan’ kasus tersebut dan memberikan sanksi-sanksi adat atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku.
Sanksi-sanksi adat dapat berupa barang: sarung, baju, kuda, babi, gading, uang tunai; hingga pengusiran dari kampung. Sanksi-sanksi itu diperhitungkan berdasarkan butir-butir hukum adat apa saja yang dilanggar dalam kasus tersebut.
Jika kasus kekerasan seksual, pemulihan nama baik dilakukan dengan memberikan utan labu (sarung dan baju) kepada korban. Sanksi adat lain berupa kuda, gading, dan uang tunai. Jika korban hingga memiliki anak, maka watu tana (bidang tanah) harus diberikan tanpa harus mengambil anak tersebut untuk masuk ke suku si pelaku.
Jika kesepakatan selesai, tua wawi (arak dan babi) akan diolah dan dimakan secara bersama-sama oleh orang-orang tua yang hadir termasuk lembaga adat. Makanan ini harus dihabiskan dan tidak boleh dibawa pulang ke rumah. Tua wawi menjadi ritus penutup.
Usai perkara adat selesai, hukuman sosial yang harus dijalankan oleh pelaku adalah bong atau berteriak dari rumahnya ke rumah adat (diganti dengan kantor desa setempat). Bong dilakukan untuk mengumumkan kesalahannya disertai pesan agar masyarakat lain tidak melakukan kesalahan yang sama.
Kesepakatan lain bersama masyarakat adalah perkara yang sudah diselesaikan tidak boleh diungkit lagi dan tidak boleh diceritakan. Hal ini untuk menghindari stigma kepada korban.
Sanksi adat yang besar disertai hukuman sosial yang keras dianggap memiliki kemampuan untuk memberikan efek jera kepada masyarakat dan memberikan keadilan bagi korban dan pelaku. Namun, mengapa kasus seperti yang dialami Mude tidak selesai? Mengapa masih ada kasus serupa di desa lain yang memiliki lembaga adat? Bagaimana jika denda adat malah menormalisasikan kekerasan seksual?
Satu hal lain yang tertinggal dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di meja adat: pemulihan korban secara psikologis. Bagian ini terlupakan dan korban membawa lukanya seumur hidup.
Apa yang salah?
Penyelesaian kasus kekerasan seksual di lembaga adat yang kini ada disadari betul tidak cukup ideal oleh Viktor Nekur, seorang pengacara sekaligus aktivis hukum adat di Flores sejak 2012. Ia mengajak saya untuk melihat ke belakang guna menjawab pertanyaan besar yang saya punya: apa yang menjadi persoalan utama dari penyelesaian perkara kekerasan seksual di lembaga adat? Apakah penyelesaian di meja adat menjamin bahwa tidak ada stigma yang diemban oleh korban? Mengapa dalam proses penyelesaiannya justru harus mempertemukan korban dan pelaku dan keduanya diberikan porsi yang sama dalam menyelesaikannya, padahal korban harus mendapatkan haknya dibanding pelaku. Mempertemukan korban dengan pelaku juga seharusnya tak boleh dilakukan karena membangkitkan kembali trauma korban.
Sejak dahulu, nenek moyang masyarakat menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan perkara-perkara di masyarakat hingga akhirnya kolonialisme datang dan menghancurkan struktur hukum adat. Saat kemerdekaan, Indonesia mulai meraba-meraba untuk menemukan pijakan hukum baru. Salah satu upayanya adalah mengadopsi hukum dari penjajah. Upaya lainnya adalah menggunakan hukum adat yang masih berlaku di masyarakat, terutama di masyarakat adat.
Indonesia sendiri mengakui hukum adat dan tertuang pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Perlu digaris bawahi pada pasal ini: negara hanya mengakui hukum adat, selama masih hidup.
Viktor kembali menjelaskan bahwa keadilan hukum adat dapat ditegakkan jika dua unsur penting terpenuhi: struktur hukum adat dan materi atau substansi hukum adat. Dua unsur tersebut akan membentuk budaya hukum yang baik.
“Di adat ini, ketika struktur adatnya hilang atau redup, maka materi hukum atau substansi hukumnya terbang bebas. Bagaimana kita akan mendapatkan suatu budaya hukum yang bagus?” katanya.
Hukum adat berguna untuk menjaga moral masyarakat. Jika substansi hukum yang menjadi pijakan ditafsirkan secara bebas, dan menjadi semakin rapuh, budaya hukum tak sanggup untuk menjaga moral masyarakat. Hal ini turut membuat kriminal sering kali terjadi di masyarakat dan penanganannya tidak cukup baik.
Sebenarnya, jelas Viktor, hukum adat sanggup menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang adil dan berpihak kepada korban. Hukum adat bersifat magis religi, mengikat, dan hukumannya jelas dan sangat keras bagi yang melanggar.
“Bahkan untuk menyentuh tubuh perempuan, harus bayar. Jika sampai punya anak, maka me dopo ama: anak harus mendapat tanah untuk hidupnya kelak, dan ibunya harus mendapat utan patan (sarung). Kasus inses, hukumannya adalah usir dari kampung.” kata Viktor.
Dari obrolan dengan Viktor, ada satu poin penting: hukum adat yang kokoh harusnya cukup ideal untuk menjawab kebutuhan korban kekerasan seksual: pemulihan nama baik, pemenuhan kebutuhannya sebagai seorang perempuan, dan bebas dari stigma masyarakat. Namun karena lembaga adatnya yang tidak kokoh baik struktur maupun substansi hukum, keadilan kepada korban tidak terpenuhi.
Apa yang perlu diperbaiki oleh lembaga adat?
Viktor, memberikan saran untuk memperkuat kapasitas lembaga adat dan pengakuan eksistensi lembaga adat secara formal. Kemudian diikuti dengan pendampingan oleh pemerintah desa pada lembaga adat desa untuk menuliskan kembali adat-istiadat, melestarikan nilai-nilai adat yang masih ada, dan bagaimana menyelesaikan kasus-kasus termasuk kasus kekerasan seksual.
“Pidana dan perdata adat harus dilatih, diselesaikan dan harus diemban oleh pemangku adat,” katanya. Sisanya adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang perlunya penegakan hukum melalui lembaga adat.
Lembaga adat juga harus menjalankan fungsinya selain menangani perkara-perkara adat, yaitu menggali dan mempertahankan nilai-nilai adat yang masih hidup di masyarakat termasuk melestarikan situs-situs adat. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, lembaga adat harus berkoordinasi dengan pemerintah desa.
Yosefina Daku, Dosen Hukum dari Universitas Nusa Nipa juga memberikan pandangannya tentang hukum adat dan perannya dalam menyelesaikan kekerasan seksual.
“Lembaga adat adalah mitra antara masyarakat adat dengan pemerintah. Bagaimana lembaga adat melindungi masyarakat adat ini jika masyarakat adat tidak menghidupi hukum-hukum adat?”
Yofin menegaskan bahwa masyarakat turut berperan serta untuk menghidupkan kembali hukum-hukum adat di wilayahnya. Lembaga adat harus paham betul tentang hukum-hukum adat. Lembaga adat harus punya aturan untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual, termasuk memiliki proses beracara secara adat. Substansi penyelesaian harus diatur. Struktur dan pedoman harus dimiliki oleh orang-orang yang menjabat di dalam lembaga adat. Lembaga adat juga perlu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, kebutuhan, dan kondisi masyarakat.
Yofin memberikan pandangannya nyaris sama seperti Viktor. Mereka menyarankan agar lembaga adat harus berbenah demi tuntutan dari permasalahan-permasalahan di masyarakat. Namun, perlu diingat bahwa butuh waktu lama untuk mencapai sebuah lembaga adat yang kokoh. Terlebih jika telah bersinggungan dengan kapitalisme, tantangannya pun menjadi berbeda.
Melihat situasi sekarang, apakah masih relevan jika kasus kekerasan seksual diselesaikan oleh lembaga adat?
“Tidak relevan lagi jika tidak ada proses yang jelas di lembaga adat, tidak ada orang yang ditunjuk untuk menjadi kepala adat untuk bisa mewakili kelompok-kelompok yang berseteru,” kata Yofin.
Yofin juga mengatakan bahwa hukum adat menjadi tidak relevan jika tidak menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekarang, termasuk kebutuhan korban untuk pemulihan.
Dulu, penyelesaian kekerasan seksual di ranah hukum formal masih tertatih-tatih, tapi kini kita sudah ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Seharusnya masyarakat bisa menggunakan UU ini tanpa terkekang oleh adat. Namun jika masyarakat harus menggunakan lembaga adat, maka ketentuan adat harus berubah seperti UU TPKS yang sangat progresif, aturan adat bisa mengadopsi hukum formal yang progresif.
Oleh: Carlin Karmadina (Volunteer Maumere TV)
*Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan “Perempuan Berdaya di Media” oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos dalam Kemitraan Program We Lead yang didukung Global Affairs Canada. Isi seluruh artikel menjadi tanggung jawab penulis.