Oleh: Eto Kwuta*
Sepak bola di NTT kembali mendapatkan satu catatan buruk. Laga bergengsi ETMC Lembata 2022 yang kita banggakan pun melahirkan satu kondisi chaos kala Perseftim Flores Timur menjamu Perse Ende, Jumat (23/9/2022).
Catatan jejak media, baik YouTube, Facebook, TikTok, dan lainnya menunjukkan, para suporter Perseftim Flores Timur merampas sportivitas, merusak nama baik Lewotana Lamaholot, dan menyesal kemudian tak ada gunanya. Apa sial, sampai perilaku destruktif mewarnai perjalanan ETMC Lembata 2022?
Sebagai anak yang lahir dari darah orang Lamaholot, saya menyayangkan peristiwa Jumat menyedihkan itu, karena menyusahkan, bahkan melukai jati diri ke-Lamaholot-an kita.
Politik Sepak Bola
Bicara politik sepak bola, ada orang yang lebih memahami politik dan filosofi sepak bola. Saya bukan pengamat, tapi saya memahami sedikit, salah satunya, nilai etika sepak bola.
Mari kita bicara dulu politik sepak bola. Dalam catatan sejarah, sepak bola Indonesia lahir dari alasan politik. Tujuannya, untuk menjadikan sepak bola itu sebagai alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang plural.
Pertanyaannya, salahkan politik yang tercermin dari sepak bola di Indonesia? Jawabannya, tidak ada salahnya, karena politik juga sarana untuk mengubah pola pikir masyarakat untuk bisa menjatuhkan pilihan tentang yang baik dan buruk, benar atau salah, dan lain-lain.
Sebagai contoh, banyak klub di Indonesia pernah didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ini berlangsung cukup lama, di mana pada saat itu banyak pejabat daerah memiliki tugas ganda, selain sebagai abdi masyarakat juga sebagai pengurus tim sepak bola.
Namun, setelah pemerintah mengeluarkan aturan untuk menghentikan penggunaan dana APBD untuk klub-klub sepak bola profesional di Indonesia pada 2012, maka gema politik berkurang.
Namun, ini bukan berarti sepak bola langsung memutus rantai hubungan dengan politik. Tidak sama sekali. Keduanya masih tetap erat, namun kali ini dengan jenis hubungan yang berbeda. Apakah itu? Contohnya, politisi A dari partai B menggunakan alat untuk merangkul klub C, mendanai diam-diam, dan mengharapkan balasan dan kekuatan penuh di belakangnya.
Di sini, prinsip Do ut Des menjadi satu slogan. Saya memberi supaya saya dapat menerima. Satu prinsip manusia lama dalam Gereja perdana sebagaimana dikisahkan dalam Sejarah Gereja.
Contoh ini, salah satunya. Masih ada banyak contoh politik menyentil sepak bola kita. Siapa yang terlibat, mereka memahami alur politik sepak bola di Indonesia.
Lalu, di NTT seperti apa dan bagaimana? Nah, saya mau membawa kita untuk memahami filosofi sepak bola yang sebenarnya.
Filosofi Sepak Bola
Bicara filosofi berarti kita bicara soal pengetahuan dan penyelidikan tentang akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, dan juga asal usulnya. Di dalamnya, ada logika, estetika, dan lainnya.
Jadi, filosofi sepak bola itu sebenarnya indah dan menyenangkan. Dan, yang membuatnya tidak indah adalah ketika kita tidak menggunakan logika.
Hal ini terjadi dalam ETMC Lembata 2022. Kala Perseftim vs Perse Ende, logika para suporter berada dalam situasi kritis, penuh emosi, dan tercebur dalam fanatisme yang kencang.
Hasilnya, gerakan massa lebih kuat sehingga muncul perpecahan. Otak tidak lagi digunakan. Yang mendominasi adalah wilayah egoisme, profokasi massa, hingga muncul mobokrasi. Sikap demokratis tak lagi penting. Intinya, merusak dan merasa bangga dengan dosa. Apakah ini benar?
Melihat suporter Perseftim Flores Timur, saya menangis di dalam hati kecil, karena filosofi tak lagi benar-benar filosofis, sportivitas menjadi tak lagi berkualitas, hingga logika menjadi begitu asing dan mati.
Di sini, estetika ikut ternodai. Seninya sepak bola pun tidak memiliki cita rasa nurani ke-Lamaholot-an dalam nuansa gemohing (kerja sama), tetapi menciptakan narasi “kekolotan”. Pertanyaan, bagaimana filosofi sepak bola sesungguhnya di NTT?
Pertama, belum sportif. Kalah tetapi tidak kalah, menang tetapi tidak menang. Hasilnya, baku pukul; atau dalam bahasa Nagi, bikin kaco.
Motif ini dalam bahasa saya sebagai pecinta sepak bola, adalah kemunduran pendidikan dasar, seperti etika, sopan santun, Pancasila atau Kewarganegaraan saat ini, dan sejenisnya.
Oleh karena pendidikan dasar mengalami kemunduran, maka otomatis berimbas pada Sumber Daya Manusia (SDM). Mau tidak mau, fenomena suporter Perseftim Flores Timur bersentuhan dengan SDM. Jika itu benar, apakah kita tidak mengakuinya?
Kedua, belum menerima hukum metafisika. Siapa yang menang, dia pantas menang karena realitasnya, dia menang. Tentu, siapa yang kalah perlu menerima kekalahan, bahwa dia memang kalah.
Ini adalah sebuah hukum kesadaran dan yang mengikutinya adalah sikap nasionalisme dan demokratis. Rasa cinta tanah air (Nagi Tanah) bukan dengan cara merusak kebhinekaan dalam sepak bola, tetapi mesti ditunjukkan dengan membangun keadilan sosial bagi siapa yang menang.
Kalau Perse Ende menang, maka sebagai suporter, Anda dan saya memang kecewa, kesal, dan barangkali marah, tetapi bukan dengan logika yang “mandul”.
Jujur, saya anak tanah Lamaholot, yang tinggal di Ende, merasakan bahwa, internalisasi nilai-nilai budaya lokal dengan spirit Sampe Dopi Kepo (Sampai Tetes Darah Penghabisan) itu tak ada faedahnya. Itu hanya semboyan yang bergelora dalam diri para pemain-pemain Perseftim saja, tetapi tidak dimiliki oleh suporternya sendiri.
Sayangnya, sikap fanatik yang berkembang menjadi tindakan destruktif itu akhirnya merusak nama klub, Lewotana, hingga harga diri ke-Lamaholot-an ikut diejek di media sosial dan terekam dalam catatan sejarah.
Bagaimana menyembuhkan luka ini? Terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Tapi, alangkah baiknya kita menerima ini sebagai pelajaran berharga untuk masa yang akan datang.
Ketiga, belum memahami filosofi sepak bola. Kita terbiasa membawa identitas kelompok tertentu dan merasa kitalah yang paling benar. Tapi sebenarnya, kita salah.
Ketika ke-Lamaholot-an diagungkan oleh segelintir orang dan mewakili kelompoknya, maka benih radikalisme dan fanatisme bisa saja bermunculan. Bukan sebatas pada agama saja, tetapi dunia sepak bola juga paling sering melahirkan narasi tentang paham-paham tertentu.
Jadi, jangan salahkan wasit, polisi, atau TNI, karena kita merasa yang paling benar, besar, dan kekar, bahkan sulit terkalahkan. Ingat, di atas awan masih ada langit!
Keempat, belum tumbuh secara kuat nilai pluralitas dalam sepak bola. Orang hanya memikirkan etnisnya semata, agamanya saja, bahkan suku miliknya sendiri. Padahal, ini salah.
Dalam sepak bola, pluralitas sebenarnya mempersatukan semua yang berbeda. Bola adalah alat untuk memperkuat perbedaan, merawat kebinekaan, dan mengukir prestasi yang membanggakan.
Sayangnya, nilai ini tak dimiliki oleh suporter Perseftim Flores Timur sehingga, yang mendapat soal adalah para pemain dan pelatih. Mereka harus menanggung pinalti dan ini adalah kondisi terburuk yang mau tidak mau harus diterima.
Dengan begitu, Perseftim Flores Timur akan membayar dosanya suporter. Ini sebagai absolusi yang memerdekakan. Mau tidak mau, kita harus mau. Suka tidak suka, kita harus suka.
Tujuannya, supaya revolusi mental sepak bola kita tidak disebut kampungan dan kolot, tidak berperikemanusiaan dan berperikeadilan, tetapi orang bisa bilang: Ini baru Lamaholot! Ini PSN Ngada. Ini Perse Ende. Ini sepak bola NTT. Luar biasa, kan?
Apakah kita menginginkan misi dan spiritualitas ini? Oleh karena itu, mari kita berbenah dan menerima kekalahan sebagai kalah, bukan membangun api permusuhan di antara kita, menciptakan jarak, lalu saling mempersalahkan. Kita satu dalam sepak bola karena sepak bola menjadi alat memersatukan pluralitas yang kita punya. Salam ETMC Lembata 2022.
*Anak Asli Flores Timur, Tinggal di Ende