Oleh: Bayu Prasetya Basuki*
UMKM merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia. Sebutan ini bukannya tanpa sebab. Sektor ini telah terbukti mempunyai daya tahan tinggi sehingga mampu bertahan di tengah-tengah krisis yang pernah melanda Indonesia.
Data dari Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkopukm) tahun 2019 menunjukkan, UMKM mampu memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 60,51% atau setara Rp9.580 triliun. Dari sisi penciptaan lapangan kerja, UMKM mampu menyediakan pekerjaan bagi 119,56 juta orang atau sebesar 96,92% dari total tenaga kerja di Indonesia.
Data-data ini relatif tidak mengalami banyak fluktuasi dari tahun ke tahun. UMKM mampu terus tumbuh di tengah pasang surut ekonomi Indonesia.
Pandemi Covid-19 nyatanya memberikan pukulan telak kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pembatasan mobilitas manusia dalam upaya mencegah penularan Covid-19 membuat banyak UMKM harus menutup usahanya selama pandemi. Hal ini ditunjukkan dari kinerja produksi industri mikro kecil (IMK) yang tumbuh negatif sepanjang 2020.
Sepanjang tahun tersebut, produksi IMK mengalami penurunan hingga 17,63% (year on year). Pertumbuhan negatif ini belum pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Seiring dengan kinerja yang memburuk, sebagian usaha IMK tidak mampu bertahan saat pandemi.
Kebijakan pemberlakuan PPKM sejak awal pandemi yang kemudian menjadi lebih ketat saat gelombang Covid lanjutan memberikan pukulan yang lebih telak terhadap UMKM.
Survei Mandiri Institute kepada 2.944 UMKM menunjukkan sebanyak 19,3% UMKM harus tutup karena kebijakan pencegahan Covid-19 tersebut sedangkan 47% UMKM membatasi operasinya selama PPKM berlangsung.
Pembatasan jam operasional ini berpengaruh negatif pada omzet usaha UMKM. Sebanyak 72,04% responden UMKM menyatakan omzetnya turun sepanjang Juli-Agustus 2021. Data menunjukkan, sejak sebelum krisis ekonomi dan moneter tahun 1997 hingga tahun 2022 UMKM mendominasi lapangan usaha di Indonesia.
Mengutip BPS, pada tahun 1996 ada sebanyak 38,9 juta unit usaha pelaku UMKM yang sebagian besar berasal dari sektor pertanian. Selanjutnya Kementerian Koperasi dan UKM mencatat sampai dengan tahun 2019 jumlah UMKM di Indonesia mencapai 65,47 juta unit. Dari data tersebut 64,6 juta unit atau 98,67% merupakan usaha mikro, sedangkan 798.679 unit atau 1,22% merupakan usaha kecil.
Usaha menengah menempati porsi paling kecil yaitu sebanyak 65.465 unit atau 0,1%. Usaha mikro walaupun secara jumlah sangat mendominasi, namun kontribusinya terhadap PDB hanya berada pada kisaran 37,8% saja. Usaha mikro dan kecil ini yang perlu didorong untuk naik kelas sehingga mampu memberikan sumbangan lebih besar kepada perekonomian.
Belajar dari krisis moneter 1998, pemerintah kembali menaruh harapan kepada UMKM untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam upaya pemulihan pasca pandemi. Jumlah UMKM yang sangat besar dengan daya serap tenaga kerja yang tinggi menyediakan basis ekonomi yang kuat. UMKM juga mampu mengembangkan kemandirian masyarakat karena pelaku usahanya adalah mayoritas warga lokal.
Selain itu UMKM banyak menggunakan sumber daya lokal sehingga dapat memberikan multiplier effect kepada sektor usaha lainnya. Faktor pendukung lain adalah UMKM dekat dengan sektor primer masyarakat sehingga dinilai dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang oleh konsumsi masyarakatnya. Alasan-alasan inilah yang membuat pemerintah berkepentingan untuk membuat UMKM naik kelas dan tumbuh lebih kuat.
Selama ini upaya pemberdayaan UMKM masih menghadapi tantangan dan hambatan. Beberapa di antaranya adalah keterbatasan akses pasar, kurangnya sumber daya manusia yang terampil, terbatasnya penggunaan teknologi dan akses ke layanan keuangan yang belum optimal. Kondisi ini masih diperparah oleh infrastruktur yang kurang memadai di daerah terpencil.
Hal ini yang mendorong pemerintah merancang kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional-Dukungan UMKM. Program PEN-Dukungan UMKM ini melibatkan seluruh kementerian/lembaga negara, BUMN dan perbankan.
Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara dan pengelola fiskal tidak ketinggalan melalui komitmen untuk menggunakan seluruh instrumen APBN untuk mendukung pengembangan UMKM di Indonesia. Komitmen tersebut diwujudkan dengan merancang program sinergi pemberdayaan UMKM oleh masing-masing eselon I Kementerian Keuangan.
Dalam program sinergi ini, masing-masing Unit Eselon I Kementerian Keuangan mengambil peranan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Wakil Menteri Keuangan dalam acara Kick-Off Program Sinergi Pemberdayaan UMKM dan Sekretariat Bersama Kemenkeu di Palembang tanggal 18 Maret 2022 mengatakan pembagian tugas masing-masing eselon I di antaranya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membantu dari sisi perpajakan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dengan authorized economic operator-nya sehingga membantu UMKM untuk dapat melakukan ekspor dengan cepat.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara (DJPb) membantu dari sisi permodalan melalui penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan pembiayaan usaha mikro bagi Usaha Mikro. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang melakukan kegiatan lelang UMKM serta program Keringanan Utang untuk membantu UMKM yang terkendala dalam penyelesaian utang.
Selain itu Kementerian Keuangan juga mendorong UMKM masuk ke pasar digital (digital marketplace) melalui pengembangan ekosistem digital Indonesia baik di bidang infrastruktur digital maupun akses layanan digital. Kementerian Koperasi dan UKM memperkirakan potensi ekonomi digital UMKM tumbuh mencapai nilai 4.531 triliun pada tahun 2030. Potensi tersebut dengan memperhitungkan terbukanya akses pasar yang lebih luas dalam ekosistem digital.
Data yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan sebanyak 87 persen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia telah menggunakan internet dalam berbisnis.
Sebanyak 73 persen UMKM tersebut telah memiliki akun marketplace untuk menjual produknya. Tidak hanya itu, studi yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan tingkat resiliensi UMKM yang telah tergabung di pasar digital terbukti cukup kuat.
Sedangkan studi lain yang dilakukan oleh Singtel Singapore pada 2019 menunjukkan, UMKM yang telah mengadopsi teknologi digital akan mengalami kenaikan pendapatan sebesar 26%. Selain peningkatan pendapatan, studi UMKM oleh ASEAN menunjukkan digitalisasi meningkatkan efisiensi UMKM dengan mengurangi ongkos produksi sebesar 44%.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan selain menyalurkan pembiayaan Umi dan KUR, dalam upaya mendorong penciptaan nilai ekonomi baru UMKM telah membentuk platform Digipay untuk membuka kesempatan bagi UMKM menjadi penyedia barang jasa pemerintah. Berbeda dengan aplikasi e-catalogue yang selama ini digunakan dan dikembangkan oleh LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik), pengadaan barang/jasa pemerintah pada Digipay bersumber dari dana uang persediaan yang setiap transaksinya tidak melebihi 50 juta rupiah.
Sifat penyediaan barang pada Digipay yang tidak terlalu besar di setiap transaksinya diharapkan memudahkan UMKM untuk bergabung menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah. Jenis usaha yang dapat bergabung menjadi mitra kerja pemerintah misalnya penyedia alat tulis kantor, penyedia konsumsi atau katering, barang persediaan semacam tinta printer, pemeliharaan AC, penyedia jasa pemeliharaan kendaraan bermotor dan kebutuhan kantor lainnya.
Selain platform Digipay yang diinisiasi oleh Ditjen Perbendaharaan, LKPP juga telah membangun Bela Pengadaan untuk belanja langsung kementerian/lembaga dengan nilai paling tinggi Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Dikutip dari laman LKPP, Bela Pengadaan merupakan program untuk mendukung Program UMK Go Digital melalui proses belanja langsung K/L/PD yang bernilai paling tinggi Rp50.000.000 (Lima puluh juta rupiah) kepada UMK yang tergabung dalam marketplace yang sudah terintegrasi dalam Bela Pengadaan.
Saat ini satuan kerja kementerian/lembaga telah diwajibkan untuk bertransaksi melalui Bela Pengadaan dan dilaporkan ke KPK sebagai perwujudan pengelolaan keuangan pemerintah yang transparan sesuai dengan saran BPK.
Seiring langkah UMKM masuk ke dalam pasar digital, diperlukan pula sistem pembayaran digital. Pemerintah melalui Bank Indonesia telah mencanangkan gerakan nasional non-tunai pada tahun 2014. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk menciptakan sistem pembayaran yang aman, efisien dan lancar serta membiasakan masyarakat untuk melakukan transaksi secara cashless melalui uang elektronik.
Platform digital marketplace dirancang untuk dapat mengoptimalkan penggunaan uang elektronik dalam pembayaran transaksinya. Transaksi menggunakan uang elektronik memberikan banyak kemudahan terutama jika transaksinya lintas provinsi, lintas pulau maupun lintas negara yang tidak dapat menggunakan metode cash-on-delivery.
Selama pandemi covid-19, uang elektronik menjadi pilihan utama transaksi sehari-hari bagi masyarakat. Hal ini tidak lepas dari anjuran meminimalisir kontak antar manusia untuk menekan penularan virus corona. Tercatat pada bulan Mei 2020 transaksi uang elektronik di Indonesia sebesar 15,03 triliun rupiah. Sedangkan pada bulan Desember 2021, transaksi yang tercatat mencapai 35,31 triliun rupiah.
Secara rata-rata, transaksi bulanan uang elektronik selama Mei 2020 – Desember 2021 sebesar 22,33 triliun rupiah. Data lain dari CORE Indonesia mengungkap 73 persen dari 2.001 UMKM yang menjadi responden survei lebih sering bertransaksi menggunakan uang elektronik yang disediakan oleh salah satu aplikasi dompet elektronik. Berbanding lurus dengan peningkatan penggunaan uang elektronik, sekitar 70 persen UMKM mengalami kenaikan transaksi harian dan pendapatan bulanan pada kisaran 27-30 persen.
Dalam upaya optimalisasi pengelolaan belanja pemerintah, platform Digipay dan Bela Pengadaan mengadopsi pembayaran transaksi secara cashless. Satuan kerja Kementerian/Lembaga menggunakan uang persediaan baik tunai maupun porsi Kartu Kredit Pemerintah. Pembayaran menggunakan porsi UP tunai dilakukan menggunakan CMS (cash management system)/overbooking yang saat ini telah wajib diaplikasikan oleh semua satuan kerja Kementerian/Lembaga yang telah mempunyai rekening virtual account.
Setidaknya ada beberapa keunggulan dari penggunaan uang elektronik sebagai sarana pembayaran, di antaranya menghindari peredaran uang palsu, mengurangi minat orang untuk membawa uang tunai dalam jumlah banyak yang pada gilirannya akan meminimalisir tindakan kriminal perampokan, mempermudah dan mempercepat proses transaksi, dan mengendalikan peredaran uang.
Jumlah uang beredar di masyarakat yang terlalu banyak dapat memicu timbulnya inflasi sehingga perlu dikendalikan, salah satunya melalui intensifikasi transaksi non-tunai.
Di masa mendatang, UMKM yang ingin naik kelas harus bergabung dengan pasar digital. Setidaknya ada beberapa alasan pendukung di antaranya untuk menjangkau pasar yang lebih luas mengingat jumlah pengguna internet yang semakin meningkat.
Pasar digital juga menawarkan kemudahan berusaha. Tanpa perlu membuka toko fisik, pelaku UMKM sudah dapat memulai usaha. Etalase produk dan promosi dilakukan melalui media sosial, website maupun marketplace. Data dari wearesocial menunjukkan, 48% pengguna internet di Indonesia melakukan pencarian barang atau jasa secara daring, 46% pengguna mengunjungi toko daring, 34% pengguna melakukan transaksi online via komputer atau laptop, dan 33% pengguna lainnya melakukan transaksi melalui smartphone.
Hal ini memperlihatkan, potensi penggunaan digital marketplace dan internet sebagai media untuk memasarkan produk sangat menjanjikan di Indonesia. Pemberdayaan UMKM melalui digitalisasi ini pada gilirannya dapat membawa multiplier effect kepada perekonomian melalui penciptaan lapangan kerja baru melalui transmisi langsung maupun tidak langsung, meningkatkan nilai barang dari sebelumnya bahan mentah menjadi barang siap pakai, dan meningkatkan kontribusi UMKM dari 61 persen terhadap PDB menjadi 63 persen di tahun 2023 sebagaimana diproyeksikan oleh Kementerian Koperasi dan UKM.
*Pegawai KPPN Larantuka