Maumere, Ekorantt.com – Masyarakat adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut menyatakan tidak sepakat dan menolak peletakan titik koordinat dan penanaman pilar oleh PT. Krisrama dan Kantor BPN Sikka. Aksi penolakan tersebut dilakukan dengan menggelar ritual adat.
Ritual dilakukan secara simbolik di pilar koordinat di Likong Gete dan pilar batas di Wair Hek, Desa Likong Gete, Kecamatan Talibura pada Senin, 14 November 2022.
Menurut Tana Pu’an Soge Natarmage, Gabriel Manek, kedua komunitas adat menilai aksi penanaman pilar sebagai watu hidin ai pok atau hal-hal yang menghambat perjuangan kedua komunitas adat untuk mendapatkan hak atas tanah warisan leluhur mereka.
Oleh karenanya, ritual tersebut merupakan cara kedua komunitas meminta bantuan pada leluhur dan alam untuk menyingkirkan hal-hal jahat tersebut.
Ritual dipimpin oleh Tana Pu’an Soge dan Tana Pu’an Goban, bersama para tokoh adat serta anggota suku. Ritual dimulai dari blevak atau balai pertemuan masyarakat adat di Utan Wair, Desa Nangahale.
Selanjutnya 500-an peserta melakukan long march menuju kedua lokasi. Mereka membawa sejumlah spanduk yang berisikan penolakan terhadap pemasangan pilar pada 4, 5 dan 8 hingga 10 November 2022.
Sampai di lokasi pilar, para tetua adat kembali melakukan ritual dan ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap oleh kedua Tana Pu’an.
“Kami protes dan tegas menolak pemasangan pilar karena belum ada kesepakatan mengenai tanah, tata batas dan luas lahan dengan kami sebagai masyarakat adat,” tegas Tana Pu’an Goban Runut, Leonardus Leo Goban dalam pernyataan sikapnya.
Meskipun demikian, para peserta ritual tidak melakukan pencabutan pilar agar menghindari upaya kriminalisasi terhadap anggota komunitas adat.
Selain melakukan ritual kedua komunitas juga menyurati pihak BPN/ATR untuk menyatakan keberatan dan penolakan.
Bentuk Keberatan
Sementara itu, anggota Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (DAMANAS), Anton Johanis Bala menyatakan aksi kedua komunitas adat tersebut sah sebagai bentuk keberatan terhadap tindakan hukum berupa pemasangan pilar.
“Ini adalah bukti bahwa proses ini belum clean and clear. Dengan aksi ini, masyarakat adat berharap BPN/ATR secara eksplisit mencantumkan keberatan warga dalam berita acara pengukuran agar tidak keluar izin HGU,” tegas Koordinator Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Regio Bali Nusra di Utan Wair pada Senin, 14 November 2022.
Menurutnya, masyarakat adat tidak mau bergerak langsung pada hari-hari H karena selain mereka sibuk di kebun di awal musim tanam ini, juga kerena mereka menghindari benturan terjadi dengan para pencari makan dan aparat seperti pada peristiwa yang sama sebelumnya pada tanggal 18-22 Januari 2022 yang lalu.
Mereka lebih memilih melakukan perlawanan secara lebih terorganisir dan dengan jalan damai. Selain itu, mereka juga hendak melakukan evaluasi, konsolidasi gerakan, dan menolak bencana kebohongan yang terus melanda.
Dirinya berharap semua pihak agar memahami dengan baik PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Secara implisit dijelaskan bahwa proses keberatan itu sampai dengan 5 tahun tidak perlu digugat di pengadilan tetapi bisa diproses secara administratif.
Aksi ini juga sekaligus membantah klaim bahwa telah ada kesepakatan di Lantai 3 Kantor Bupati Sikka antara masyarakat adat dengan para pihak.
Perlu diketahui, pada Sabtu, 8 Oktober 2022 lalu dilakukan pertemuan yang menghadirkan Pemda Sikka, BPN Sikka, PT.Krisrama, dan masyarakat adat.
“Mereka yang hadir saat itu bukan urusan dari masyarakat adat,” tegas Tana Pu’an Goban, Leonardus Leo Goban.
Selain itu, Maria Yustina dan Yakobus Juang, yang juga ikut dalam pertemuan itu telah menegaskan di hadapan komunitas pada Minggu, 13 November 2022 bahwa tak ada kesepakatan apa pun dalam pertemuan 8 Oktober 2022 lalu. Dari puluhan warga yang dikonsolidasi oleh Yusuf Lewor Goban, hanya satu orang yang mendapatkan surat undangan.
Klaim serupa juga pernah terjadi di bulan Januari ketika PT. Krisrama dengan menggunakan jasa pekerja bayaran melakukan penanaman pilar dan dicabut oleh masyarakat adat.
Pemda Sikka menyatakan bahwa sudah ada kesepakatan pada 22 Desember 2020 di ruang kerja Bupati. Klaim ini dibantah sebab kala itu masyarakat adat hanya hadir untuk mendengarkan Bupati dan PT. Krisrama berbicara. Tidak ada perundingan apalagi kesepakatan.
Bupati Sikka Khianati SK Yang Dikeluarkannya Sendiri
Adapun alasan kedua komunitas adat menolak dan menyatakan keberatan dikarenakan mereka menilai proses penanaman pilar dan peletakan titik koordinat tidak sesuai dengan tahapan sebagaimana tercantum dalam SK 134/HK/2020 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian Konflik HGU Nangahale yang dikeluarkan oleh Bupati Sikka, Robi Idong.
Perlu diketahui, awalnya Bupati Sikka mengeluarkan SK No. 134/HK/2020 tentang Tim Terpadu Penyelesaian Konflik dan mengajak masyarakat adat beruding.
Masyarakat adat saat itu, dianggap sebagai pihak yang berhak dan berkepentingan terhadap tanah Eks HGU tersebut sehingga mereka diposisikan sebagai narasumber dan partner berunding oleh Tim Terpadu.
Pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 2020, pada saat terjadi sosialisasi SK Bupati dan Tim Gabungan, Plt Sekda Sikka kala itu, Sirilus Wihelmus dengan lantang menegaskan bahwa Tim Terpadu ini adalah tim terakhir untuk penyelasaian konflik HGU.
Demikian juga, Kepala Pertanahan Kabupaten Sikka memaparkan alur proses dan tahapan penyelesaian konflik tersebut, mulai dari pembuatan peta eksisting lokasi HGU, sosialisasi hasil peta eksisting, dan perundingan mengenai letak dan luas lahan berdasarkan kebutuhan para pihak.
Selanjutnya bila tercapai kesepakatan, maka tahap berikutnya adalah pengukuhan melalui SK Bupati untuk seterusnya dilakukan pendeklarasiann serta pada akhirnya bersama-sama ke Kementrian ATR/BPN untuk meminta penetapan.
Baik masyarakat adat maupun AMAN dan PPMAN sebagai organisasi yang mendampingi kedua komunitas menilai ada kejanggalan, pasalnya PT. Krisrama yang meskipun posisinya sama seperti masyarakat adat menurut peraturan perundang-undangan justru tergabung dalam Tim Terpadu sementara masyarakat adat justru berada di luar tim dan dijadikan narasumber.
Pemasangan pilar ini sudah mendahului tahapan sebagaimana ditawarkan Bupati melalui SK 134/HK/2020. Selama hampir dua tahun ini, tahapan yang baru dijalankan adalah pembuatan peta eksisting, sosialisasi peta eksisting dan perundingan.
Sampai pada tahap kedua, masyarakat adat mulai kecewa, pasalnya luas lahan HGU seluruhnya 868.730 Ha itu hanya akan diberikan kepada masyarakat 92 Ha untuk kurang lebih 1000 KK. Sisanya untuk HGU 302 Ha, konservasi (belum ada luasnya), dan tanah cadangan negara (belum ada luasnya pula). Presentasi kali ini juga tanpa peta eksisting.
Bukan hanya itu, sekitar bulan Mei atau Juni, Bupati dan Uskup diduga berangkat ke Jakarta menemui Menteri ATR/BPN dan memohon pembaruan HGU seluas 380 Ha dari sebelumnya hanya 302 Ha menurut PT. Eksisting tersebut. Dan berita lanjutannya Kepala Kantor Pertanahannya-pun dipindahkan.
“Sampai di sini, kita bisa lihat dan memberikan penilaian. Apakah janji di awal SK No. 134/HK/2020 dan sosialisasi awal Tim Terpadu sungguh terbukti direalisasikan? Apakah semua tahapannya telah dilaksanakan? Ternyata tidak. Masyarakat adat kena prank. Yang pasti sampai dengan saat ini, kami belum tahu mengapa SK tersebut ditelikungi oleh PT. Krisrama dan Bupati,” tegas Anton Johanis Bala.
Menurutnya, saat ini yang tampak adalah upaya sistematis dari Pemerintah Kabupaten Sikka dan PT. Krisrama untuk memanfaatkan jalur formal (jajaran ATR/BPN di semua tingkatan) agar mendapatkan ijin secepatnya melalui proses-proses yang sedang berjalan ini. Termasuk salah satunya melengkapi data adminitratif berupa tata batas obyek usulan HGU.
Oleh karenanya, Anton Johanis Bala menghimbau Uskup Maumere selaku pemilik PT. Krisrama agar tidak berprasangka buruk terhadap masyarakat adat dan menjalankan perundingan secara damai.