Oleh: Yulius Regang*
Membaca istilah “inklusif” terasa aneh di kuping karena istilah ini belum familiar di kalangan masyarakat umum.
Kata “inklusif” baru dipopulerkan akhir-akhir ini dan maknanya pun belum seutuhnya dipahami oleh masyarakat luas.
Inklusif berasal dari Bahasa Inggris yaitu “inclusion” yang artinya mengajak masuk atau mengikutsertakan (Bdk. KBBI).
Mengacu pada batasan kata “inklusif,” Jurnalis Warga berusaha mendorong kelompok rentan (difabel, LGBT, lansia dan generasi milenial) untuk terlibat dalam pemilu 2024.
Pada sisi lain, Jurnalis Warga juga mendorong keterbukaan masyarakat luas untuk menerima, berinteraksi, dan toleran dengan kelompok rentan.
Mengapa Jurnalis Warga mendorong Pemilu Inklusif? Karena sebagai warga negara, kelompok rentan dan masyarakat umum lainnya mempunyai hak yang sama untuk berekspresi dan berpartisipasi dalam menentukan nasib bangsa dan negara. Mereka juga mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih dalam hajatan demokrasi lima tahunan.
Problemnya, kelompok rentan seperti, difabel, LGBT, lansia, dan generasi milenial, masyarakat adat dan perempuan kurang berperan dalam menyalurkan hak-hak politiknya saat Pemilu. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor sebagai berikut.
Pertama, menguatnya stigma dan diskriminasi terhadap kelompok difabel dan LGBT. Khusus bagi kelompok yang sudah mengidentifikasikan diri sebagai transpuan.
Kelompok ini tidak mau menyalurkan hak politiknya saat Pemilu, karena identitas kependudukan terutama nama tidak sesuai dengan nama yang diinginkan. Kelompok transpuan merasa tidak nyaman Ketika nama yang terdaftar sebagai pemilih masih menggunakan nama baptis.
Kedua, minimnya dukungan keluarga terhadap kelompok difabel, LGBT dan lansia, untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan publik termasuk Pemilu.
Ketiga, masih ada difabel, generasi milenial dan LGBT yang belum memiliki dokumen kependudukan terutama KPT.
Keempat, difabel dan LGBT tidak atau belum terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu.
Kelima, minimnya sosialisasi tentang Pemilu kepada generasi milenial dan kelompok rentan lainnya. Generasi milenial tidak peduli dengan urusan politik, karena tidak menguntungkan bagi mereka.
Keenam, aksesibilitas bagi difabel dan lansia. Tempat Pemungutan Suara jauh dari jangkauan kelompok difabel dan lansia terutama di daerah-daerah di luar kota dan TPS yang dibuat, belum ramah terhadap difabel dan lansia.
Inilah masalah-masalah kunci yang menghambat kelompok rentan untuk berpartisipasi dalam hajatan demokrasi lima tahunan.
Suara-suara kelompok rentan ini hendaknya diperhatikan dan dipertimbangkan dalam menempuh langkah-langkah strategis demi kebaikan bersama.
Peran Jurnalis Warga
Secara gamblang, peran Jurnalis Warga untuk Pemilu Inklusif, sudah disentil pada bagian awal dari tulisan ini. Namun, Jurnalis Warga yang tergabung dalam Pena Inklusi (Pensil) sadar bahwa peran Jurnalis Warga untuk mendukung pemilu 2024 yang inklusif dibatasi ruang dan waktu.e
Perlu diketahui, Jurnalis Warga tidak sama dengan jurnalis profesional, walau area perjuangannya sama menghasilkan karya-karya jurnalistik.
Jurnalis Warga yang terdiri dari Difabel, LGBT, dan generasi milenial, memposisikan diri sebagai mediator yang menjembatani antara kelompok rentan yang satu dan kelompok rentan yang lain; menyebarluaskan informasi, melakukan edukasi dan sosialisasi tentang pemilu kepada difabel, LGBT, generasi milenial, kelompok yang suaranya tidak di dengar, masyarakat adat dan kelompok perempuan melalui karya-karya jurnalistik.
Harapannya kelompok rentan dapat berbicara tentang dirinya sendiri, kebutuhan dan hak-haknya dalam Pemilu 2024 mendatang.
Program Jurnalis Warga untuk Pemilu, merupakan gerakan Jurnalisme Warga untuk menciptakan ruang-ruang inklusi sosial bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengambil bagian dalam menyukseskan pesta demokrasi lima tahuan.
Peran penting Jurnalis Warga dalam menyukseskan Pemilu 2024 yang demokratis, berkualitas dan inklusif hadir dalam bentuk konten-konten kreatif, seperti berita, opini, audiovisual, feature, podcast dan flyer yang disebarluaskan melalui media cetak maupun online serta sosial media.
Akhirnya di penghujung tulisan ini, dan mengacu pada persoalan-persoalan krusial yang dihadapi oleh kelompok rentan dalam tulisan ini, maka penulis menitipkan catatan pinggir untuk diingat dan ditindaklanjuti baik oleh penyelenggara Pemilu maupun masyarakat umum.
Pertama, membangun kerja sama multi pihak untuk mendukung tercapainya pemilu yang demokratis, berkualitas dan inklusif.
Kedua, jangan korbankan hak-hak masyarakat rentan hanya karena faktor kelalaian, karena pengabaian hak-hak warga negara akibat kelalaian merupakan bagian dari kecelakaan demokrasi.
Ingat, “no one left behind” (tak ada satupun yang tertinggal, terlupakan atau terpinggirkan). Salam Inklusi.
*Koordinator Jurnalis Warga-Pena Inklusi