Oleh: Romylindo Hilfison*
Penetapan Hari Guru Nasional secara resmi terjadi pada 1994. Legalitas ini melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Hari Guru Nasional. Momen penentuan Hari Guru Nasional bertepatan dengan momen lahirnya organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Oleh karena itu, ini adalah bentuk penghargaan dan penghormatan kepada setiap guru atas perngorbanan dan dedikasinya dalam melakoni tugas mulia mendidik generasi emas bangsa.
Mengapa Hari Guru perlu dirayakan? Pertanyaan ini menuntut jawaban iya, karena upaya yang dilakukan oleh seorang guru tidak bisa dikalkulasi dengan cara apapun dengan pengorbanan dan tanpa kenal lelah pada anak didik. Namun dalam kenyataan bagi sebagian orang seringkali dianggap sederhana, tanpa arti bahkan lebih ekstrimnya lagi tidak menghargai seorang guru.
Dalam ulasan sederhana ini, penulis ingin melihat kembali jejak historis tentang guru. Seperti yang diketahui, zaman penjajahan Jepang tidak berlangsung lama di Indonesia.
Pasca peledakan bom oleh sekutu di kota Hirosima dan Nagasaki, saat itu juga bangsa Indonesia mulai perlahan-lahan merasakan hawa kebebasan. Kemerdekaan itu kemudian menjadi modal utama dalam perjuangan dan jati diri pada guru di Indonesia.
Di tengah huru-hara pasca kemerdekaan, para guru melangsungkan Kongres Pendidik Bangsa di Sekolah Guru Puteri di Surakarta, Jawa Tengah. Kongres tersebut dipimpin para tokoh pendidik seperti Amin Singgih, Rh. Koesnan dan beberapa orang lagi. Kegiatan yang penuh nuansa inspiratif ini berlangsung pada 24-25 November 1945.
Dari kongres tersebut melahirkan wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sejak saat itu, PGRI hadir sebagai wadah perjuangan kaum Guru untuk turut serta menegakkan dan mempertahankan serta mengisi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka.
Adapun Kongres I PGRI ini telah merumuskan tiga tujuan mulia PGRI. Pertama, mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia. Kedua, mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran dengan dasar kerakyatan. Ketiga, membela hak dan nasib buruh umumnya, serta hak dan nasib guru khususnya.
PGRI merupakan organisasi pelopor dan pejuang. Tujuan ini tegas mengacu kepada pola dan tata kehidupan bangsa berdasarkan UUD 1945 tidak terlepas dari jiwa dan semangat Proklamasi Kemerdekaan.
Dari sisi historis, Hari Guru Nasional yang sudah dilalui oleh Persatuan Guru Republik Indonesia, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI pada tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional.
Kesejatian Seorang Guru
“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Peribahasa ini jelas sudah tidak asing di telinga kita. Bisa dikatakan, hampir tiap hari kita mendengarnya. Kata-katanya memang sepintas dan mungkin terdengar sederhana dan simple.
Tapi siapa sangka, meski terdengar sepele namun terselip makna filosofis yang mendalam dan menggumpal dalam peribahasa tersebut. Peribahasa ini menggambarkan betapa pentingnya peran guru dalam kehidupan anak didik sekaligus kehidupannya kelak di tengah masyarakat.
Guru selalu menjadi panutan utama dalam kehidupan sehari-hari. Dari peribahasa itu, kita menyimpulkan, guru merupakan sosok panutan sejati karena semua tingkah laku sikap dan perkataan selalu menjadi sorotan publik; tidak hanya di dalam ruang kelas tetapi juga di lingkungan sosial kemasyarakatan.
Pertanyaannya yang menggelitik adalah, kenapa banyak orang beranggapan guru itu mudah dan tidak banyak tantangan? Ini harus dijawab terlebih dahulu agar seseorang tidak menggampangkan profesi berat seorang guru.
Boleh dikata, gurulah orang pertama yang bisa mengubah masa depan Bangsa-Negara. Ini pekerjaan berat. Betapa tidak, guru mengajarkan berbagai hal kecil kepada anak didiknya. Bahkan sekarang, banyak orang tua ‘menyerahkan’ anaknya 100 persen kepada guru di sekolah.
Ini merupakan tantangan besar yang harus dihadapi guru. Seorang guru mampu mengajarkan huruf demi huruf menjadi sebuah kalimat yang bagus bagi anak didik. Guru harus benar-benar mampu menyiapkan berbagai hal agar bisa mencetak generasi muda yang menjadi Agent of Change. Oleh karena itu profesi guru tidak boleh dianggap remeh.
Publik tahu, pendidik bakal dihadapkan dengan berbagai kepribadian anak yang bermacam-macam. Ada yang bandel, nakal dan ada pula yang tertib. Itu adalah dinamika dalam dunia pendidikan di mana para guru harus siap menghadapinya.
Seorang guru dalam mendidik murid harus menyadari benar bahwa pendidikan merupakan proses panjang mengubah perilaku sang murid. Kasarnya, seorang guru tidak sekedar ‘makan’ gaji buta tetapi di pundaknya ada ribuan amanat untuk mencerdaskan karakter anak-anak bangsa.
Tugas seorang guru memang berat dalam proses belajar mengajar. Di dalam ruang kelas, guru tidak hanya sekedar mengajar dan menyampaikan materi pelajaran tapi lebih dari itu guru harus mampu menumbuhkan dan memaksimalkan apa yang ada dalam diri anak didik. Dari kecerdasan yang terpendam, cara berpikir agar bisa lebih kritis dan dinamis hingga mengerjakan bagaimana anak didik bisa berpikir kreatif serta bagaimana mereka nanti bisa memecahkan masalah yang dihadapi baik sekarang atau di masa yang akan datang.
Itulah yang membedakan antara profesi guru dan profesi profesi lainnya. Sekali lagi, jelas ini bukan pekerjaan gampang dan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Fenomena Miris Guru Hari Ini
Banyak kejadian di luar akal sehat manusia menimpah guru. Hampir seluruh pelosok negeri ini mempunyai kisah kelam terhadap para guru. Di Papua, beberapa orang guru tewas lantaran dihajar senjata KKB.
Di Flores, ada kasus penikaman terhadap ibu guru. Ada juga kasus pemukulan dan pengancaman terhadap guru lantaran guru menghukum peserta didik karena tindakan indisipliner.
Kewajiban seorang guru untuk membentuk karakter anak didik semakin dipersempit. Ruang gerak para pendidik dikungkung demi membina karakter peserta didik. HAM menjadi senjata sekaligus bumerang dalam dunia pendidikan.
Di sisi lain, guru kerap dituding menjadi biang kerok atas kenakalan remaja. Tidak mengherankan jika kemudian publik banyak yang menganggap jika kenakalan remaja merupakan kegagalan guru dalam mendidik anak-anak di ruang kelas. Ini jelas salah satu kenyataan pahit yang harus dihadapi. Tentu, guru tidak hanya sebatas mengajar tapi bagaimana mampu mendidik anak-anak agar memiliki moral dan akhlak baik.
Fenomena-fenomena miris di atas mau mengafirmasi bahwa sungguh besar tantangan yang harus dihadapi guru. Tidak semua orang bisa menjalankan profesi berat tersebut karena sejatinya guru mencerdaskan anak bangsa yang beretika dan budi pekerti baik. Dalam mengajar guru dituntut kesabaran, keuletan dan sikap terbuka serta kemampuan dalam situasi belajar mengajar yang lebih aktif sehingga anak didik semangat untuk terus belajar.
Langkah ini dilakukan agar anak didik terus termotivasi serta menumbuhkan minat anak didik agar tetap cinta dan ingin belajar. Dengan demikian tujuan belajar bisa tercapai secara efektif, efisien, cepat dan tepat.
Akhirnya sekali lagi perlu diafirmasi bahwa menjadi guru merupakan profesi yang sangat mulia dan terhormat. Guru itu merupakan panggilan jiwa. Dan lebih dari itu, untuk seluruh guru di pelosok Nusantara hendaklah mari kita refleksikan di momen Hari Guru Nasional ini di mana terdapat empat tipe guru oleh William Arthur Ward, salah satu pakar dan praktisi dunia pendidikan yang terkemuka, yakni The mediocre teacher tells. The good teacher explains. The superior teacher demonstrates. The great teacher inspires”.
Guru yang biasa-biasa itu menceritakan. Guru yang baik itu menjelaskan. Guru yang hebat itu mendemonstrasikan dan Guru yang agung itu menginspirasi. Kita termasuk tipe yang mana? Selamat merayakan Hari Guru Nasional.
*Penulis adalah Guru dan Pendidik di SMA Katolik Frateran Maumere