Larantuka, Ekorantt.com – Yuliana Wadan Leba (72) tersenyum getir. Bersama sesama petani kakao, Petrus Pedo Corebima (68) dan Karolus Karang (65), kami mengitari kebun kakao milik Bapak Nyo, sapaan karib dari Petrus Pedo Corebima pada Jumat siang, 30 September 2022. Luas kebun kakao milik Bapak Nyo mencapai 1 hektar.
Saat itu langit di atas lembah Desa Hokeng Jaya, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur (Flotim), Nusa Tenggara Timur, tampak gelap. Mendung pekat pertanda sebentar lagi hujan. Sesi wawancara kami lanjutkan di rumah Bapak Nyo.
Ketika berada di samping buah kakao yang terserang hama helopelthis dan penggerek buah, Yuliana mengisahkan pengalamannya sebagai perempuan kepala keluarga dan petani kakao. Ia mengaku kebun kakaonya yang luasnya sekitar seperempat hektar pun bernasib sama seperti yang ada di kebun Bapak Nyo.
“Alam sudah tidak bersahabat lagi dengan kami. Lihat tadi buah kakao di kebun penuh dengan helopelthis,” kata Yuliana.
Helopelthis adalah hama pengisap buah kakao. Yuono pemerhati dan peneliti kakao dalam artikelnya berjudul Pengendalian Hama Penghisap Buah Kakao (2015) menyebutkan, serangan hama ini dapat menurunkan produktivitas buah hingga 50-60 %.
Dalam Jurnal Perbal Volume 9 Nomor 3 tentang tingkat serangan hama helopelthis dan penggerek buah (2021), Sacita dan Naim menulis bahwa hama utama tanaman kakao di Indonesia antara lain penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella) dan kepik pengisap buah (Helopelthis spp.). Hama-hama ini dapat menyebabkan kerugian besar pada tanaman kakao.
Stadium yang menimbulkan kerusakan adalah stadium larva yang menyerang buah kakao mulai berukuran 3 cm sampai menjelang masak. Ulat merusak dengan cara menggerek buah, makan kulit buah, daging buah dan membuat saluran ke biji, sehingga biji saling melekat, berwarna kehitaman, sulit dipisahkan dan berukuran lebih kecil.
Serangan pada buah ditandai dengan memudarnya warna kulit buah, muncul warna belang hijau kuning atau merah jingga. Apabila buah diguncang tidak berbunyi. Apabila buah dibelah, terlihat biji yang berwarna hitam dan melekat satu sama lain.
Sedangkan helopelthis menyerang pucuk tanaman kakao dan buah muda dengan cara menusukkan alat mulutnya ke dalam jaringan kemudian mengisap cairan di dalamnya. Bersamaan dengan tusukan tersebut, kepik mengeluarkan cairan beracun yang dapat mematikan jaringan tanaman di sekitar tusukan.
Serangan pada buah tua ditandai dengan munculnya bercak-bercak cekung yang berwarna coklat muda yang lama kelamaan berubah menjadi kehitam-hitaman. Serangan berat pada buah muda akan menyebabkan permukaan kulit menjadi retak dan terjadi perubahan bentuk sehingga menghambat perkembangan biji.
Hama ini, menurut penuturan Yuliana, mulai masuk ke Hokeng sekitar tahun 2011 dan berlangsung hingga kini.
Pada tahun 1998, Yuliana, Bapak Nyo dan Karolus belajar dan menjadi kader tani kakao dampingan Yayasan Ayu Tani Mandiri, sebuah LSM lokal di Kabupaten Flotim. Mereka kemudian membentuk kelompok tani kakao dengan nama Tobe Laga pada tahun 2000.
Dari tahun 2000 sampai 2010 panen biji kakao melimpah. Pada tahun-tahun itu, kata Bapak Nyo dan Karolus, warga di Desa Hokeng Jaya dan desa-desa di Kecamatan Wulanggitang dapat membangun rumah dan membiayai pendidikan anak-anak.
Luas area pengembangan kakao di Kecamatan Wulanggitang mencapai 1.222 hektar dari total 5.155 hektar di Kabupaten Flotim. Data luasan total ini sebenarnya adalah peralihan dari area pertanian yang sebelumnya adalah tanaman pangan berupa padi, jagung, ubi, pisang dan kacang-kacangan yang jadi pemasok pangan bagi warga.
Kecamatan Wulanggitang lumayan subur bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Flores Timur. Potensi ini tidak disia-siakan begitu saja.
Warga awalnya menyisihkan ¼ hektar lahannya, yang ditanam pangan seperti padi dan jagung, untuk ditanami kakao. Bahkan, pada akhirnya, mereka menanam kakao di hampir semua lahan pertanian.
Kini setahun belakangan, Yuliana terpaksa kembali menanami lahan di kampung kelahirannya, Desa Riang Baring, Kecamatan Ile Bura, Flores Timur dengan padi dan jagung.
“Saya memang harus tanam padi ladang dan jagung karena tidak bisa lagi andalkan uang dari timbang biji kakao untuk beli beras,” cerita Yuliana.
Tak paham soal perubahan iklim
Bapak Nyo dan Karolus mengaku awalnya tidak paham soal perubahan iklim.
“Waktu buah dan biji kakao rusak, kami dengar Pak Thomas dari Ayu Tani bilang ini dampak dari perubahan iklim,” ujar Karolus.
Berkaitan dengan serangan hama kakao, Direktur Ayu Tani Mandiri, Thomas Uran menjelaskan, salah satu faktor yang menyebabkan serangan hama pada kakao adalah musim hujan dan kemarau yang sudah tidak menentu setiap tahunnya.
Senada, Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Flotim, Densi Kleden mengatakan, serangan hama ini terjadi merata di Kabupaten Flotim.
Menurutnya, ada dua faktor utama terjadinya serangan hama. Pertama, karena perubahan iklim. Dan kedua, akibat buruknya sanitasi di kebun petani.
“Saya amati, sanitasi kebun yang buruk, semua tanaman komoditi ditanam secara bersamaan di lahan yang sama. Lalu yang kedua soal perubahan iklim. Musim hujan sekarang ini sulit diramal. Kadang lebih cepat kadang telat,” ujar Kadis Densi.
Nila Wardani, peneliti dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung dalam makalahnya tentang perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap serangan hama (2016) mengemukakan, perubahan iklim berkontribusi pada ledakan populasi serangga hama tertentu atau terjadinya kepunahan suatu serangga hama.
Menurut penelitian tersebut, iklim secara langsung mempengaruhi bio ekologi dari serangga hama, seperti perubahan iklim yang drastis akan menyebabkan terganggunya proses perkembangbiakan serangga (menurunkan atau meningkatkan).
Memasuki tahun 2011 buah kakao mulai mengalami penurunan. Namun hama penggerek buah dan helopelthis yang mulai menyerang masih dianggap sebagai kondisi yang biasa saja.
Kondisi ini terus berlanjut hingga sekarang. Hasil panen pun terus menurun.
“Kalau dulu kami panen seminggu bisa mencapai 20-30 kg, maka saat ini paling 5-7 kg setiap minggu. Sudah begitu biji kakaonya pun tidak mulus, banyak yang rusak,” kata Bapak Nyo.
Bapak Nyo menuturkan, hingga September 2022 panen biji kakao dari lahannya saja belum mencapai 100 kg. Ia pun berharap pihak Pemkab Flotim agar menaruh perhatian lebih terhadap nasib para petani kakao.
Gabriel Molik Tolok, staf pegawai pada kantor desa Hokeng Jaya bilang, pihaknya masih mendata kembali produksi biji kakao dan belum punya data yang valid terkait jumlah panen biji kakao.
“Saya khawatir tanaman kakao di sini (Hokeng) suatu waktu bisa punah karena ancaman perubahan iklim,” keluh Bapak Nyo.
Sementara itu, Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Nusa Nipa Maumere, Yovita Yasintha Bolly menjelaskan, serangan hama penggerek buah dan helopelthis yang merusak kakao di Kecamatan Wulanggitang, lebih karena intensitas curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan beberapa titik wilayah di kabupaten paling timur pulau Flores itu.
“Jenis hama ini menyukai kondisi lingkungan yang tidak ada cahaya matahari, sehingga pada musim hujan intensitas radiasi matahari rendah dan serangan hama semakin tinggi,” terang Yovita.
Data jumlah hari hujan yang dirilis oleh BMKG Kabupaten Flotim dan dipublikasikan oleh BPS Flotim menyebutkan, jumlah hari hujan di Wulanggitang pada tahun 2000-an sampai dengan 2010 berkisar di angka 78 hari, sementara dari tahun 2011 sampai dengan 2021 berkisar diantara 115 hari sampai dengan 181 hari setiap tahunnya.
Yovita menambahkan, hal itu bukan berarti tidak ada serangan hama pada musim kemarau. Pada musim kemarau, hama biasa menyerang tanaman pada pagi dan sore. Ketika siang hari, hama ini akan bersembunyi di bagian tanaman yang gelap seperti sela-sela atau bagian daun yang menghadap ke bawah.
Karena itu, kata Yovita, pemangkasan pada tanaman kakao perlu dilakukan, baik pada musim hujan maupun musim kemarau.
Informasi terbatas
Pemahaman tentang dampak perubahan iklim yang berpengaruh terhadap produksi biji kakao belum banyak diketahui petani kakao di Flotim. Petani kakao seperti Yustinus Kia (44), Robertus Bala (29), Paulina Mongan (67), Yasinta Udo (58) bahkan sama sekali tak pernah tahu bahwa serangan hama penggerak buah dan helopelstis meningkat karena faktor perubahan iklim.
“Kami pasrah saja dengan keadaan saat ini,” ujar Yustinus Kia.
Menurut Thomas, pada tingkat individu dan juga kelompok warga, kesadaran dan pemahaman tentang masalah pada tanaman karena faktor perubahan iklim memang belum diketahui secara baik.
“Di Flotim dan NTT saya kira semua tanaman kakao warga kena helopelthis dan penggerek buah,” beber Thomas.
Thomas menjelaskan, komunikasi informasi perubahan iklim masih sangat terbatas dibagikan kepada petani. Pemerintah sejauh ini masih terfokus pada aspek teknis budidaya dalam upaya penguatan kapasitas petani.
Pemerintah dan NGO didorong untuk meningkatkan kapasitas petani maupun kelembagaannya, terutama pada aspek influencing dan advokasi. Dengan begitu, petani mampu beradaptasi dengan perubahan iklim secara baik.
Sebagai pegiat NGO lokal yang telah mendampingi petani sejak tahun 1990-an, Thomas mengakui bahwa petani yang paling terdampak perubahan iklim adalah petani komoditi termasuk petani kakao.
Kondisi bertambah parah saat pandemi Covid-19 mulai masuk ke tanah air pada Maret 2020. Pembatasan aktivitas masyarakat menyebabkan tidak adanya pengepul yang masuk untuk menimbang biji kakao. Larangan beraktivitas ini membuat biji kakao tak bisa dijual ke luar wilayah desa.
Program Pemerintah
Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Pada Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Flotim, Laurensius Boro Kereta kepada Ekora NTT mengatakan, pihaknya telah mendapatkan masukan terkait isu perubahan iklim yang disampaikan oleh sejumlah pegiat LSM seperti Yaspensel (Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka,) YPPS (Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial), dan anak-anak muda penggerak komunitas lokal.
Ia menjelaskan, isu perubahan iklim pun telah menjadi salah satu fokus perhatian Pemkab Flotim. Hal itu tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2022 lewat program menyelamatkan tanaman rakyat Flotim.
Anggaran progam tersebut sebesar Rp303.618.000, yang dipakai untuk penanganan hama tanaman pertanian maupun perkebunan. Dana tersebut digunakan untuk pengadaan bahan-bahan kimia insektisida dan dukungan operasional petugas.
“Pada aspek penganggaran dapat kami sampaikan bahwa selalu ada dukungan anggaran terhadap urusan pangan dan perubahan iklim meskipun dalam jumlah yang masih terbatas karena disesuaikan dengan kondisi kemampuan keuangan daerah,” ujarnya.
Yuliana, Bapak Nyo, Karolus dan beberapa petani kakao dan penggerak lokal berharap program pemkab Flotim terutama pada misi selamatkan tanaman rakyat Flotim seperti kakao harus terus jadi perhatian.
“Penanganannya mesti wajib dilakukan setiap bulan atau tiga bulanan dengan menggandeng banyak pihak yang berkompeten,” jelas Bapak Nyo.
Melkior Koli Baran dari Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS), LSM lokal yang fokus pada isu pangan dan perubahan iklim di Flotim mengemukakan, target nasional perubahan iklim mesti dicek sejauh mana terbawa ke dalam target daerah sehingga bisa dimasukkan di level perencanaan.
Melky mengakui, perhatian terkait perubahan iklim di level daerah masih minim. Ini yang mesti diadvokasi ke dalam rencana induk.
“Tahun lalu kami beri masukan saat penyusunan Rencana Pembangunan Daerah (RPD) sehingga mungkin itu mulai masuk,” ujarnya.
Hanya, menurut Melky, konsep aksi adaptasi dan mitigasi juga masih perlu dipertajam. Tidak hanya bergeraka ketika masalah muncul.
“Kami memandang ini sebagai tanggung jawab kita bersama agar pembangunan di Flores Timur ke depan berketahanan iklim,” jelas Melkior.