Oleh: Gerardus Kuma Apeutung*
Di Kota Pancasila Ende, sejumlah anak muda berkumpul. Mereka datang dari berbagai wilayah di pulau Flores dan Lembata. Ada yang dari Manggarai, Manggarai Timur, Flores Timur, dan Lembata.
Siapakah anak-anak muda ini? Apa yang mendorong mereka sehingga harus rela datang jauh-jauh dari wilayah barat dan timur ke bagian tengah Flores?
Perubahan iklim. Isu inilah yang mengantar 52 orang muda berkumpul di Rumah Bina Kerahiman Ilahi, Ende, Kamis-Sabtu (09-11 Maret 2023). Di Ende, tempat Bung Karno merenungkan Pancasila, orang-orang muda ini merefleksikan krisis iklim akibat pemanasan global.
Orang-orang muda ini telah berperan dan terlibat dalam aksi mengurangi laju dan dampak perubahan iklim. Mereka adalah local champion. Orang atau sekelompok orang yang menyuarakan dan melakukan aksi-aksi adaptasi, mitigasi pada tingkat lokal untuk mengatasi krisis iklim dan mendorong keadilan iklim pada kelompok rentan di pedesaan.
Sebagai local champion, mereka berperan menjadi agen perubahan di tingkat kelompok dan masyarakat desa, melakukan kampanye publik tentang keadilan iklim, penyambung pikiran masyarakat dengan pemerintah dan dengan pihak lainnya, mengorganisir anak-anak muda dan masyarakat desa untuk melakukan aksi-aksi lokal, menyebarluaskan pengalaman dan pembelajaran serta praktek baik pengurangan dampak perubahan iklim dan keadilan iklim, dan mengembangkan aksi-aksi lokal pada tiap desa.
Di kabupaten yang terkenal dengan Danau Kelimutu ini, orang-orang muda berdiskusi tentang perubahan iklim, faktor-faktor yang mempengaruhi dan dampaknya bagi bumi dan manusia. Mereka juga bertukar pengalaman baik yang telah dilakukan, membicarakan aksi nyata yang akan dijalankan, dan membangun komitmen dalam upaya menanggulangi perubahan iklim yang kian mengkhawatirkan.
Perubahan iklim merupakan salah satu persoalan global. Perubahan iklim adalah perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka waktu tertentu. Secara alamiah, perubahan iklim terjadi dalam jangka waktu yang lama dan skala luas. Namun perubahan ini dapat dipercepat oleh ulah manusia.
Aktivitas manusia yang meningkatkan emisi gas rumah kaca seperti pembakaran bahan bakar fosil untuk transportasi dan pembangkit listrik, penggunaan pupuk dan pestisida, industrialisasi, penebangan pohon, pembuangan sampah atau limbah makanan merupakan sumber emisi utama penyebab perubahan iklim.
Dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim sangat luas. Perubahan musim, curah hujan yang tinggi, kemarau berkepanjangan, kekeringan yang parah, bencana alam seperti banjir, tanah longsor, berkurangnya debit air, naiknya permukaan air laut, menurunnya hasil pertanian. Dampak ini melanda seluruh aspek kehidupan seperti pertanian, perikanan, kesehatan, pangan, dan lainnya.
Perubahan Iklim: Masalah Kronis dan Ironis
Lebih jauh, perubahan iklim merupakan masalah kronis juga ironis. Bayangkan, penyumbang utama pemanasan global berasal dari negara maju dan masyarakat perkotaan. Namun, dampak perubahan iklim ini justru ditanggung oleh masyarakat di negara berkembang dan pedesaan. Kaum perempuan, para petani, nelayan, kaum difabel, anak-anak adalah kelompok yang paling rentan merasakan dampak perubahan iklim.
Masyarakat desa di Flores-Lembata kini telah mengalami dampak itu. Dalam film dokumenter KRKP di Desa Hewa, Flores Timur, misalnya, para petani mengalami kegagalan hasil jambu mete. Produktivitas jambu mete semakin berkurang. Di Desa Hokeng Jaya, Flores Timur, tanaman kakao yang menjadi sandaran hidup warga banyak terserang hama helopelthis.
Di Desa Colol dan Goloworok, Manggarai Timur, petani kopi Colol juga mengalami penurunan produktivitas kopi. Sementara di Desa Tal, Manggarai, hasil sawah berkurang akibat debit air yang semakin menurun. Desa Bangkalelak, Manggarai, hama menyerang tanaman hortikultura di desa tersebut. Petani menderita kerugian.
Sedih dan prihatin memang. Karena masyarakat desalah yang paling merasakan dampak perubahan iklim. Masyarakat yang punya kontribusi minim dalam krisis iklim justru menanggung akibat paling berat. Dan situasi yang dialami masyarakat desa Hewa, Hokeng, Colol, Goloworok, Tal cepat atau lambat akan melanda masyarakat di wilayah lain.
Dampak buruk perubahan iklim bagi masa depan bumi menyadarkan generasi muda bahwa upaya mengatasi laju perubahan iklim adalah tanggung jawab yang tidak boleh ditunda-tunda lagi. Dan para local champion ini telah memulai aksi nyata tersebut. Menanam bambu untuk merawat sumber mata air, seperti dilakukan orang muda Hewa dan Likotuden; atau membudidayakan pangan lokal sorgum, sebagaimana digalakkan anak muda Desa Aransina dan Tapobali.
Para generasi muda ini adalah inspirator dan pelopor gerakan dalam mengatasi krisis iklim di desa. Aksi-aksi yang mereka lakukan selama ini masih jauh dari pemberitaan. Kerja-kerja anak-anak muda ini di kampung selama ini jarang dipublikasikan. Karena mereka lebih memilih bekerja dalam diam.
Perlu Apresiasi dan Publikasi
Kerja nyata anak-anak muda ini patut diapresiasi. Tetapi untuk masalah perubahan iklim yang merupakan isu global, aksi-aksi nyata ini tidak boleh didiamkan. Kerja-kerja nyata ini harus dipublikasi. Usaha mengatasi krisis iklim butuh keterlibatan semua pihak. Karena itu kerja mengurangi dampak perubahan iklim ini mesti diberitakan agar orang lain ikut terlibat.
Ya, upaya menanggulangi krisis iklim tidak hanya butuh aksi tetapi juga perlu publikasi. Agar semakin banyak orang yang ikut ambil bagian dan menjadi gerakan kolektif. Sebagaimana kata Bang Said, Koordinator Nasional KRKP, aksi tanpa publikasi bukan reputasi. Pesannya, buat aksi lalu publikasi.
Di sini pelatihan citizen journalism for local champion yang diinisiasi Koalisi Pangan Baik yang beranggotakan Yayasan KEHATI (Keanekaragaman Hayati Indonesia), KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), Yaspensel (Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka), Yayasan Ayo Indonesia, dan Yayasan Ayu Tani Mandiri menjadi pintu masuk bagi penggerak lokal untuk belajar menyuarakan keprihatinan dan menyebarkan aksi mereka.
Bersama teman-teman wartawan dari Ekora NTT, Kompas.com, Kompas TV, Antara, dan Floresku dan kawan-kawan LSM dari Yaspensel, Ayu Tani, Ayo Indonesia, KEHATI, KRKP, orang-orang muda belajar mempublikasikan kerja-kerja nyata mereka dalam mengatasi krisis ikilim melalui media sosial dan media massa.
Di media sosial, orang-orang muda ini memilih Facebook, Instgram, YouTube sebagai ruang kampanye. Mereka merancang tema dan konten pemberitaan, pesan kunci perubahan iklim, dan target audience pemberitaan untuk bahan kampanye.
Untuk publikasi di media massa, mereka mengasah kemampuan melakukan liputan langsung (straight news) dan membuat liputan mendalam (deep news). Juga berlatih melakukan wawancara terhadap narasumber, menulis berita, mengedit dan mengirim ke editor.
Kerja-kerja mengatasi perubahan iklim mesti merangkul dan menyadarkan banyak orang bahwa bumi sebagai tempat hidup manusia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Bumi membutuhkan upaya untuk menyelamatkannya dari kerusakan yang lebih mengerikan.
Tiga hari di kota Pancasila sangat menyenangkan. Belajar dengan diselingi permainan yang menghibur sungguh mengasyikkan. Secara pribadi saya belajar banyak hal. Terutama dari teman-teman local champion yang selama ini bergelut di lapangan. Mereka telah melakukan banyak aksi nyata.
Isu perubahan iklim adalah hal baru bagi saya. Jauh dari dunia pendidikan yang saya geluti selama ini. Karena itu mendengar cerita kerja-kerja nyata teman-teman local champion dalam menganggulangi perubahan iklim memberi energi untuk bergerak bersama.
Hal ini karena, ibu bumi sedang sakit akibat perubahan iklim. Untuk itu, anak muda sebagai pemilik masa depan bumi harus bergerak mencegah laju dan dampak perubahan iklim. Kampanye mengatasi krisis iklim harus terus digelorakan lewat aksi dan publikasi.
Sekecil apa pun aksi yang dilakukan mesti dipublikasikan. Satu aksi kecil akan menyelamatkan ibu bumi. Satu publikasi akan menginspirasi orang untuk bergerak menyelamatkan bumi, rumah kita semua.
*Local Champion Desa Hewa dan Guru SMPN 3 Wulanggitang, Flotim