Oleh: Bernardus Tube Beding*
Tulisan ini hanya sekadar “asal omong” kalau tidak dibilang “suara pembaca”. Sabtu, 1 April 2023, Ekora NTT berusia 6 tahun. Media yang masih sangat muda, walaupun tidak disebut “balita” lagi. Ekora NTT menjadi salah satu media siber yang tetap menemani pembaca; khususnya saat-saat santai.
Satu hal yang proposional dari Ekora NTT adalah menanggapi perubahan periodik kohort generasi pembaca akibat perkembangan teknologi informasi. Awalnya, Ekora NTT merupakan media massa yang memiliki edisi cetak.
Namun, sejak era digital dan disusul pandemi Covid-19, media cetak tampaknya semakin ditinggalkan pembaca milenial. Dapat dipastikan bahwa hal itu bukan saja dialami oleh Ekora NTT. Media massa nasional sekalipun tidak dapat memungkiri hal demikian. Hal ini berakibat pada menurunnya pendapatan, padahal biaya operasional tetap. Bahkan semakin meningkat.
Sikap mengurangi rubrik dan jumlah oplah sangat berdampak bagi para agen, loper, dan pembeli eceran. Menghilangkan rubrik tentu mengecewakan pembaca yang setia pada versi cetak. Pelanggan pun mulai tidak bersemangat memasan iklan pada versi cetak. Sikap dilematis tentu ada dalam diri para pelaku industri media cetak.
Kredibilitas pemilik dan pelaku industri pers dipertaruhkan. Rantai ekonomi bisa terputus; pengangguran terjadi dari padanya. Walaupun dengan win-win solution media cetak terbit konsisten, tetapi mengurangi halaman untuk meminimalkan biaya produksi. Dan korbannya tentu pembaca sebagai raja-nya media cetak.
Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa cara pandang pembaca dan pengelola kadang berbeda. Sikap mengalihkan model media dari cetak ke digital tentu sudah dipertimbangkan oleh redaksi berdasarkan riset. Bukan berarti harus mengungkapkan, “Yah, mau bagaimana lagi”.
“Asal Omong” Digitalisasi Sumber Disrupsi
Kehidupan sosial memungkinkan media massa pers berperan dalam dua model sekaligus. Pertama, media massa pers sebagai aktor perubahan. Keberadaan media media massa pers mencari, menemukan, menampung, sekaligus menyuarakan gagasan-gagasan penting yang dapat memicu perubahan sosial.
Kedua, media massa pers sebagai entitas yang tak luput dari perubahan. Entah kehendak dirinya atau kehendak adaptatifnya, media massa pers sendiri terus berubah. Perubahannya mengakibatkan munculnya perubahan-perubahan lain. Artinya, cara manusia menerima informasi mengubah cara mereka menerima informasi yang diterimanya. Apalagi dalam era disrupsi yang dihadirkan akibat menjamurnya digitalisasi.
Digitalisasi menjadi sumber disrupsi hingga menyusup sampai pada pemetaan industri pers. Ekora NTT melalui inovasi untuk tetap menjaga kepercayaan pembaca menghadirkan versi digital dengan model e-paper dan online.
Perubahan “gaya” pembaca dan tuntutan zaman mengharuskan Ekora NTT meberhentikan edisi cetak dan beralih pada e-paper dan online. Artinya bahwa Ekora NTT tetap beradaptasi dengan berbagai langkah cerdas terkait teknologi media, serta mengakomodasi kebutuhan, kebiasaan, dan selera pembaca yang berubah tiap generasi. Saya boleh katakan bahwa Ekora NTT ”tanggap terhadap yang baru, menatap ke depan, sambil merawat yang lama”. Tentu, tidak gampang meninggalkan edisi cetak.
Bukan saja itu. Kepentingan internal, seperti idealisme, reputasi, dan sosial menjadi aspek pertimbangan. Bahkan, keberpihakan kepada pembaca, pemangku kepentingan, dan birokrasi sebagai faktor eksternal pertimbangan membangun inovasi. Terobosan Ekora NTT versi digital bisa diakses kapan pun, di mana pun, hemat tempat, tidak ada tumpukan berkas.
“Asal Omong” Petuah Bill Kovach
Bukan untuk dibilang “sombong”, tetapi saya sebagai salah satu dari sekian banyak “pembaca setia” dan “pembaca lama” Ekora NTT. Saya mengikuti “perjalanan karier” Ekora NTT dengan berbagai model penampilan saat cetak, maupun penampilan digital. Penampilan fisik yang elegan dengan memprioritaskan “kehendak pembaca”.
Sejak awal sebagai pembaca, saya mengamati bahwa Ekora NTT menjadi media massa yang semakin “Kritis dan Solutif” dalam gaya penulisan dan kualitas isi; membuat kepercayaan dan sense of belonging para pembaca.
Saya omong karena Ekora NTT sudah dan sedang membuktikan petuah-petuah Bill Kovach dalam kerjanya. Petuah Bill Kovach diperoleh dari omongan para wartawan saat kegiatan Committee of Concerned Journalists. Hasil omongan mereka dirangkum oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Nine Element of Journalism. Kovach omong jurnalisme. Tapi saya “asal omong”itu dengan wartawan.
Pertama, kewajiban utama wartawan adalah mencari kebenaran. Pemberitaan Ekora NTT apa adanya sesuai dengan keadaan yang seharusnya. Itu yang biasa diomong sebagai kebenaran. Ya, kebenaran yang disajikan itu modelnya faktual, teramati, terukur, dan terdata. Bagusnya bahwa Ekora NTT selalu memberi stimulus pada perubahan kehidupan yang sesungguhnya (baik dan benar).
Kedua, wartawan punya loyalitas utama pada warga atau masyarakat yang orang agama bilang umat. Pasti muncul omong lain, kenapa demikian? Saya mau omong, Ekora NTT lahir dan hidup sampai pada usia ke-6 tahun ini karena kemurahan hati masyarakat yang telah menyerahkan sebagian haknya kepada wartawan. Buktinya, wartawan bebas bekerja karena dijamin dan dilindungi oleh undang-undang.
Artinya, wartawan punya akses yang terbuka terhadap peristiwa maupun informasi. Saya mau omong, wartawan itu wakil atas diri masyarakat. Wartawan punya “juragan” dalam kerja adalah masyarakat. Jadi, tidak salah omong kalau mereka mendedikasikan diri kepada masyarakat.
Ketiga, Wartawan punya disiplin verifikasi. Wartawan punya kerja tidak luput dari berbagai peristiwa; berhadapan dengan berbagai pihak. Bahkan, wilayah konflik pun menjadi arena kerja wartawan. Baik konflik sosial, pendidikan, budaya, ekonomi, hukum, maupun politik. Wartawan berhadapan dengan orang-orang yang sedang konflik dan omong tentang kebenaran mereka. Wartawan mendapatkan orang menyajikan data yang menguntungkan sekaligus merugikan orang lain.
Bahkan, berhadapan dengan orang yang omong fakta, tetapi adanya yang yang hanya opini yang dipoles sehingga mirip dengan fakta. Kalau wartawan dapat begini, maka perlu verifikasi mana fakta yang original, rekaan, kabur, juga mana yang fiktif dan tampak seperti fakta. Jangan sampai, informasi sudah diterbitkan baru tahu kalau itu bukan fakta. Jadi, reportease mendalam (deep reporting) yang disertakan bukti faktual itu keniscayaan.
Keempat, Wartawan jaga independensi dari objek liputan. Saya mau omong, wartawan harus “jaga jarak” dan “netral” dalam kerja. Bukan berpihak pada salah satu dan melalaikan yang lain. Bagus dan idealnya bahwa redaktur bersama wartawan atur tugas peliputan. Kalau itu tidak mampan, yah hadirkan saja prinsip cover both side.
Jadi, media harus punya sikap memberikan ruang bicara kepada pihak-pihak yang wartawan tulis dan beritakan. Kovach juga omong beberapa model independensi, seperti (1) jangan menambah atau mengarang apa pun; (2) jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar; (3) bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase; (4) bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri; dan (5) bersikaplah rendah hati.
Kelima, dalam lingkungan kekuasaan, wartawan buat diri sebagai pemantau independen. Semua orang pasti tahu apa yang biasa orang Inggris omong, power tend to corrupt. Saya kira ini kecenderungan di mana saja. Apalagi di Indonesia, NTT, Flores.
Ya, supaya orang-orang yang punya nafsu kekuasaan bisa dikendalikan, perlu ada orang yang mengawas. Dan orang itu hanya masyarakat. Wartawan hadir sebagai “wakil” masyarakat juga punya kewajiban melayani masyarakat dengan memantau orang-orang yang punya nafsu tersebut.
Keenam, kerja wartawan juga harus membuka ruang bagi publik untuk saling menilai dan membangun kesepakatan. Artinya bahwa media harus menjadi tempat pertemuan yang terbuka. Idealnya, tak boleh ada satu pihak yang lebih dominan menguasai ruang berpendapat. Siapa saja punya hak mengutarakan gagasan yang berorientasi pada kepentingan bersama.
Ketujuh, wartawan harus buat hal penting menjadi menarik dan relevan. Artinya bahwa seorang wartawan “masuk kandang kambing harus mengembik”. Apa yang diperoleh dari proses peliputan harus digambarkan sesuai dengan pemahaman pembaca tentang informasi atau peristiwa yang diliputnya.
Bukan menulis sesuka hati dan pikiran wartawan. Selain itu, hal-hal penting harus menjadi prioritas dan disajikan dengan menarik agar memikat pembaca untuk mengetahuinya. Tulis dengan model piramida terbalik adalah salah satu jalannya.
Kedelapan, wartawan harus buat berita yang komprehensif dan proporsional. Memang tanpa dimungkiri bahwa tidak semua wartawan bisa pada taraf itu. Padahal, hakikat tulisan seorang wartawan mencakup seluruh hal, bukan sekadar represntatif.
Kesembilan, wartawan juga harus dengar hati nurani. Saya berpikir bahwa petuah ini menjadi landasan dari semua petuah tersebut. Saya berani mengatakan demikian karena hati nurani memang software paling ampuh bagi wartawan agar mampu memenuhi tugas jurnalistik dengan baik.
Hati nurani itu dorongan ilahi dari dalam untuk mengatakan dan melakukan kebaikan. Ini bukan ilusi, tapi seperti omongan Comte, individu memiliki kehendak moral untuk melayani kepentingan orang lain atau melakukan kebaikan kemanusiaan tertinggi (greater good of humanity). Dan itu harus ada dalam diri wartawan.
“Asal Omong” Harapan
Hemat saya, petuah-petuah Kovach itu beraroma juga pada Ekora NTT dan tentu pada media-media massa pers lain. Harapannya bahwa dari sana media hadir dan hidup untuk masyarakat. Bukan sekadar ada bahkan ambruk hanya karena omongan Habermans, seperti bangkitnya kapitalisme negara, industri budaya, dan posisi yang semakin kuat di pihak perusahaan ekonomi dan bisnis besar dalam kehidupan publik.
Bukan ekonomi besar dan organisasi pemerintah yang mengambil alih ruang publik, di mana warga negara hanya diberi kepuasan untuk menjadi konsumen bagi barang, layanan, administrasi politik, dan pertunjukan publik. Namun, “Ekonomi Rakyat” yang harus menjadi nadi kehidupan bersama.
Karena itu, media bukan mengejar “komersial” yang mengubah publik menjadi konsumen yang pasif. Media harus menghidupkan isu-isu yang menyangkut kebaikan bersama dan partisipasi demokratis.
Ekora NTT bukan sekadar media massa pers. Ekora NTT adalah wakil dari orang-orang yang membangun “Ekonomi Kerakyatan”. Tidak salah kalau dalam setiap terbitan Ekora NTT selalu ada sisipan aroma “human interest” yang barangkali sebagai “model”. Ini baru Ekora NTT. Selamat ulang tahun, Ekora NTT. Tetaplah menjadi sumber inspirasi.*
*Dosen Prodi PBSI, FKIP, Unika Santu Paulus Ruteng