Maumere, Ekorantt.com – KSP Kopdit Pintu Air yang maju dan berkembang pesat sekarang sesungguhnya tak bisa lepas dari ketekunan dan disiplin peran para relawan awal yang bekerja secara sukarela tanpa gaji yang pasti.
Dengan modal ketekunan dan yakin bahwa Pintu Air akan maju menjadi besar dan berkualitas para relawan itu lalu bekerja dengan sungguh.
Para relawan awal itu sebut saja Rasdiana Toja, Virgilius, Magdalena Peni Lamak, Gabriel Pito Soriwutun, Elias Rotan. Mereka memulai masa kerja di Pintu Air dengan datang dan kerja saja sesuai konsep dan petunjuk dari Yakobus Jano. Mereka saling mengambil peran untuk mengisi beberapa bagian yang memang harus dikerjakan.
Yakobus Jano sendiri mengakui bahwa dirinya cukup keras khususnya untu para pegawai awal. Semua wajib rapi. Necis berpakaian dan tidak boleh tidak rapi berpakaian. Ia akan tak sungkan-sungkan meminta para relawan awal ini pulang kalau tidak tertib.
Pokoknya semua harus rapi. Mulai dari berpakaian sampai dengan urusan pembukuan keuangan sekalipun masih manual. Kepada para punggawa awal, kata-kata yang senantiasa keluar dari mulut Yakobus Jano adalah gua poi artinya kerja saja dulu. Semua yang bekerja pun tabah dan bekerja dengan semangat yang penuh.
Kepada para relawan awal Yakobus Jano memang punya tekanan kerja tersendiri kepada semua mereka. Wajib hadir tepat waktu, wajib disiplin. Wajib berpakaian yang necis. Menghadiri sebuah acara wajib menunjukkan identitas diri sebagai orang yang bekerja di Pintu Air.
Menurut penuturan Rasdiana Toja dan Magdalena Peni Lamak, sosok Yakobus Jano memang sangat keras. Semua mereka wajib bekerja dalam kedisplinan yang tinggi.
Pernah terjadi ketika hendak menghadiri acara melayat ke rumah duka salah seorang anggota Pintu Air yang meninggal, Virgi menggantikan seragam Pintu Air yang dikenakannya dengan kemeja biasa. Spontan Yakobus Jano langsung marah.
“Kau tinggal, tidak usah ikut. Bagaimana kau sendiri malu dengan seragam yang kau kenakan,” katanya.
Dari cerita ini pesan gua poi memang terasa amat menyakitkan tetapi nilai-nilai dasar tentang kedisplinan mulai dari disiplin waktu sampai disiplin berpakaian ditanamkan dengan sungguh. Menurut para punggawa awal kerja tanpa ketentuan gaji yang jelas kadang membuat mereka ingin mundur tapi kata hati mereka seolah menyatu dengan spirit yang didoktrin terus-menerus oleh Yakobus Jano.
Gua poi, saat ini kamu terima seribu, dua ribu rupiah saja tapi suatu waktu kita akan jadi besar. Kita punya banyak anggota dan bisa saja pendapatan kita akan semakin membaik. Intinya kerja baik-baik dengan kedisiplinan yang tinggi. Karena bukan tidak mungkin jika Pintu Air ini besar dan Tuhan memberkati maka lembaga ini jadi kepercayaan banyak orang. Mengapa? Karena mereka percaya bahwa Pintu Air hadir untuk memberikan pelayanan yang dapat membebaskan orang dari belenggu ekonomi.
Intinya, ditanamkan fondasi yang kokoh bagi keberlanjutan Pintu Air. Begitu kira-kira doktrin yang senantiasa digelorakan oleh Yakobus Jano kepada para relawan awal.
Gabriel P. Soriwutun kini jadi General Manager Pintu Air mengakui bahwa niat menjadi relawan pada Pintu Air hanyalah untuk belajar pada sosok Yakobus Jano.
“Ketika tiba di Nita Rotat dan lihat ada satu papan plang kecil saja, tidak besar juga bertuliskan Pintu Air sontak hati saya bergetar, hati kecil saya berujar rupanya ini tempat yang tepat untuk saya belajar. Sebelumnya saya memang sudah dekat dengan beberapa orang koperasi tapi saya juga tidak ada niat untuk bertanya, ketika lihat ada plang papan nama bertuliskan Pintu Air itu saya tergerak”, ujar Gabriel.
Ketika pertama kali bertemu dengan Yakobus Jano untuk menyampaikan keinginan untuk bekerja spontan saja kata yang terucap adalah baik, tapi kerja di sini tidak ada gaji. Ucapan ini sama sekali tidak menyurutkan niat hati dari Gabriel untuk mundur. Niat awal memang datang untuk belajar dan kembali ke Lembata untuk juga mencoba mendirikan satu koperasi.
“Sebenarnya kalau mau belajar saya bisa belajar di Kopdit Ankara Lewoleba yang jauh sebelumnya sudah berdiri tetapi perjumpaan dengan salah seorang guru dari kampung yang mengharuskan saya ke Maumere agar belajar tentang koperasi kredit,” kata Gabriel.
Datang dengan pengalaman gelas kosong yang belum terisi perjumpaan dengan sosok Yakobus Jano jadi jalan panjang pelajaran yang terus-menerus tiada henti bagi Gabriel. Bersama teman-temannya relawan awal spirit gua poi benar-benar mereka tunjukkan.
“Kami waktu itu masih bujang jadi mau pikir apa e, intinya kalau sudah ada rokok ya sudah senanglah,” lanjut Gabriel.
Gabriel melanjutkan, setiap Jumat atau Sabtu Sore pada 1998, dirinya selalu dijemput oleh Yakobus Jano ketika kembali bekerja dari Bank BRI. Rumah Yakobus Jano memang jadi kantor untuk latihan awal mengerjakan semua jenis administrasi dan pembukuan secara manual.
Magdalena Peni Lamak menambahkan menjelang minggu kedua dalam bulan semua relawan memang akan giat bekerja dari jam lima sore. Posyandu di kampung Rotat memang jadi tempat berkumpul sementara untuk urusan adminstrasi penyetoran simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela. Ada hal besar yang kemudian menjadi sejarah turun-temurun adalah pertemuan wajib pada minggu kedua dalam bulan.
Dari spirit gua poi, Gabriel dan teman-teman relawan awal belajar spirit besar tentang hidup bahwa apa yang dikerjakan secara benar akan berbuah.
Niatnya hanya untuk datang belajar dan ketika hendak meminta waktu untuk berlibur merayakan Natal di kampung halaman di Lembata ditentang oleh Yakobus Jano. Dari situ saya akhirnya ikut saja, gua poi. Masih menurut Gabriel kata-kata ini sebenarnya lebih dahulu digaungkan oleh Petrus Moa ayah dari Yakobus Jano.
Setiap kali ketika Gabriel ke rumah untuk mengerjakan pembukuan dan administrasi lainnya, Petrus Moa selalu saja memberikannya spirit dengan berujar gua poi e amang e. Kata-kata ini seolah jadi relasi kedekatan Gabriel yang juga merindukan sosok ayah di kampungnya Lembata.
Pesan gua poi memang merasuki tapi juga membuat beberapa relawan awal keder dan mundur dulu sebelum masuk kembali bekerja. Magdalena Peni Lamak memang tak pernah membayangkan eksistensi Pintu Air seperti sekarang. Bisa jadi sebagai seorang pemudi yang baru lulus SMA dan gua poi saja tidak cukup untuk hidup.
“Kami memang tidak ada gaji, paling kami akan terima Rp 2.500 sampai dengan Rp 7.500 kalau ada kelebihan pada saat adanya prosentase kelebihan dari pinjaman anggota awal. Selebihnya tidak ada, jadi benar-benar gua poi,” kata dia
Kini pada usia ke-28 KSP Kopdit Pintu Air telah punya model dan sistem kerja yang terbukti. Para relawan awal ini pun berharap semua pengurus dan komite cabang di mana saja bekerja agar terus memberikan pendampingan dan sistem kerja yang optimal dan berkualitas kepada anggota. Dengan tidak lagi mengandalkan kerja saja atau gua poi sebab semua yang bekerja pun kini telah dihargai dengan hak yang pantas untuk hidup.