San Juan dan Transformasi Kehidupan

Oleh: Anselmus D. W. Atasoge*

24 Juni adalah saat yang dirindukan kedatangannya dan kehadirannya oleh segenap umat Paroki San Juan Dekenat Larantuka Keuskupan Larantuka. Saat orang-orang San Juan memperingati hari jadi pelindung parokinya: San Juan (Santo Yohanes Pembaptis).

Yang membuat hari itu jadi lain dari hari-hari peringatan seorang santo-santa dalam Gereja Katolik adalah bentuk dan gaya peringatannya. Tiga hari sebelum hari ‘H’ ada triduum di tiap-tiap lingkungan. Tahun 2023, paroki ini berusia 71 tahun. Hari ini menjadi hari yang spesial: Arca San Juan dan Sang Kristus yang hadir dalam rupa Sakramen Maha Kudus ‘keliling nagi tanah’, bawa terang, bawa transformasi.

Biasanya, setelah perayaan Ekaristi pada 24 Juni pagi, orang-orang San Juan bergegas sibuk untuk menyiapkan acara prosesi (persisan) di malam harinya. Prosesi ini disebut prosesi San Juan. Dalam prosesi ini patung Yohanes Pembaptis diarak bersama Sakramen Maha Kudus melewati 7 armida (tempat Sakramen Maha Kudus ditakhtakan dan disembah) yang disiapkan oleh 8 lingkungan yang ada di Paroki San Juan (Kampung Tengah, Gege, Lebao, Riang Nyiur, Tabali, Kota Sau dan Kota Rowido).

Prosesi dimulai dari Gereja San Juan melewati 7 armida yang dibangun di 4 lingkungan (Kampung Tengah, Lebao, Riang Nyiur, Tabali) dan berakhir kembali di Gereja. Patung Yohanes Pembaptis berada pada posisi depan Sakramen Maha Kudus. Orang-orang San Juan diingatkan bahwa Yohanes Pembaptis adalah tokoh yang menyiapkan datangnya Yesus Tuhan, Juru Selamat dan Pembebas.

iklan

Malam persisan adalah malam penuh gemerlap. Hiasan warna-warni terpampang di sana-sini, mulai dari dalam gereja sampai di armida-armida dan sepanjang rute prosesi. Ribuan lilin diikat jejer, baris-berbaris indah dan rapi pada pagar-pagar (dari kayu yang disebut kukung dan bambu) yang disiapkan khusus untuknya pada setiap kiri dan kanan badan jalan.

Lilin-lilin menyembulkan cahaya yang jika dipandang dalam-dalam menghantar para peziarah (semua mereka yang ikut dalam barisan persisan) untuk menyatukan dirinya dengan bumi yang sedang dipijak dan langit di atas yang menyaksikan parade religius yang khusyuk itu.

Lilin dalam persisan San Juan punya peran penting. Kehadirannya menyisakan kepingan-kepingan arti yang sarat makna. Dia menjadi barisan cahaya yang memagari para peziarah dengan segenggam persoalan: derita para janda yang ditinggal pergi sang suami selama bertahun-tahun; beban pikiran para orang-tua yang lelah memikirkan masa depan anak-anak mereka yang telah putus sekolah.

Ada pula derita tentang hasil kucuran keringat mama-mama pedagang sayur yang seharian berjemur di pinggiran Pasar Baru dengan seikat bunga pepaya dan sebaskom daun ubi muda yang jika terjual habis tak lebih dari Rp20.000 hasilnya sementara 3 anaknya terpaksa diusir dari ruang kelas saat ujian gara-gara iuran sekolah belum dilunaskan; percekcokan para anggota keluarga atau suku yang warisan tanahnya telah terjual habis buat ongkos hidup harian; pergulatan batin para petani ladang yang selalu ngap-ngap budi dan rasanya ketika panenan mereka terancam kering dan dicuri sesama yang lain; nasib sial para nelayan yang setelah melaut kembali dengan kantong-kantong kosong, tanpa hasil tangkapan; kegundahan para tukang ojek yang mengejar jumlah setoran lantaran waktu pengembalian kredit hampir jatuh tempo hingga mereka kadang harus babak-belur karena tertindih motornya sendiri.

Tak hanya itu, ada kegelisahan para guru yang gajinya ditunda-tunda sementara daftar bon di kios-kios terus membengkak; kesedihan para anggota keluarga yang bapaknya, anaknya, adiknya, kakaknya ditahan di penjara; ketidakpastian penyelesaian sangsi adat dan gereja yang menghantui para kaum muda yang karena kemauan dan pergaulannya terjerembap dalam perkawinan dini yang tak normal menurut adat dan gereja; rintihan para balita yang karena ketidakmampuan bapak dan mamanya terpaksa menunggu lapar di ‘bale-bale bambu’ yang dibangun di tengah ladang mereka yang sedang mengering.

Faktanya, pandemi yang masih menyisakan kisah pilu di setiap jengkal kehidupan; pagelaran pesta-pesta yang selalu mengundang ‘kumpo kao dan sambo tangan’, dan sejuta persoalan yang sedang melekat erat dalam budi dan rasa orang-orang San Juan.

Lilin-lilin menegak rapi pada pagar-pagar bambu dan menyaksikan semua rasa batin dan budi para peziarah. Cahaya-cahayanya bagai menerangi semuanya sampai pada kedalaman yang tak terjangkau batas pandangnya. Dia menyembul di antara pergulatan budi dan rasa; dia seakan menyoroti semuanya dan hendak berteriak lantang: Inilah kalian!

Ya, kalian yang berjalan dengan batin yang terluka, kalian yang bernyanyi dengan hati tak girang, kalian yang berdoa khusyuk dengan perut kosong, kalian yang tersenyum dengan beban yang bertindih.

Adakah semua mereka yang hidup serba berkecukupan sampai berkelimpahan, semua mereka yang terlibat dalam kebijakan-kebijakan publik yang sedang berjalan, berdoa dan bernyanyi bersama mereka yang tengah tertindih beban? Adakah mereka tahu tentang semuanya ini? Adakah semua mereka tahu bahwa mereka sedang dipandangi (diterangi) oleh barisan cahaya lilin yang panjang itu?

Semua terletak pada kesadaran transformatif sebagai manusia yang berziarah dan menemukan kebahagiaan sejati. Dalam konteks San Juan, atribut lilin menjadi pelajaran ‘terang’ yang menyinari kegelapan hati dan budi. “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang,
sedang datang ke dalam dunia” (Yoh. 1:9)

*Peneliti Pada Culina Research Institute Flores-NTT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA